Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pengawasan Bisnis Haji Ilegal Masih Lemah

Warta Ekonomi, Jakarta -

Pengawasan penyelenggaraan ibadah haji masih lemah dan ke depan akan terus terjadi kasus-kasus penelantaran anggota calon jemaah haji dari Tanah Air selama akar masalahnya tidak diselesaikan dengan baik.

Penyelenggaraan ibadah haji ilegal bakal tetap subur, lantaran keuntungan yang didapat dari bisnis atau membisniskan ibadah ke Tanah Suci itu " dengan iming-iming kemudahan" semakin menggiurkan. Sementara pelaku dari bisnis tersebut belakangan ini sudah menggurita, terbentuk dalam wadah mafia haji.

Bagaimana mungkin 177 WNI yang akan bertolak menunaikan ibadah haji dari Filipina yang kemudian ditahan pihak keamanan otoritas setempat demikian mudah mendapatkan dokumen untuk bertolak ke Arab Saudi jika tidak didukung para anggota sindikat mafia haji.

Tertangkapnya 177 WNI yang akan bertolak menunaikan ibadah haji dengan menggunakan paspor ilegal negara itu sesungguhnya merupakan peristiwa "gunung es" dari sekian banyak kasus serupa. Bisa jadi pada tahun-tahun sebelumnya, sudah ada yang bertolak dari negeri jiran itu secara ilegal atas dukungan para pebisnis haji ilegal. Bahkan dari negara lain dengan modus serupa bisa saja terjadi tanpa diketahui pihak berwajib.

Sial memang bagi 177 yang akan berangkat dari Filipina sekali ini. Nasib mujur belum berpihak kepadanya. Kini, bukan bermalam atau mabid di Mina tetapi malah bermalam di tempat yang tak layak di Filipina. Bukan hanya hilang uang, juga "kehilangan muka" , sementara pihak penyelenggara juga tak bertanggung jawab.

Pihak penyelenggara ibadah haji atau travel bersangkutan pun, dapat dipastikan, akan berhadapan dengan pihak penegak hukum. Kasusnya sudah menjadi sorotan publik. Pihak Kemlu dan kepolisian terus mendalami kasus tersebut.

Sebanyak 177 WNI menggunakan paspor Filipina sebanyak 70 orang dari Sulawesi, 17 orang dari Tangerang, 11 orang dari Jawa Tengah, delapan orang dari Jawa Timur, sembilan orang dari Kalimantan Utara, empat orang dari Jawa Barat, dua orang dari Yogyakarta, sembilan dari Jakarta, satu orang dari Riau, dua orang dari Jambi, dan dua orang dari Kalimantan Timur.

Deteksi dini Sejatinya, bila ingin mengetahui seseorang menunaikan ibadah haji secara resmi atau tidak, dapat diketahui mulai dari proses perencanaan keberangkatan. Biasanya anggota keluarga mengetahui dari nomor porsi keberangkatan, tahun keberangkatan hingga kelengkapan dokumen perjalanan haji.

Para tetangga, biasanya juga mengetahui adanya seseorang akan menunaikan ibadah haji tatkala yang bersangkutan menggelar walimatusafar. Atau dengan kata lain, pihak tuan rumah yang akan menunaikan ibadah haji menggelar acara selamatan. Dia mendatangkan ustadz untuk membaca doa, hingga tuan rumah minta maaf jika ada kesalahan dan minta didoakan para undangan agar ketika menunaikan ibadah dan segala ritualnya bisa sukses dan selamat.

Hal-hal seperti itu sebetulnya bisa dijadikan sebagai deteksi dini, apakah seseorang berangkat haji dengan cara legal atau ilegal. Bila ditemui keganjilan, maka sebaiknya warga (para tetangga) dapat menasihati yang bersangkutan untuk tidak berangkat.

Jika para tetangga bersangkutan memiliki kepedulian, bisa melaporkan kecurigaan tersebut kepada petugas Kementerian Agama (Kemenag) setempat untuk ditindaklanjuti. Bila perlu kepada pihak kepolisian.

Untuk menangani kasus-kasus haji ilegal, Kemenag sudah membuat nota kesepahaman (Mou) antara Ditjen Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PHU) dengan Badan Reserse Kepolisian RI.

Pejabat Kemenag "dari level pusat hingga Kanwil di bawahnya" harusnya memang sudah tahu isi tentang MoU yang ditandatangani pada 19 Maret 2013 itu. Sehingga, setiap kejadian yang melibatkan calon jemaah haji dan umrah tidak menyatakan lepas tangan lagi. Nota kesepahaman itu ditandatangani Dirjen PHU Anggito Abimanyu dan Kepala Badan Reserse Kepolisian Negara RI Komisaris Jenderal Pol Sutarman.

Banyak cerita dari kasus haji gagal berangkat. Biasanya terjadi menimpa orang yang menggunakan travel haji khusus ilegal. Karena orang bersangkutan merasa malu dengan tetangga sekitarnya, dia tak mau pulang ke rumah dan tinggal bersama familinya di luar kota.

Dia merasa malu. Sebab, sudah meminta izin dengan anggota keluarga lainnya dan teman sekantor, termasuk para tetangganya, untuk berangkat haji. Terlebih sudah menggelar walimatusafar.

Untuk mengelabui anggota keluarga dan tetangga, yang bersangkutan baru pulang ke rumah bersamaan dengan kepulangan jemaah haji dari Tanah Suci. Tentu, sebelum itu, dia membeli makanan dan barang-barang yang mirip dari Mekah sebagai oleh-oleh.

Jadi, berangkat haji dengan cara ilegal dan gagal telah melahirkan rangkaian kebohongan. Belum lagi, ratapan dan tangisan memilukan.

Peristiwa itu sangat menyakitkan. Berawal terdorong nafsu, melalui rayuan pelaku pebisnis haji ilegal bahwa adanya kemudahan yang dijanjikan pergi haji tidak perlu melalui daftar tunggu lama dan panjang. Padahal, kini tak ada lagi berangkat haji dengan cara instan.

Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) harusnya menyuarakan kasus itu dengan keras agar publik tahu duduk persoalan terhadap 177 calon haji Indonesia.

Kemenag pun tidak cukup dengan melakukan tindakan kepada pengirim atau travel yang membawa calon jamaah haji. Pemerintah harus menata masalah kuota haji akibat masa tunggu yang lumayan lama.

Kuota diatur Korban mau berangkat haji lewat negara lain. Sebab, mereka tidak sabar menunggu. Karena itu kuota haji harus diatur, dibagi secara adil.

Mengutip pendapat Ketua KPHI Samidin Nashir, setiap tahun makin banyak orang Islam ingin menunaikan ibadah haji, namun kuota haji yang disediakan oleh Pemerintah Arab Saudi sangat terbatas. Kuota haji untuk Indonesia kendati terbesar di dunia yaitu 168.800 jamaah, namun jumlah "waiting list" (daftar tunggu) mencapai 3,2 juta orang.

Pendaftar haji reguler harus menunggu lama. Ada provinsi atau kabupaten yang masa tunggunya 15 tahun, tapi ada yang paling lama yaitu provinsi Sulawesi Selatan 29 tahun, bahkan di kabupaten Wajo dan Sidrap menunggu 40 tahun.

Ia mengusulkan agar Kemenag harus menata kuota haji dengan adil dengan membuat kebijakan agar semua daerah dengan masa tunggu yang sama. Upaya itu juga mencegah kasus lain, misalnya orang dari Sulawesi berangkat haji dari Papua. Jadi, ke depan, sebaiknya tidak ada lagi kuota kabupaten maupun kuota provinsi, tapi seluruhnya merupakan kuota nasional.

Terkait penanganan 177 WNI yang tengah ditahan di Filipina itu, Kemenag kini telah membentuk tim khusus penegakan hukum untuk mengawal jemaah haji yang menjadi korban penipuan travel nakal. Tentu saja sesuai dengan MoU tersebut, Kemenag bekerja sama dengan Polri.

Ditjen PHU memastikan travel dan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) yang diduga memberangkatkan 177 WNI dengan menggunakan paspor Filipina tidak terdaftar di Kemenag alias ilegal.

Saat ini tercatat 693 Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) dan 269 Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) yang terdaftar di Kemenag. Perusahaan yang menelantarkan jemaah di Filipina tersebut, setelah diidentifikasi ternyata tidak terdaftar sebagai PPIU dan PIHK.

Karena tak memiliki izin, maka pelanggaran yang dilakukan sudah masuk dalam ranah hukum, baik pidana, perdata maupun keimigrasian.

Kemenag RI hanya berwenang menertibkan pelanggaran yang dilakukan oleh PPIU dan PIHK sesuai aturan yang berlaku. Hingga kini Kemenag, sepanjang 2015, telah memberikan sanksi kepada 14 travel nakal. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Sucipto

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: