Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Antara Pemilu, Ekspektasi, dan Kebijakan Ekonomi

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Pesta demokrasi rakyat Indonesia pada 9 April lalu diharapkan oleh banyak pihak menjadi awal momentum perubahan ke arah yang lebih baik bagi kesejahteraan segenap bangsa di Tanah Air.

Janji-janji manis oleh sejumlah calon anggota legislatif (caleg) direspon oleh publik melalui hak suara yang dimilikinya pada Pemilu Legislatif .

Berdasarkan hasil hitung cepat (quick count) sementara oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menunjukkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memperoleh suara tertinggi dengan angka 19,72 persen.

Sedangkan tempat kedua, Partai Golongan Karya (Golkar) dengan perolehan suara 14,57 persen dan diikuti Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dengan 11,58 persen, serta Partai Demokrat 10,4 persen.

Sementara itu, empat partai Islam yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (9,09 persen), Partai Amanat Nasional (7,4 persen), Partai Persatuan Pembangunan (7 persen), dan Partai Keadilan Sejahtera (6,6 persen) menempati urutan kelima hingga kedelapan. Kemudian dibuntuti Partai Nasdem (6,4 persen) dan Hanura (5,2 persen).

Dua partai lainnya yang hampir dipastikan tidak mendapatkan kursi di DPR karena tidak memenuhi ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 2,5 persen dari jumlah suara sah yakni Partai Bulan Bintang (1,4 persen) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (1 persen).

Hasil hitung cepat tersebut langsung direspon oleh pasar sehari setelahnya. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis (10/4) ditutup turun 3,16 persen atau 115,68 poin menjadi 4.765, menyusul aksi lepas saham investor setelah hasil Pileg 2014 tidak sesuai harapan. Sementara itu, indeks 45 saham unggulan (LQ45) melemah 32,67 poin (3,91 persen) ke 803,23.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara menilai hasil hitung cepat yang menggerakkan pasar keuangan di dalam negeri itu merupakan hal yang wajar terjadi.

"Namanya saja pasar keuangan, kalau menguat dan melemah sedikit itu hal yang biasa lah. Kemarin (saham) menguat sebelum pemilu, setelah pemilu (investor) istilahnya profit taking. Menurut saya tidak ada yang luar biasa dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan, yang penting angka-angka fundamental ekonomi cukup baik," ujar Mirza.

Menurut Mirza pasar diperkirakan masih akan menunggu kepastian dari negosiasi sejumlah partai untuk melakukan koalisi dalam mengusung calon presiden yang akan dipilih pada Juli 2014 mendatang.

Mirza mengatakan, pasar keuangan biasanya mengharapkan reformasi di Indonesia terus berlanjut, meneruskan hasil dari pemilu-pemilu sebelumnya kendati pemerintahan silih berganti sejak 1999.

"Kita sudah lakukan reformasi sejak tahun 1999, 2004 dan 2009. Pemerintahan silih berganti reformasi terus berlanjut baik reformasi ekonomi, politik, ataupun hukum. Jadi pasar keuangan melihat apakah reformasi di Indonesia akan terus berlanjut," kata Mirza.

Figur Capres Kompleksitas permasalahan di Indonesia semakin membuat rakyat merindukan sosok pemimpin yang ideal untuk menyelesaikan problema di berbagai macam sektor. Sebuah lembaga survei, Pol-Tracking Institute, yang melakukan penilitan terhadap 1.200 responden di 33 provinsi di Indonesia menyebutkan masyarakat menginginkan figur calon presiden yang mampu mengatasi masalah ekonomi dan kesejahteraan.

"Sebanyak 46,54 persen responden menginginkan capres yang mampu mengatasi masalah ekonomi dan kesejahteraan publik. Selain itu, publik juga menginginkan sosok capres yang mampu menegakkan hukum dan pemberantasan korupsi," kata Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute Hanta Yudha.

Kemampuan capres di bidang lainnya walaupun tetap dibutuhkan, tidak dipandang publik lebih krusial dibandingkan dua kemampuan capres teratas.

Dalam survei itu juga disebutkan bahwa karakter capres bersih/jujur mempunyai nilai urgensi paling tinggi sebesar 59,7 persen. Selain itu, karakter peduli dan dekat dengan rakyat (57,7 persen), karakter tegas dan berani (54,4 persen), karakter capres berpengalaman (49,8 persen), dan capres berkarakter visioner (49,3 persen). Sedangkan karakter berpenampilan menarik hanya 25,7 persen.

Selain itu, hasil penelitian tersebut juga menjelaskan informasi yang perlu diketahui masyarakat tentang capres yaitu terkait visi, misi, program yang ditawarkan sebesar 37,6 persen dan rekam jejak serta pengalaman capres (31 persen). Sementara itu latar belakang partai yang mengusung dianggap tidak terlalu perlu diketahui publik (4,3 persen).

"Capres perlu menyampaikan visi-misi, program kerja yang matang, serta rekam jejak pengalaman untuk disosialisasikan ke pemilih secara masif," ujar Hanta.

Jika berasumsi pada hasil hitung cepat Pileg 2014, maka tidak ada partai yang dapat mengusung calon presiden sendiri karena tidak ada yang memenuhi ambang batas presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen dari jumlah suara sah. Namun, program-program yang sempat diusung capres khususnya yang terkait ekonomi, layak dicermati.

Aburizal Bakrie, calon presiden dari Partai Golkar, dalam sebuah orasinya menyatakan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan menumbuhkan wirausahawan-wirausahawan baru khususnya di sektor usaha kecil dan menengah (UKM).

Sementara itu, calon presiden Partai Gerindra Prabowo Subianto, yang masih 'kekeh' dengan konsep ekonomi kerakyatannya. Sedangkan capres dari PDIP Joko Widodo atau yang lebih dikenal dengan Jokowi, masih belum membeberkan dengan jelas program ekonominya.

Kebijakan Ekonomi Kendati indikator ekonomi dinilai kurang dilirik oleh sejumlah capres dalam visi dan misinya, sejumlah rencana kebijakan ekonomi capres untuk mengatasi permasalah di dalam negeri patut dijelaskan kepada publik.

Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Ryan Kiryanto mengatakan publik akan menunggu kebijakan ekonomi yang akan diterapkan oleh presiden terpilih hasil pilpres 2014 mendatang dan berharap presiden terpilih akan memberi warna baru dalam kebijakan ekonomi tanpa merombak kebijakan lama secara drastis.

"Presiden terpilih sebaiknya tetap mempertahankan kebijakan lama yang dinilai berhasil dan memperbaiki kebijakan yang kurang tepat," ujar Ryan.

Menurutnya, jika dilakukan perubahan kebijakan secara total berisiko tinggi karena akan terjadi perubahan radikal yang berisiko terhadap kondisi perekonomian. Oleh sebab itu langkah yang tepat adalah mempertahankan yang lama dan perbaiki yang tidak efektif. Apalagi setelah pelaksanaan pemilu legislatif yang berjalan dengan baik pihak investor tengah menunggu siapa presiden terpilih.

"Jika pelaksanaan pilpres berjalan baik maka Indonesia akan dinilai sebagai negara yang aman sehingga para investor akan menginvestasikan modalnya," kata Ryan.

Sementara itu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Armida Salsiah Alisjahbana mengatakan pemerintahan baru hasil Pemilihan Umum 2014 mendatang perlu mengendalikan stabilitas ekonomi makro selain mengendalikan subsidi energi.

"Stabilitas makro terutama pada defisit transaksi berjalan harus ada di bawah 2,5 persen agar pertumbuhan ekonomi tidak terlalu berisiko," ujar Armida.

Selain stablitas makro ekonomi, agenda penting pemerintahan berikutnya yaitu pengendalian subsidi energi dalam jumlah besar yang ditujukan untuk semua kendaraan. Menurut Armida, subsidi harus ditujukan pada kendaraan umum dan kendaraan niaga, bukan untuk kendaraan pribadi.

"Sementara, di sisi produksi, Indonesia harus melakukan investasi kilang minyak agar dapat memproduksi bahan bakar minyak di dalam negeri," kata Armida. (Ant/Citro Atmoko)

Foto: SY

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Sucipto

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: