Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kontraversi Proyek 'Jakarta Giant Sea Wall'

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Pelaksanaan National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) di kawasan Pantai Utara akhir-akhir ini menjadi perbicaraan yang hangat di media elektronik dan cetak.

Pembangunan NCICD ini terbagi dalam tiga tahap, yakni tipe A, B, dan C. NCICD tipe A merupakan proyek reklamasi pulau ditambah dengan peninggian tanggul rob setinggi 5 kilometer di bibir pantai utara sepanjang 63 kilometer, yang membentang di sepanjang Teluk Jakarta, dari Tangerang hingga Bekasi.

Kemudian, tipe B ialah pembangunan konstruksi tanggul terluar dengan tembok bergambar garuda raksasa di laut dalam, sedangkan tipe C ialah pembangunan Jakarta Giant Sea wall (JGSW) atau yang dikenal dengan tanggul raksasa.

Peletakan batu pertama pembangunan JGSW telah dilakukan pada Kamis (9/10) lalu, dan diresmikan secara langsung oleh Menteri Koordinator Perekonomiam Chairul Tanjung.

Pemerintah dan pihak terkait sepakat untuk memulai pembangunan bendungan raksasa atau proyek JGSW tahap pertama sepanjang 33 kilometer yang diharapkan selesai dalam tiga tahun, yaitu pada 2017. Di samping itu pembangunan proyek ini juga menelan Rp500 triliun hingga 2030.

Rencanannya dari keseluruhan proyek sepanjang 33 kilometer tersebut, delapan kilometer akan dibangun oleh Kementerian Pekerjaan Umum bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sedangkan sisanya dibangun oleh swasta.

Protes muncul dari beberapa aktivis lingkungan dan pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Lingkungan yang menganggap pembangunan JGSW tersebut tidak berpihak pada lingkungan hidup.

Pembangunannya nanti akan menganggu kehidupan biota laut sekitar, seperti mangrove dan terumbu karang, serta ekosistem dalam laut.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta dalam acara Konferensi Nasional Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam dalam rangka ulang tahun Walhi yang ke 34 pada 14 Oktober 2014 di Jakarta menyatakan pihaknya menolak proyek pembangunan Jakarta Giant Sea Wall (JGSW) karena dampak negatif lingkungan dan sosial yang mungkin terjadi.

"Selain dampak kerusakan ekosistem, dampak negatif di bidang sosial juga akan dialami oleh masyarakat pesisir," kata Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Puput TD Putra.

Menurut dia, dampak sosial tersebut dapat dialami oleh ribuan masyarakat pesisir yang kehilangan pekerjaan, kehilangan budaya dan kehilangan ruang terbuka hijau karena reklamasi. Reklamasi atau JGSW menyebabkan peninggian muka air laut. Dengan alat yang tidak memadai, akan sulit bagi nelayan untuk bekerja seperti biasa.

Sosialisasi proyek pembangunan JGSW pun, menurut Puput, tidak secara terbuka dan 'intens' dilakukan oleh pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Selain itu, pembangunan JGSW hanya diperuntukkan bagi kalangan elite saja.

"Proyek ini terkesan agak tertutup, tahu-tahu sudah ada rencana proyek pembangunan," katanya.

oleh karena itu pihak Walhi akan melakukan kajian yang lebih mendalam terhadap pembangunan JGSW tersebut. Kajian yang mereka lakukan bertujuan memunculkan rekomendasi dan solusi terkait pembangunan JGSW untuk selanjutnya menjadi bahan aduan yang dapat diajukan ke Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).

"Kami akan melakuan kajian terkait JGSW di akhir bulan ini dengan mengadakan diskusi khusus dengan orang-orang yang ahli di bidangnya," katanya.

Selain melakukan kajian, Walhi juga akan membuat riset mengenai persepsi publik terhadap pembangunan JGSW. Selain itu menurut dia, upaya reklamasi tersebut sama saja dengan upaya pemiskinan terstruktur terhadap masyarakat di kawasan pesisir.

JGSW juga hanya mampu mengurangi banjir sebesar delapan persen saja. Pada intinya masyarakat di pesisir tidak merasakan manfaat dari proyek tersebut," katanya.

Selain Walhi protes pun muncul dari Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB). Dalam jumpa pers di gedung Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) Jakarta, Kamis (09/14) lalu, Direktur Eksekutif Ahmad Safrudin menyatakan hal yang sama tentang pembangunan JGSW tersebut hanya akan mengurangi delapan persen banjir yang terjadi di Jakarta.

"Pencegahan banjir hanya sampai delapan persen terutama saat air pasang bulan purnama untuk wilayah Jakarta Utara semata, sementara 92 persen kawasan yang terdampak banjir tersebar di Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat dan Jakarta Selatan," katanya.

Menurut Ahmad dana yang dikeluarkan sebesar Rp500 triliun tersebut terlalu besar. Menurut Ahmad, jika pembangunan JGSW ini untuk mencegah banjir tidak perlu mengeluarkan dana sampai sebesar itu.

Pihaknya juga telah mengusulkan kepada pemerintah DKI untuk membangun sistem drainase yang pengeluarannya tidak sebesar yang dikeluarkan untuk membangun JGSW.

"Sebenarnya kami telah mengajukan usulan untuk membangun sistem drinase, yang dikenal dengan sistem "tapak kuda'namun hal tersebut tidak pernah didengar," kata Ahmad.

Jika sebelumnya bernama proyek Reklamasi Pantura Jakarta dan dengan misi revitalisasi pesisir utara Jakarta, maka nama baru proyek ini adalah Pengembangan Pesisir IbukotaTerpadu (NCICD) dan dengan misi penanggulangan banjir Jakarta (Jakarta Giant Sea Wall).

Hal ini diakui oleh Ahmad. Ia mengatakan proyek pembangunan Jakarta Giant sea wall tersebut juga tidak jauh berbeda dengan proyek Reklamasi Pantura Jakarta yang pernah ditolak oleh Kementerian Lingkungan Hidup karena tidak sesuai dengan Studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL).

Ditilik dari ketidakmampuan mengalolakasikan dana untuk pembiayaaan dampak lingkungan baik selama proses maupun pascaproyek pembangunan JGSW dan reklamasi, mudah ditebak bahwa proyek ini semata untuk bisnis sesaat tanpa mampu meneropong efektivitasnya dalam memecahkan masalah banjir di Jakarta.

Menurut Ahmad, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) tentang proyek Giant Sea Wall DKI Jakarta, dalam program National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) sebagai acuan dasar dalam rencana pembuatan dokumen lingkungan, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) belum rampung dilakukan. Selain KLHS yang belum rampung, Ahmad juga menyatakan Amdal Regional juga belum ada dalam pembangunan proyek tersebut.

"Pelaksanaan JGSW ilegal dan melanggar hukum karena belum dilengkapi dengan dokumen pendukung yang dimandatkan peraturan perundangan yang menjadi dasar pengelolaan lingkungan atas pembangunan JGSW," katanya.

Ia juga menambahkan, jika berpatokan pada Amdal, sebuah proyek dikatakan layak untuk dibangun apabila layak secara ekonomi, teknologi dan lingkungan.

Ahmad mengaku, di tahun 2011 KLHS DKI Jakarta pernah dibahas. Namun pembahasan tersebut tidak selesai sampai dengan saat ini.

Selain itu, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim menilai pembanguan "Giant Sea Wall" yang bernilai ratusan triliun rupiah bisa bencana ekologis dan menyingkirkan nelayan dari ruang hidupnya. Proyek ini sangat merusak ekosistem pesisir Teluk Jakarta, kerusakan hutan mangrove dan terumbu karang akan menyebabkan bencana ekologis yang lebih besar.

Halim menjelaskan dalam pelaksanaan reklamasi pantai Jakarta seluas 2.500 hektare, sepanjang tahun 2000-2011 sedikitnya 3.579 kepala keluarga nelayan tergusur.

Menurut dia, dalam proyek ini sedikitnya 16.855 nelayan akan kembali lagi digusur dari ruang hidup dan ruang usahanya selain itu. Proyek ini memiliki banyak masalah selain menyingkirkan warga dan nelayan juga ternyata tidak bisa menyelesaikan persoalan banjir dan krisis air warga Jakarta.

"Bencana ekologis pasti terjadi seperti hilangnya ikan di perairan utara Jakarta, mengurangi potensi pariwisata bahari karena rusaknya laut serta abrasi di pesisir teluk Banten maupun pantai utara Jawa," katanya.

Ia mengatakan proyek ini juga akan mengorbankan perempuan nelayan yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga nelayan dalam membantu mengolah ikan secara tradisional. Sumber daya ikan yang hilang dari pesisir membuat nelayan harus melaut jauh dari pantai sehingga memakan biaya sangat tinggi dan juga sangat berisiko dalam hal keselamatan melaut.

Halim mengusulkan salah satu solusi alternatif yang dapat dilakukan dengan menjalankan konsep "River Dike" seperti yang disampaikan oleh Ketua Kelompok Teknik Kelautan ITB Muslim Muin.

Konsep tersebut menurut dia lebih murah daripada pembangunan "Giant Sea Wall", cukup dengan tanggul sepanjang pantai pada daerah yang mengalami penurunan tanah dan mempertinggi tanggul sungai dan tidak perlu menutup fasilitas yang sudah ada.

Seorang nelayan yang hampir setiap mencari nafkah di pantai utara, Abdul, mengaku sudah diberitahukan oleh pemerintah terkait dengan pembangunan itu. Yang ia khawatirkan jika sudah dilakukan pembangunan JGSW dia, akan lebih susah lagi mencari dan menangkap ikan.

"Sekarang saja sudah susah mencari ikan, bingung kalau pembangunan itu sampai terjadi. Saya berharap nanti pemerintah juga bisa menyiapkan lahan bagi kami untuk bertempat tinggal," katanya.

Selain itu ia mengaku, ada beberapa keluarga yang menjadi kepala rumah tangga adalah perempuan dan mata pencaharian mereka adalah sebagai nelayan.

Tanggapan Pemerintah Menanggapi berbagai macam protes dari berbagai macam LSM Asisten Deputi Bidang Pengaduan dan Pelaksana Sanksi Administrasi Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Widodo Sambodo memastikan bahwa proyek pembangunan Jakarta Giant sea Wall (JGSW) belum mendapat izin dari Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya. Hal tersebut disampaikaannya dalam acara jumpa pers di gedung KPBB di Jakarta pada (09/10) 2014.

Ia memastikan jika belum mendapat izin dari Menteri Lingkungan Hidup, dipastikan proyek JGSW tersebut ilegal, karena dalam pasal 111 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tntang Lingkungan Hidup mengharuskan pejabat menerbitkan izin lingkungan hidup sebelum dikerjakan, jika tidak ada maka hal tersebut akan dikategorikan sebagai pidana.

Widodo yang juga aktivis lingkungan tersebut menjelaskan perizinan terkait lingkungan hidup tidak hanya sebatas perizinan tingkat lokal DKI, Banten, ataupun Jawa Barat saja, melainkan harus tingkat regional karena nilai proyeknya sangat besar.

Menurut dia, jika pembangunan telah dilaksanakan, hutan mangrove yang ada di pesisir pantai akan terganggu kelangsungan hidupnya.

"Jika sudah dibangun air laut di kawasan bendungan tersebut akan mengalami turbolensi yang berbentuk seperti pusaran air dan tentu saja akan mengganggu kelangsungan hidup mangrove," ujarnya.

Di samping itu, Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama ketika ditemui di Balaikota Jakarta mengatakan pembangunan tahap A National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) tidak memerlukan Amdal karena pembangunan JGSW, ini baru merupakan tahap A, yakni memperkuat tanggul dan tahap mempertinggi tanggul saja.

Pembuatan tanggul menurut pria yang biasa disapa Ahok ini, hanya sekedar untuk memperkuat karena tanggul sebelumnya sudah ada.

Ketika ditanya terkait apakah akan ada rencana tahap B, Ahok menyatakan belum mengetahui pasti karena ada tim yang merancang hal tersebut. Pria yang pernah menjadi Bupati Belitung Timur ini juga mengatakan pihaknya akan melakukan pengkajian baru terkait dengan Amdal tahap B yang modelnya seperti model Garuda.

"Kalau Jakarta tidak ada tanggul sudah pasti akan roboh, orang kita 2,8 meter di bawah laut," katanya.

Di samping itu, Wali Kota Jakarta Utara Heru Budi Hartono pun mengakui hal tersebut.

Menurut dia, masyarakat tidak perlu khawatir karena Ahok sendiri telah mengatakan bahwa pembangunan tersebut hanya meninggikan tanggul yang sudah ada.

"Pak Ahok sudah bilang kepada saya bahwa itu adalah perbaikan tanggul," katanya.

Ia juga mengaku khawatir dengan kehidupan warga sekitar pesisir pantai utara yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Karena menurut dia, para nelayan itu tentu saja akan kehilangan mata pencaharian dan tempat tinggal.

Menurut Heru, proyek JGSW tersebut secara tidak langsung akan menggeser permukiman warga di pesisir Jakarta. Karena itu, pemerintah harus memiliki rencana pasti soal relokasi warga. Seluruh perkampungan nelayan yang ada di sepanjang pantai utara Jakarta akan terkena dampak dari proyek pembangunan NCICD.

Ia juga pada Senin, (27/10) lalu mengharapkan jika pembangunan sekarang hanya fokus pada perbaikan tanggul yang sudah ada, setidaknya jangan dibiarkan terkatung-katung.

"Setelah pemancangan tiang dilakukan, ada tim kecil berjumlah lima orang dibentuk. Tim itu, kata dia, berasal dari pihak-pihak yang terlibat dalam pembangunan mega proyek tersebut," tambahnya.

Heru menilai sesudah peletakan batu pertama tersebut, justru malah dibiarkan begitu saja. (Ant/Kornelis Kaha)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Sucipto

Advertisement

Bagikan Artikel: