Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Sumber Pangan dan Energi Yang Terabaikan (Bagian I)

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Sebagian besar warga Indonesia merasa belum makan kalau belum makan nasi. Hingga sering kali jawaban, "Saya belum makan nih, cuma baru makan roti dan ubi rebus,".

Begitu bergantungnya mayoritas bangsa Indonesia terhadap bahan pangan yang disebut nasi atau beras, sampai-sampai yang kita sebut makan itu kalau sudah makan nasi dan lauk pauknya.

Padahal, ada yang menyebutkan konsumsi nasi yang terlalu berlebihan membawa dampak negatif.

British Medical Journal menyebutkan orang Asia dianggap berisiko tinggi terkena diabetes tipe 2 karena cenderung memiliki asupan jauh lebih tinggi untuk mengonsumsi nasi dibanding orang Barat. Rata-rata, orang Asia mengonsumsi nasi tiga hingga empat porsi sehari.

Menurut para peneliti, efek negatif nasi terhadap gula darah disebabkan indeks glikemik yang tinggi. Indeks glikemik merupakan ukuran seberapa cepat glukosa dilepaskan dalam aliran darah setelah makan.

Makanan dengan indeks glikemik rendah membuat seseorang merasa kenyang lebih lama dan menjaga kadar gula darah lebih stabil.

Di sisi lain, nasi putih juga memiliki nutrisi yang lebih sedikit termasuk serat dan magnesium yang dapat mencegah diabetes tipe 2.

Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Kementerian Pertanian Rudy Tjahjohutomo mengatakan beras memang kurang sehat apabila dimakan terlalu banyak.

"Indikasinya, bisnis rumah sakit terus di Indonesia terus berkembang dan menguntungkan. Mayoritas orang Indonesia makan beras dan sering sakit," kata Rudy.

Rudy mengatakan usia harapan hidup antara orang Indonesia bagian barat dan timur juga berbeda. Orang Indonesia bagian barat yang makanan pokoknya beras, usia harapan hidupnya lebih rendah dibandingkan orang Indonesia bagian timur yang makanan pokoknya sagu.

"Ada semacam 'rice food trap' atau jebakan pangan beras. Selama ini kita memang dipaksa makan beras. Kalau beras tidak ada, akhirnya harus impor," tuturnya.

Potensi sagu Padahal, kata Rudy, sagu memiliki potensi luar biasa apabila dikembangkan secara optimal. Sayangnya, masih belum banyak industri yang tertarik untuk mengolah sagu sehingga bahan pangan tersebut dianggap kalah kelas dibandingkan bahan pangan lain seperti beras.

"Sagu selama ini selalu dianggap sebagai bahan pangan inferior, Karena itu, sagu harus kita angkat dan kembangkan supaya bisa naik kelas," ujarnya.

Rudy mengatakan sagu juga termasuk bahan pangan dengan indeks glikemik rendah sehingga aman dikonsumsi oleh penderita diabetes. Karena memiliki indeks glikemik rendah, sagu cepat mengenyangkan dan tahan lama tapi tidak menyebabkan kegemukan.

Mantan Gubernur Irian Jaya Freddy Numberi mengatakan masyarakat Indonesia timur seperti Maluku, Papua dan Papua Barat yang mengonsumsi sagu relatif sedikit yang menderita diabetes.

"Jepang bahkan sudah mengembangkan sagu sebagai obat diabetes," ujar mantan menteri perhubungan dan menteri kelautan dan perikanan itu.

Freddy mengatakan masyarakat Papua terkesan dipaksakan untuk mengkonsumsi beras oleh pemerintah Orde Baru.

"Padahal makanan utama orang Papua adalah sagu yang kaya manfaat. Sewaktu saya jadi gubernur, tidak ada nasi yang dihidangkan di atas meja. Semuanya harus sagu," katanya.

Dia mengatakan diversifikasi bahan pangan seperti sagu diperlukan untuk mencapai ketahanan pangan nasional. Menurut Freddy, dia sudah beberapa membicarakan potensi sagu dengan Presiden tetapi belum ada hasil yang memuaskan.

Freddy menuturkan sagu bagi masyarakat Papua memiliki karakter yang berbeda dibandingkan beras. Apabila beras harus ditanam di sawah, sagu bagaikan sudah diberikan oleh Tuhan karena banyak tanaman sagu yang tumbuh meskipun tanpa ditanam.

Namun, saat ini hutan sagu sudah mulai berkurang karena banyaknya alih fungsi lahan untuk permukiman karena belum ada rencana tata ruang yang jelas.

Karena itu, Freddy mendesak pemerintah untuk membentuk Dewan Ketahanan Pangan Nasional hingga kabupaten dan kota untuk mempertahankan lahan-lahan pangan seperti hutan sagu yang ada di Papua.

"Dewan ketahanan pangan harus membuat zonasi yang jelas untuk lahan pangan. Saya mengusulkan adanya lahan sagu abadi yang diatur dalam peraturan daerah sehingga siapa pun yang menjabat tidak boleh memberikan izin alih fungsi," tuturnya. (Ant/Dewanto Samodro) BERSAMBUNG

Foto: SY

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Sucipto

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: