Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Aturan Pajak Barang Mewah Diapresiasi

Warta Ekonomi -

WE Online Jakarta Indonesia Property Watch (IPW) mengapresiasi aturan baru penerapan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) yang terkait dengan sektor properti karena dinilai mendengarkan masukan dari pelaku usaha perumahan.

"Secara umum Indonesia Property Watch menilai apa yang telah dilakukan pemerintah harus diapresiasi karena mendengarkan aspirasi dari pasar," kata Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu.

Menurut dia, aturan mengenai pengenaan PPnBM yang selama ini menjadi polemik di properti, sementara telah usai dengan dirubahnya aturan mengenai PPnBM yang dulunya dengan batasan luas menjadi batasan harga.

Ia mengemukakan, sebelumnya pengenaan PPnBM ditetapkan sebesar 20 persen untuk rumah mewah dengan luas bangunan minimal 350 meter persegi, serta apartemen atau kondominium dan "town house" berstatus "strata title" (hak milik) dengan luas bangunan 150 meter persegi atau lebih.

Sesuai aturan baru PMK206/PMK.0101/2015, maka batasan yang dipakai adalah harga jual. Rumah dan "town house" dari jenis non-"strata title" dengan harga jual Rp20 miliar atau lebih, dan apartemen, kondominium, "town house" dengan "strata title" dengan batasan Rp 10miliar atau lebih, tarif pajak tetap sama 20 persen.

"Hal ini sejalan dengan kritik dari Indonesia Property Watch beberapa waktu lalu, dimana berdasarkan alasan yang ada seharusnya batasan harga yang dipakai lebih dari Rp15 miliar. Dengan aturan ini maka properti harga Rp5 miliar tidak terkena dua pajak PPh 22 dan PPnBM, seperti yang dikhawatirkan banyak pihak," katanya.

IPW menyoroti banyaknya istilah yang dipakai dalam setiap kebijakan yang tidak selaras antara satu kebijakan dengan kebijakan lain.

Sebelumnya, pengamat perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center Darussalam menilai era keterbukaan atau globalisasi yang dimulai dengan pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) beberapa waktu mendatang, memiliki potensi timbulkan kebocoran penerimaan pajak.

"Kebocoran penerimaan pajak merupakan salah satu dampak dari era globalisasi yang memudahkan mobilitas basis pajak untuk berpindah dari satu negara ke negara lain," kata Darussalam di kawasan Cikini, Jakarta, Rabu (25/11).

Sumber-sumber kebocoran penerimaan pajak itu, kata Darussalam, bisa berasal dari tiga hal yaitu kompetisi pajak antar negara dalam mendatangkan investasi, "offshore tax evasion" atau upaya ketidakpatuhan pajak dengan cara menyembunyikan harta dan penghasilan di luar negeri, serta praktik pengalihan laba ("base erosion and profit shifting"/BEPS).

Meskipun belum ada kajian resmi yang mengukur seberapa besar dampak kebocoran pajak dari ketiga hal tersebut, lanjut dia, ada beberapa hal yang mengindikasikan kerentanan Indonesia.

Pertama, Indonesia merupakan lokasi favorit operasional anak perusahaan dari grup korporasi multinasional, kedua, banyaknya dana orang kaya (HNWI) yang disimpan di luar negeri, ketiga, banyaknya sengketa pajak internasional terutama terkait area transfer pricing.

Keempat kebutuhan akan investasi asing yang sering diterjemahkan dalam bentuk pemberian insentif pajak. Dan terakhir, sebagian dari investasi asing yang masuk ke Indonesia berasal dari negara-negara "tax haven" seperti Seychelles, British Virgin Island dan Mauritius. (ANT)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Febri Kurnia

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: