Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

AP II di Tengah Sengitnya Pertarungan Hub and Spoke Airport Global

AP II di Tengah Sengitnya Pertarungan Hub and Spoke Airport Global Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Bandara Soekarno-Hatta masuk kategori hub and spoke airport. Persaingan antaroperator hub and spoke airport global terbilang sengit. Ada yang berani memberi insentif kepada maskapai dan fasilitas super kepada penumpang agar mau singgah di bandara tersebut.

Persaingan antarbandara international di dunia dalam menarik minat maskapai singgah di bandara itu semakin sengit. Dengan semakin banyak maskapai yang singgah di bandara, selain akan menangguk limpahan jumlah penumpang pesawat yang berpeluang mengais pendapatan dari bisnis nonaeronautical, dapat pula mendulang pendapatan dari bisnis aeronautical seperti fee take-off dan landing pesawat, pemakain galbarata, biaya parkir pesawat, dan air navigatian.

Persiangan yang kasat mata antar-airport terlihat dalam upaya menjadikan diri mereka sebagai airport hub and spoke. Yang dimaksud airport hub adalah airport itu menjadi destinasi akhir maskapai atau tempat singgah maskapai sebelum melanjutkan perjalanan ke tujuan akhir. Misal, rute penerbangan Jakarta ke London yang transit di Dubai International Airport, Uni Emirat Arab (UEA). Dari Dubai, penumpang bisa melanjutkan penerbangan ke London dengan maskapai yang sama atau pesawat lainya. Dubai menjadi airport hub.

UEA merupakan contoh negara yang sukses mentransformasi diri menjadikan bisnis jasa, termasuk pengelolaan bandara sebagai andalan pendapatan negara itu ketimbang bergantung pada minyak dan gas. Sejak 2014, Dubai Airport menjadi bandara hub internasional nomor satu di dunia menggeser Bandara Heathrow di London. Dubai Airport selaku pengelola maskapai Emirates Airlines membukukan 88,2 juta penumpang dan berhak menyandang Busiest International Airport by Passangers dan masuk lima besar The World’s Best Airlines versi Syktrax. Program DXB Plus dan Di Al-Maktoumnya Center (DWC) siap Atlanta dan Beijing sebagai nomor 1 World Airports (penumpang dan kargo). 

Menurut Arista Atmadja selain faktor posisi geografisnya yang menentukan—persimpangan antara Benua Asia, Afrika, dan Eropa—tidak dipungkiri berbagai inovasi yang dihadirkan otoritas Bandara Dubai menjadi kunci kesuksesan. Otoritas di sana memberi insentif tarif avtur, free duty fee, dan ground handling fee. Alhasil, banyak maskapai termasuk negara pecahan Uni Soviet, melirik Dubai. “Dubai tidak hanya menjadi bandara pengepul, tetapi juga menyebarkan kembali ke lebih dari 250 destinasi di dunia,” papar founder Arista Indonesia Aviation Center.

Sukses pengelola bandara Dubai International Airport menjadi hub and spoke airport membawa dampak ekonomi yang besar bagi negara itu. Merujuk catatan Dubai Airport Company, industri penerbangan menyumbang US$26,7 miliar atau setara 27% perekonomian negara tersebut pada 2013. Angka itu terus diproyeksikan meningkat hingga US$88,1 miliar atau setara 45% PDB UEA pada 2020. Dari sisi lapangan kerja, menyerap 416.500 setara 21% angkatan kerja dan diproyeksikan terus meningkat menjadi 1,19 juta setara 35% angkatan kerja.

Dari hasil studi The British Chambers of Commerce, keberadaan sebuah bandara dengan status international hub and spoke seperti Heathrow di London memberi dampak besar terhadap perekonomain Inggris. Tidak hanya itu, banyak bisnis baru yang terkait dengan kegiatan di bandara terus bertumbuh. International Connectivity Heatrow ikut mendorong minat foreign investment masuk ke negara itu. Kajian lain dari Lutfhansa Consulting, Jerman bahwa operator hub and spoke airport akan mendulang pendapatan dari kegiatan hub khususnya dari non-aeronautical lebih besar dari aeronautical.

Tapi, pada sisi lain, menjadikan bandara sebagai international hub and spoke juga ada risikonya. Pasalnya, untuk menjadi bandara berstatus hub and spoke butuh modal besar untuk ekspansi berbagai fasilitas di bandara seperti penambahan runway baru, kereta api bandara, hotel, mal, cargo village. Pada sisi lain, kecenderungan bisnis airline mengarah ke penerbangan low cost carrier (LCC). Maskapai beroperasi sehemat mungkin, termasuk saat parkir di bandara yang dibuat semakin singkat. Hal ini membawa konsekuensi pula terhadap waktu luang penumpang di bandara yang semakin sempit sehingga leisure hours di mal bandara pun tipis. Ini berdampak pada menipisnya potensi pendapatan dari sisi non-aeronautical.

Optimalisasi Bandara Soetta

Anggota Dewan Penasihat Indonesia National Air Carrier Association (Inaca), Arif Wibowo, menilai, untuk menjadi pemenang di bisnis bandara hub and spoke, perlu ada daya tarik bagi airlines, penumpang, cargo, dan semua airlines related business. Daya tarik ini mencakup berbagai hal, utamanya memiliki connectivity index yang tinggi sehingga connecting time sangat baik dan pilihannya banyak dari satu penerbangan ke penerbangan lanjutannya. “Tidak kalah penting, harus didukung juga oleh insentif-insentif dan berbagai fasilitas yang bisa menarik airlines untuk memusatkan hub and spoke,” kata dia.

Di tengah persaingan yang begitu ketat sesama pengelola bandara hub and spoke di Asean dimana Bandara Soetta mesti bertarung melawan Changi dan Kuala Lumpur Airport, perlu langkah kreatif. Arista menyarankan optimalisasi slot time tengah malam, yang saat ini masih kurang diminati, untuk diarahkan ke angkutan komoditas kargo dengan pemberian insentif tarif landing fee atau parking fee, ground handling fee, dan navigation fee hingga 50%, misalnya. Muatan kargo yang lazimnya tidak terlalu memikirkan jam-jam ideal ini, bisa memanfaatkan sisa slot yang tidak favorit. Hal ini akan menarik maskapai-maskapai kargo atau pun carter yang memang tidak menyasar peak hour.

Sementara itu, Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, tidaklah memungkiri bahwa secara teknis Bandara Soetta sudah memenuhi prasyarat sebagai hub and spoke. Itu terjadi dengan status bandara sebagai internasional airport, memiliki kapasitas memadai, dan keamanannya terjamin. Ditambah lagi, Indonesia yang saat ini memiliki lebih dari 60 operator airlines dan 800 aircrafts yang diakui di mata internasional. Saat ini, Indonesia sudah masuk kategori 1 Federal Aviation Administration (FAA) dan memenuhi 95% standar ICAO (International Civil Aviation Organization) tentang keamanan.

“Kalau sebagai hub and spoke secara teknis sudah memenuhi syarat, hanya memang posisi Soetta itu agak di selatan sehingga membuat distribusi penerbangan ke negara-negara lain tidak gampang,” kata mantan CEO AP II ini.

Nah, formulasi 3 Game Changers AP II diharapkan mampu mentransformasi diri Bandara Soetta sebagai hub and spoke airport sehingga masuk dalam jajaran top ten bandara terbaik dunia versi Skytrax dari posisi saat ini di urutan 45. 

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Yosi Winosa
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: