Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Asosiasi Pengusaha Batu Bara: Kenaikan Royalti Batubara Ancam Eksistensi Bisnis

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Ketua Forum Komunikasi (Forkom) Pengusaha Tambang Aceh Rizal Kasli, Selasa (22/4/2014),  meminta agar pemerintah mempertimbangkan kembali rencana kenaikan royalti batu bara sebesar 13,5 persen tahun ini. Pasalnya, harga batu bara di pasar dunia sedang terjerembab atau berada di level terendah dalam kurun empat tahun terakhir. Penyebab penurunan harga adalah melimpahnya pasokan global dan penurunan impor oleh Tiongkok.

"Jika pemerintah tetap menaikkan royalti bisa dipastikan banyak perusahaan tambang batu bara yang gulung tikar. Ujung-ujungnya, pasti akan terjadi gelombang PHK (pemutusan hubungan kerja) besar-besaran. Itu yang tidak kami inginkan," ujarnya.

Pernyataan ini merupakan sikap Forkom Pengusaha Tambang atas rencana pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang akan menaikkan royalti batu bara menjadi 13,5 persen pada pertengahan tahun 2014.

Rencananya, kenaikan royalti ini akan menyasar perusahaan tambang batu bara yang memegang izin usaha pertambangan (IUP) dengan tetap tidak memberatkan pelaku usaha. Caranya dengan mengevaluasi struktur cost-nya, keekonomiannya, dan kepastian besaran royalti sehingga tercapai win-win solutuion.

"Bagi perusahaan win bagi pemerintah win. Pemerintah dalam artian pusat, provinsi, dan daerah," katanya.

Namun, Rizal pesimis bahwa rencana tersebut tidak akan memberatkan pelaku usaha karena yang paling terdampak adalah perusahaan kecil berlisensi IUP. Kondisi ini tentu akan memengaruhi produksi batu bara nasional yang tahun ini ditarget sebesar 430 juta ton. Target itu berpotensi terkoreksi 12% menjadi hanya 360 juta ton karena nilai produksi IUP kecil sekitar 50 juta ton hingga 60 juta ton per tahunnya.

"Yang saya tahu di Indonesia ini perusahaan-perusahaan besar berlisensi PKP2B yang masih mendominasi pertambangan batu bara. Nilainya bisa mencapai 300 juta ton, sedangkan sisanya berasal dari perusahaan kecil berlinsensi IUP," paparnya.

Bagi Rizal, pemerintah seharusnya benar-benar membedakan penerapan royalti antara penambang batu bara berkalori tinggi dengan yang berkalori rendah. Alasannya, jika yang berkalori tinggi harganya bisa naik lebih dari US$ 10 dalam kurun waktu tertentu, kenaikannya sangat linier. Kondisi ini tidak dialami oleh batu bara berkalori rendah.

"Kenaikannya hanya US$ 1. Itu pun tidak bisa diprediksi. Jadi, sangat tidak seimbang," tegasnya.

Oleh karena itu, Rizal meminta kepada pemerintah agar tidak menaikkan royalti. Sebagai gantinya pelaku usaha batu bara berkalori rendah ini diberikan insentif.

"Lebih baik memberikan insentif berupa royalti lebih rendah kepada pelaku usaha yang menjalankan prinsip good mining practice ketimbang menaikan royalti. Nah, perusahaan yang tidak menjalankan prinsip ini dikenakan beban yang lebih tinggi. Bahkan, bila perlu diberikan terminasi atau diberhentikan kegiatan pertambangannya." terangnya.

Rizal mengingatkan biaya produksi untuk menambang batu bara itu sama saja antara yang berkalori rendah maupun yang tinggi. Hanya yang membedakan itu adalah lokasi tambang, ketebalan sin, dan kualitas batu bara.

"Jika faktor ini menjadi pertimbangan tentu saja rencana pemerintah yang akan menyamakan royalti IUP dan PKP2B jelas sangat tidak adil," pungkasnya.

Di sisi lain, Rizal juga meminta agar pelaku usaha lokal dilibatkan dengan membuka PLTU yang spesifikasi batu baranya disesuaikan dengan batu bara yang ada di sekitar pabrik terutama di Aceh yang memiliki batu bara berkalori rendah. Dengan demikian, PLTU tidak terlalu bergantung pada batu bara impor dan pelaku penambang batu bara lokal akan semakin memiliki pasar yang luas.

(Cahyo Prayogo)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Cahyo Prayogo
Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: