Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Telaah - Pilkada Langsung, Antara Tuntutan dan Falsafah Bangsa

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Wacana panas tentang pemilihan kepala daerah, yang berasal dari Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah, kian meruncing dan tampak berputar di permukaan serta cenderung memecah masyarakat.

Dewan Perwakilan Rakyat, yang membahas rancangan undang-undang itu, dijadwalkan memutuskannya pada hari Kamis (25/9/2014), dengan sejumlah pihak mengusulkan penundaan karena menganggap pembahasan belum cukup dan kekhawatiran akan menimbulkan kekacauan.

Suara wakil rakyat itu terpecah dengan satu pihak mendukung pemilihan langsung kepala daerah dan pihak lain membela pemilihan tidak langsung.

Kubu pemilihan langsung menyatakan pemilihan lewat DPRD bertentangan dengan tata politik Indonesia. Presiden dipilih langsung sehingga cara sama berlaku pada pemilihan kepala daerah di provinsi, kabupaten, dan kota.

Menurut kelompok itu, pemilihan langsung tidak menyalahi undang-undang, yang mengamanatkan pemilihan oleh rakyat, tidak ada permainan uang di kalangan elite politik dan kader terbaik dapat terpilih.

Kubu pemilihan tidak langsung menyebut tiga kerusakan terjadi jika pemilihan dilakukan langsung, yakni perpecahan masyarakat, politik biaya tinggi, dan permainan pemikiran tidak mendidik, serta menyimpang dari Pancasila.

Biaya tinggi dalam pemilihan langsung membuat calon pemimpin menghalalkan segara cara dan akan mengembalikan "modal" dengan korupsi. Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Nurhayati Ali Assegaf menyatakan 80 persen kepala daerah hasil pemilihan langsung tersangkut perkara hukum.

Kelompok itu menyatakan pemilihan tidak langsung tidak akan disalahgunakan DPR/DPRD karena banyak pengawas, selain rakyat yang siap menindak mereka. Komisi Pemberantasan Korupsi, misalnya.

Ruh Bangsa Silang pendapat tentang pemilihan kepala daerah itu tampak tidak melibatkan ruh kenegaraan, dasar negara, Pancasila. Hanya beberapa pakar dan petinggi menjadikan Pancasila pisau untuk membedah masalah pemilihan tersebut. Pancasila kian diabaikan, kalau tidak mau disebut tak diakui lagi sebagai falsafah bangsa.

Di dalam Pancasila terekam sejarah perjalanan bangsa sehingga tiba pada rumusan kelima asas itu. Perbantahan selama ini sudah dilakukan para bapak bangsa pendiri negara ini. Peserta silang pendapat terjebak dalam pengulangan wacana. Banyak orang ingin membuat sejarah, tetapi tidak mau tahu sejarah. Filsuf George Santayana menyatakan barang siapa abai terhadap sejarah akan dikutuk mengulanginya.

Perkara pemilihan pemimpin termaktub dalam sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang disebut Demokrasi Permusyawaratan oleh Yudi Latif dalam bukunya "Negara Paripurna. Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila".

Di dalam buku itu, Yudi merekam lengkap pembahasan sila demi sila dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan hingga Panitia Persiapan Kemerdekaan, memberinya latar belakang dan ulasan sehingga memberi pengertian utuh mengenai asal-mula, sebab-musabab, dan suasana kebatinan, yang menghasilkan kalimat seperti yang kita kenal sekarang.

Menurut Yudi, hakikat nilai demokrasi modern hingga tahap tertentu sudah berkembang dalam budaya Nusantara dan dilaksanakan setidak-tidaknya dalam satuan kecil, seperti desa di Jawa, nagari di Sumatera Barat, dan banjar di Bali.

Ia mengutip ucapan Tan Malaka yang menyatakan di Minangkabau pada abad 14--16 terdapat ungkapan "Rakyat beraja pada penghulu. Penghulu beraja pada mufakat dan Mufakat beraja pada alur dan patut".

Menurut ulasan Mohammad Hatta, demokrasi asli Nusantara itu bertahan di bawah feodalisme karena tanah sebagai unsur produksi, bukan kepunyaan raja, melainkan milik bersama masyarakat desa. Kepemilikan itu membuat hasrat memanfaatkan tanah harus mendapatkan persetujuan kaumnya. Itulah yang mendorong adat gotong royong dalam mengelola tanah yang pada gilirannya merembet ke masalah lain. Adat seperti itu membiasakan musyawarah dalam hal kepentingan umum, yang diputuskan secara mufakat, yang di Minangkabau kemudian muncul dalam ungkapan "Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat".

Kebiasaan musyawarah-mufakat itu kemudian melahirkan lembaga rapat, yang dipimpin kepala desa. Setiap orang dewasa warga desa bersangkutan berhak menghadirinya.

Demokrasi desa itu dapat ditindas oleh kekuasaan, feodalisme, dan penjajah. Akan tetapi sama sekali tidak dapat dilenyapkan, bahkan tumbuh. Itu menanamkan keyakinan di lingkungan pergerakan kebangsaan bahwa demokrasi asli Indonesia kuat bertahan dan liat, kata Hatta.

Sumber ilham dari anasir adat desa, agama, demokrasi Barat--yang hidup dalam wacana saat itu--memberikan landasan persatuan dalam keragaman dengan titik temu gagasan demokrasi kekeluargaan dan secara umum menolak individualisme, kata Yudi.

Soekarno mengungkapkan lebih kuat gagasan demokrasi dengan semangat kekeluargaan itu. Ia menekankan bahwa penting bagi bangsa Indonesia menempuh jalan demokrasinya sendiri, tidak perlu meniru Barat.

"Kita tidak membuang yang baik pada asas lama, tidak mengganti demokrasi asli Indonesia dengan barang impor. Demokrasi asli itu kita hidupkan kembali, tetapi tidak pada tempat kuno, tetapi pada tingkat lebih tinggi, menurut kehendak pergaulan hidup sekarang," kata Hatta seperti dikutip Yudi dalam bukunya.

Hatta menegaskan bahwa masyarakat Indonesia tidak menganut individualisme sebagaimana di Barat sehingga yang dikembangkan seyogianya tidak menjiplak mentah-mentah budaya Barat, tetapi yang cocok dengan watak keindonesiaan, yaitu demokrasi kekeluargaan berlandaskan atas permusyawaratan.

Soekarno mengatakan bahwa permusyawaratan akan menguatkan persatuan. Permusyawaratan diharapkannya dibimbing semangat kekeluargaan berdasarkan atas hikmah kebijaksanaan sehingga dicapai sintesis bermutu bagi semua.

Undang-undang dasar (yang kemudian dikenal dengan Undang-Undang Dasar 1945), menurut Soepomo, dirancang mengikuti sistematika kekeluargaan, dengan kedaulatan dilakukan oleh Badan Permusyawaratan, yang bersidang sekali dalam lima tahun. Dengan demikian, badan itu memegang kekuasaan tertinggi.

Ubah atau Tafsir Dengan tidak disentuh dalam kupasan masalah pemilihan kepala daerah, sementara tetap dinyatakan sebagai dasar negara, Pancasila menjadi tidak bermakna dan tata politik mengajarkan sikap mendua kepada bangsa Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari, sikap mendua dapat dilihat dalam berlalu lintas. Pengendara dapat dipastikan mengerti arti rambu. Akan tetapi, yang terjadi bukan saja ketidaktertiban, melainkan juga ketidaksantunan. Di tingkat tinggi, korupsi dilakukan oleh yang mengerti hukum, bahkan penjaga pintu surga hukum.

Dengan demikian, yang tampak niscaya dilakukan demi ketaatasasan adalah memilih, mempertahankan sila keempat Pancasila, dan melaksanakannya secara tuntas atau mengubah, bahkan mencabutnya, jika ingin pemilihan pemimpin dilakukan secara langsung. Atau, mencari tafsir baru bagi sila tersebut untuk pembenaran atas pilihan mengikuti tuntutan "reformasi". (Ant/Boyke Soekapdjo)

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Sucipto

Advertisement

Bagikan Artikel: