Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kolom: Gejolak Ekonomi dan Makroprudensial

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta- Ada yang baru dalam Kajian Stabilitas Keuangan  No.22, yang diluncurkan Mei 2014 lalu. Meski laporan tersebut sudah meluncur ke-11 kalinya, namun, ada hal yang belum pernah diulas di edisi sebelumnya, yaitu mengenai kerangka kebijakan makroprudensial Bank Indonesia (BI). Istilah makroprudensial sendiri baru populer setelah krisis finansial global 2007/2008 lalu. Sebuah kajian ringan Bank of International Settlement (BIS) pernah mengulas, istilah makroprudensial menjadi buzzword paska krisis 2008.

Sebelumnya, jika kita memasukkan keyword  “macroprudential” dalam mesin pencari, hanya akan muncul kurang lebih 50 ribu kata saja. Namun, pada akhir 2008, paling tidak ditemukan 125 ribu kata. Istilah makroprudensial begitu populer paska krisis, mengingat jenis krisis yang muncul berbeda dengan  jenis krisis sebelumnya. Dalam khazanah teori, disebut adanya generasi ketiga dalam  model  krisis, di mana faktor financial market imperfection menjadi hal fundamental.

Mengapa “tidaksempurna”?Karena ada masalah perilaku yang bersifat psikologis, di mana pasar digerakkan oleh mood dan maniac.Selain dipengaruhi faktor perilaku, sistem keuangan juga bersifat interdependent. Artinya, memiliki keterkaitan yang eratdengan sektor lainnya, mengingat produk-produk investasi keuangan juga tak lagi orisinal, melainkan campuran (hybrid) dari berbagai komposisi.Inovasi keuangan yang begitu pesat telah mendorong pasar keuangan menjadi begitu kompleks sekaligus mudah bergarak (volatile).

Karena cirri khas sektor keuangan yang berubah secara revolusioner inilah dampak yang ditimbulkan juga begitu luas dan kompleks. Untuk itu diperlukan perangkat mitigasi yang juga “campuran”, tak lagi bisa melulu dengan kebijakan orisinal moneter saja.Kebijakan makroprudensial adalah kerangka kebijakan  yang melihat keterkaitan aspek makro, keuangan dalam keseluruhan sistem ekonomi yang begitu kompleks.

Bagaimana di Indonesia?

Dalam tatanan kelembagaan sistem keuangan di Indonesia, kerangka kebijakan makroprudensial menjadi relevan paska keluarnya Undang-Undang (UU) No.21 Tahun 2011 mengenai Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebagaimana diamanatkan dalam UU OJK tersebut, per Januari 2014 pengawasan perbankan harus dipindahkan dari BI ke OJK. Pertanyaannya, lalu BI  harus melakukan apa, setelah tugas pengawasan bank diambil OJK?

Pengawasaan perbankan fokus masing-masing individu bank. Titik pengawasannya adalah pada risiko-risiko yang muncul dari kualitas asset dan liabilities dalam neraca masing-masing bank, termasuk aspek tata kelolanya. Itulah yang disebut sebagai mikroprudensial. Tugas tersebut telah diambil alih oleh OJK. Untuk itu, BI perlu mendefinisikan ulang perannya dalam kerangka kebijakan moneter yang berevolusi dalam konteks perekonomian domestik, serta relasinya dengan situasi eksternal. Di situlah kerangka makroprudensial menjadi relevan.

Jika mikroprudensial menyoroti situasi masing-masing individu bank, maka makroprudensial melihat bagaimana keterkaitan bank dengan institusi lain dalam sistem keuangan serta bagaimana peran sistem keuangan dalam konteks perekonomian. Sederhananya, melihat kaitan aspek makro-mikro perbankan, sistem keuangan daalam perekonomian.Tujuan dari kerangka makroprudensial adalah mengidentifikasi risiko-risiko potensial yang bisa mempengaruhi stabilitas sistem keuangan, sekaligus merumuskan berbagai respons kebijakan  yang dibutuhkan untuk memitigasinya.

Karena nature persoalannya begitu kait mengait antara satu faktor dengan faktor lain, maka respons kebijakannya pun tak bisa hanya bersifat parsial, melainkan menyeluruh menyangkut berbagai aspek yang berpotensi menimbulkan persoalan dalam stabiltas sistem keuangan. Apa konkritnya? Ketika akhir-akhir ini situasi tidak kondisif, terutama terkait dengan membengkaknya defisit dalam neraca transaksi berjalan kita, pertanyaanya apa yang bisa dilakukan. Salah satu jawabannya, mengendalikan kredit agar permintaan impor akibat lonjakan investasi bisa ditekan. Itulah mengapa pada 2014 ini BI ketat menjaga pertumbuhan kredit cukup rendah, antara 15 hingga 17 persen. Itu adalah kebijakan makroprudensial.

Sebagaimana kita tahu, defisit current account telah menimbulkan kepanikan investor portofolio sehingga sempat terjadi pelarian modal, terutama pada kuartal terakhir 2013 lalu. Sehingga, untuk memitigasi sumber ketidakstabilan sistem keuangan, diambil jalan meredupkan investasi agar aliran impor turun. Caranya, pertumbuhan kredit dikurangi.

Karena kompleksitas masalah inilah seringkali arah kebijakan BI sulit dipahami. Dalam teori konvensional, arah suku bunga biasanya diarahkan pada laju inflasi. Artinya, jika inflasi melandai mestinya suku bunga juga bisa diturunkan. Namun, mengapa scenario tersebut tak dijalankan akhir-akhir ini? Karena potensi risiko ada pada pelemahan nilai tukar. Jadi, sebenarnya tugas BI menjaga inflasi atau menjaga nilai tukar? Dalam sistem keuangan yang kompleks, dua-duanya mempengaruhi dinamika, sehingga perlu dimitigasi sekaligus.

Arah ke Depan

Ada banyak varian kebijakan yang dijalankan dalam rangka makroprudensial akhir-akhir ini. Pertama, kebijakan loan-to-value (LTV) pada sektor properti. Tujuannya, untuk memitigasi kredit agar tidak terlalu eksesif di sektor tersebut, sehingga harga bisa ditekan supaya melandai. Kedua, menyerap likuiditas melalui kebijakan menaikkan GiroWajib Minimum (GWM) dari 2% menjadi 4%. Tujuannya, untuk mengurangi risiko likuiditas perbankan, akibat ketatnya kebijakan moneter dan mengeringnya pasar. Ketiga, mengaitkan GMW dengan Loan Deposit Ratio (LDR). Tujuannya, agar perbankan tak mengalami kekeringan akibat terlalu ekspansif memberikan kredit, sementara Dana Pihak Ketiga (DPK) mulai berkurang.

Semua kebijakan tersebut bersifat reaktif. Pertanyaannya, adakah kebijakan makroprudensial yang bersifat proaktif? Disinilah letak kekurangan dari kebijakan makroprudensial BI. Mestinya, kebijakan makroprudensial tak hanya bersifat “pemadam kebarakan”, melainkan “mengantisipasi persoalan”. Bagaimana bisa dilakukan? Sebagai mana kita tahu, berbagai masalah jangka pendek muncul terutama karena pola pertumbuhan (growth pattern) yang tak seimbang.

Mengapa struktur Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) begitu dominan peran investor asing, terutama di pasar keuangan (neraca modal dan finansial)? Jawabannya, karena pasar barang kita (neraca perdagangan) tak berkembang. Artinya, harus dicari solusi jangka panjang, agar impor bahan baku dan barang modal turun signifikan, sementara ekspor non-migas kita naik drastis. Perbankan turun menentukan dari alokasi kredit pada berbagai sektor yang diperlukan.

Misalnya, untuk mengurangi impor bahan baku mungkin perlu dipikirkan kebijakan LTV untuk sektor yang menyerap komponen impor tinggi. Atau menurunkan perhitungan risiko kredit untuk sektor-sektor yang mendorong ekspor, seperti Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) sebagai penghasil devisa ekspor terbesar ketiga. Artinya, diperlukan kreatifitas kebijakan yang berorientasi mempengaruhi patter of growth kita agar lebih sustainable.

 

Penulis: A.Prasetyantoko adalah Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta

Sumber: Majalah Warta Ekonomi No 10/2014

Baca Juga: Pria Buleleng Diringkus usai Curi Tabung Gas-Barang Elektronik

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Arif Hatta

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: