Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Dirjen HKI: Pendaftaran Merek oleh UKM Masih Minim

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Direktorat Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM menyebutkan pertumbuhan pendaftaran merek oleh usaha kecil menengah (UKM) lokal mencapai 6-7 persen per tahun. Tingkat pertumbuhan tersebut dinilai masih cenderung minim di tengah serbuan merek asing yang masuk ke Indonesia.

Direktur Kerja Sama dan Promosi Ditjen HKI Kemenkumham Parlagutan Lubis mengatakan pihaknya terus berupaya agar tingkat pertumbuhan tersebut bisa meningkat signifikan tiap tahunnya.

"Tingkat pertumbuhan ini sebenarnya masih bisa ditingkatkan lagi jika ada kesadaran dari pemilik merek untuk mendaftarkan produknya. Untuk itu, kami terus berupaya dan menyosialisasikan pentingnya pendaftaran merek bagi pengusaha," jelasnya di Jakarta, Rabu (1/7/2015).

Dia menambahkan pihaknya tiap hari menerima pengajuan pendaftaran merek sebanyak 500-600 berkas. Pengajuan tersebut berasal dari produk dalam negeri dan asing. "Pengajuan merek yang masuk ke divisi kami biasanya merupakan produk pakaian, obat-obatan, dan kosmetik," ujar dia.

Dari jumlah berkas pengajuan pendaftaran merek, lanjut dia, tidak semuanya disetujui. Sejumlah merek yang dinilai masih mengandung unsur penjiplakan dari merek lain tidak mendapatkan persetujuan. "Masih ada pengusaha yang produknya tidak 100 persen asli. Artinya masih mengandung tiruan. Yang seperti inilah yang tidak kami setujui. Dari jumlah pengajuan merek, yang disetujui biasanya mencapai 60-70 persen," ungkap dia.

Sementara itu, untuk mendorong pertumbuhan jumlah UKM lokal yang mendaftarkan mereknya, pemerintah tengah mengupayakan revisi atas Undang-Undang Hak Cipta. Salah satu poin yang dibahas dalam revisi tersebut, yakni terkait jangka waktu pendaftaran merek.

"Saat ini untuk mendaftarkan merek biasanya membutuhkan waktu hingga satu setengah tahun. Kami rencananya akan memangkasnya menjadi tujuh hingga delapan bulan dengan harapan semakin banyak pengusaha yang peduli terhadap merek yang dimiliki," tegas dia.

Saat ini, proses revisi Undang-Undang Hak Cipta telah masuk ke Dewan Perwakilan Rakyat dan telah dibuat panitia kerja (panja).

Terkait masih maraknya peredaran barang palsu di Indonesia, pemerintah terus bekerja sama dengan pemangku kepentingan lainnya untuk menggalakkan kampanye peduli asli. Sosialisasi ditekankan kepada kerugian yang bisa dialami jika menggunakan barang palsu.

"Contohnya saja jika menggunakan suku cadang kendaraan yang palsu. Itu kan bisa merusak kendaraan dan berpotensi mengakibatkan kecelakaan bagi si pengendara. Ini yang harus selalu kita tekankan," ujar Parlagutan.

Selama ini, peredaran suku cadang kendaraan palsu banyak ditemukan di wilayah Surabaya. Umumnya, suku cadang yang dipalsukan tersebut merupakan produk Jepang. "Namun sayangnya, produsen jarang melaporkan bahwa produknya dipalsukan. Itulah yang membuat kami kesulitan dalam memberantas produk palsu," kata dia.

Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Masyarakat Indonesia Antipemalsuan (MIAP) Justisiari P Kusumah mengatakan bahwa berdasarkan hasil survei yang dilakukan terhadap tujuh komoditas menyebutkan adanya tren peningkatan peredaran barang palsu di Indonesia.

"Survei terakhir yang kami lakukan pada 2014 memang menunjukkan ada peningkatan dibandingkan 2010. Peningkatan ini kemungkinan karena pada 2008 terjadi krisis ekonomi sehingga konsumen memilih menggunakan barang palsu," jelas Justisiari.

Pada 2014, MIAP bekerja sama dengan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia melakukan survei terhadap tujuh komoditas yang sering dipalsukan. Ketujuh komoditas tersebut antara lain tinta printer (49,4 persen), pakaian (38,9 persen), barang dari kulit (37,2 persen), piranti lunakĀ  (33,5 persen), kosmetik (12,6 persen), makanan dan minuman (8,5 persen), dan produk farmasi (3,8 persen).

Hasil survei juga menunjukkan potensi kerugian negara akibat pemalsuan mencapai Rp 65,1 triliun. Angka tersebut meningkat dari survei di 2010 yang sebesar Rp 43,2 triliun.

"Angka-angka inilah yang perlu mendapat perhatian khusus bagaimana jumlahnya bisa diminimalisir. Berapapun jumlahnya harus dikurangi," kata Justisiari.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: