Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Apakah Rupiah Lemah Cermin Ekonomi Anjlok?

Oleh: Agus Tony Poputra, Staf Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sam Ratulangi Manado

Apakah Rupiah Lemah Cermin Ekonomi Anjlok? Kredit Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pernyataan salah satu calon presiden bahwa rupiah yang lemah merupakan cermin pelemahan ekonomi Indonesia cukup menggelitik untuk dikaji. Dari definisinya, suatu mata uang dikatakan lemah atau kuat ditentukan oleh tinggi-rendahnya fluktuasi atau volatilitas mata uang tersebut terhadap mata uang jangkar (sering dipakai adalah dolar Amerika Serikat). Jadi, bukan ditentukan oleh perbandingan nominal mata uang tersebut dengan mata uang jangkar.

Sebagai contoh, saat ini 1 US$=Rp 14.800-an dan 1 US$=Peso 54-an. Ini tidak berarti Peso Filipina lebih kuat dari rupiah karena perbandingan nominalnya lebih kecil melainkan harus dilihat ketajaman fluktuasi keduanya selama kurun waktu tertentu. Mata uang yang lebih tajam fluktuasinya menandakan mata uangnya lebih lemah. Walaupun rupiah memperlihatkan tren menurun namun fluktuasinya relatif tidak tajam dan telah menunjukkan kondisi rebound pada beberapa hari terakhir. Oleh sebab itu, rupiah belum dapat dikategorikan dalam kondisi lemah.

Selanjutnya, apakah penurunan nilai rupiah mencerminkan perekonomian yang lemah? Jawabannya adalah tidak selalu seperti itu. Pada negara yang menganut perekonomian terbuka (catatan: hampir tidak ada negara di dunia yang menganut perekonomian tertutup), nilai tukar suatu mata uang tidak semata-mata ditentukan oleh perekonomian riil, tetapi juga oleh transaksi di pasar keuangan.

Pada perekonomian terbuka, fungsi mata uang sebagai alat tukar tidak sekedar sebagai alat pertukaran dengan barang dan jasa tetapi juga dipertukarkan dengan mata uang negara lain. Jadi, uang telah menjadi komiditas seperti halnya makanan, pakaian, dan sebagainya.

Manakala uang telah bertransformasi menjadi komoditas maka nilainya tidak hanya ditentukan oleh transaksi pada pasar barang dan jasa, melainkan juga pada pasar keuangan. Dalam pasar keuangan, nilai tukar suatu mata uang tidak saja ditentukan permintaan dan penawaran yang terkait dengan kebutuhan ekonomi riil tetapi juga aktivitas spekulasi maupun kepentingan lain, seperti politik dan sebagainya.

Dengan adanya kegiatan spekulasi dan kegiatan lainnya di luar kebutuhan ekonomi riil maka nilai tukar tidak senantiasa mencerminkan kondisi perekonomian riil. Bisa saja kondisi ekonomi riil cukup kuat namun mata uang berfluktuasi tinggi akibat pengembangan opini yang bertujuan menggoncang pasar keuangan. Situasi ini pernah dialami Indonesia pada periode 1997-1998 di mana pasar keuangan Indonesia dimainkan para pelaku pasar keuangan internasional sebagai sanksi terhadap kondisi politik Indonesia.

Walaupun nilai tukar tidak selalu menjadi cermin kondisi ekonomi riil, tetapi jika pelemahannya dibiarkan maka akan mempengaruhi perekonomian riil lewat meningkatnya biaya impor. Bagi Indonesia yang memiliki impor yang relatif besar maka hal ini perlu diwaspadai. Untuk maksud tersebut, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya perlu melakukan kebijakan-kebijakan sebagai berikut.

1. BI merealisasi swap valas sebagai bentuk hedging terhadap utang pemerintah dan BUMN agar menjadi sinyal tentang berapa nilai tukar yang ingin dituju BI pada jangka waktu tertentu dan memberikan kepastian bagi dunia usaha;

2. Menegakkan secara konsisten termasuk penerapan sanksi bagi pelanggar Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/3/PBI/2015 yang mewajibkan transaksi domestik menggunakan rupiah dalam rangka mengurangi permintaan mata uang asing;

3. Meramu kembali kebijakan devisa untuk memperkuat posisi BI atas lalu lintas devisa. Salah satunya adalah memperpanjang waktu endap devisa hasil ekspor di perbankan nasional;

4. Memperkuat cadangan devisa lewat pembelian emas moneter karena negara dengan cadangan devisa rendah umumnya rentan terhadap permainan para spekulan;

5. Memperluas kebijakan substitusi impor untuk barang yang banyak dikonsumsi masyarakat, tidak berhenti hanya pada bio-diesel;

6. Membuat kebijakan inti-plasma untuk mengintegrasikan usaha besar, menengah, dan kecil domestik yang berada dalam satu mata rantai produksi untuk mengurangi ketergantungan pada impor dan menunjang Indonesian Incorporated;

7. Tegas dan konsisten dalam kebijakan hilirisasi. Kebijakan ini perlu ditunjang dengan percepatan pembangunan dan pemanfaatan infrastruktur terutama perhubungan dan listrik;

8. Menerapkan kembali kebijakan kewajiban local content serta melakukan pengawasan yang ketat. Ini berguna untuk mengurangi tekanan impor bahan baku;

9. Melakukan kampanye besar-besaran untuk menggunakan produk dalam negeri terutama lewat jalur pendidikan mulai dari sekolah dasar. Kampanye untuk peserta didik usia dini sangat dibutuhkan sebab pola pikir kelompok ini lebih mudah diarahkan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: