Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Percepat Industrialisasi, Indonesia Perlu Tiru Korea

Percepat Industrialisasi, Indonesia Perlu Tiru Korea Kredit Foto: Antara/Didik Suhartono
Warta Ekonomi, Jakarta -

Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai strategi pemerintah Indonesia membatasi impor dan memaksimalkan penyerapan produksi dalam negeri dalam menghadapi tekanan rupiah tidak cukup. Perlu ada langkah lanjutan untuk membangun agenda industrialisasi nasional untuk substitusi impor secara konsisten.

Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti, menyatakan strategi jangka pendek yang diambil oleh pemerintah untuk merespon pelemahan rupiah  tidak boleh hanya berhenti disitu.

”Itu saja tidak cukup untuk memperkuat fundamental ekonomi Indonesia dan harus dilanjutkan dengan strategi yang lebih jangka panjang,” Kata Rachmi di Jakarta, Senin (24/09/2018).

Untuk menjawab tantangan ekonomi global saat ini katanya, penguatan daya saing melalui industrialisasi memang menjadi jawabannya.  Namun sayangnya  kebijakan strategi daya saing melalui hilirisasi industri yang diambil pemerintah belum memperlihatkan perubahan yang signifikan.

“Ini terbukti dengan laju pertumbuhan sektor industri pengolahan dan pertanian masih rendah, yakni sebesar 4,27% dan 3,81% pada tahun 2017,” ujarnya.

Berdasarkan catatan IGJ, paling tidak, rendahnya daya saing Indonesia disebabkan oleh tiga hal, pertama, ekspor Indonesia masih dengan strategi mengandalkan ekspor bahan mentah yang tidak memberikan nilai tambah.  Kedua produk unggulan kompetitif Indonesia yang lebih didominasi oleh produk rendah teknologi.  Lalu ketiga Trade Creation pada liberalisasi perdagangan menciptakan ketergantungan yang tinggi pada produk impor. 

“Indonesia harus belajar dari Korea dalam membangun Industrialisasi. Kuncinya adalah pada produk manufaktur yang berbasis berteknologi menengah dan tinggi,” tegasnya.

Untuk mendorong adanya substitusi impor, maka hilirisasi adalah keniscayaan bagi Indonesia. Bahkan penggunaan dalam negeri melalui kewajiban TKDN tidak akan efektif jika industrialisasi tidak berjalan.

“Sehingga perlu adanya monitoring ketat terhadap pelaksanaan TKDN yang memang betul-betul bersumber dari produksi dalam negeri,“ tegas Rachmi.

Presiden Jokowi sendiri telah membentuk tim nasional peningkatan penggunaan produksi dalam negeri melalui Keppres No.24 Tahun 2018. Tugas tim tersebut antara lain melakukan pemantauan penggunaan produksi dalam negeri sejak tahap perencanaan dalam pengadaan barang/jasa yang dilakukan oleh lembaga negara, melakukan koordinasi dan evaluasi terhadap pelaksanaan tugas Tim Peningkatan Produk Dalam Negeri.

Untuk memastikan capaian kerja tim yang efektif, Rachmi meminta Presiden  juga untuk tidak mendorong pengikatan Indonesia ke dalam komitmen perjanjian liberalisasi perdagangan dan investasi yang merugikan ekonomi nasional dan menutup kesempatan Indonesia untuk memperkuat industrialisasi nasional.

“Namun faktanya Presiden menargetkan Indonesia untuk ikut di banyak perundingan FTA. Padahal perjanjian FTA akan semakin meliberalisasi sektor pengadaan barang dan jasa pemerintah, serta melarang adanya kewajiban TKDN, melarang diskriminasi terhadap barang impor dan lokal, bahkan akan menghambat pelaksanaan hilirisasi industri secara konsisten. Kebijakannya sangat kontradiktif, pungkas Rachmi.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Kumairoh

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: