Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tantangan Presiden Baru untuk Majukan Ekonomi

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta- Investor cenderung menarik diri dari pasar keuangan domestik jelang Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 9 Juli lalu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) mondar mandir pada kisaran level 4.800 hingga 4.900-an. Sementara nilai tukar berada pada kisaran Rp12.000-an per dolar Amerika Serikat (AS). Mengapa pasar cenderung bereaksi negatif menjelang pilpres?

Apakah pilpres mampu merubah arah modal asing? Kontestasi politik yang keras membuat pasar tak mau masuk ke pasar domestik, paling tidak untuk sementara waktu sambil menunggu perkembangan lebih pasti dalam konstalasi politik. Kita berharap pilpres berjalan aman dan damai, sehingga arah investasi segera didapatkan.

Fundamental Politik

Benarkah investor memperhitungkan konstalasi politik dalam keputusan investasi mereka? Survei Deutsche Bank pada Mei hingga Juni 2014 menunjukkan 87% responden memandang perhelatan Pilpres 9 Juli sebagai momentum penting yang akan menentukan strategi investasi mereka. Lebih lanjut, survei ini juga menunjukkan jika Prabowo-Hatta memenangi pilpres 56% responden akan menjual kepemilikan aset mereka di pasar domestik, sementara 13% lainnya akan melakukan pembelian aset. Sebaliknya, jika Jokowi-Kalla yang memenangkan pertarungan, 74% investor akan melakukan pembelian dan hanya 6% saja yang akan menjual asetnya.

Pertanyaannya, apakah para investor cenderung partisan dan condong ke calon nomor urut 2 (Jokowi-Kalla)? Sebenarnya, situasi semacam ini mirip dengan situasi pada awal tahun. Pada waktu itu, saat nilai tukar berada pada kisaran Rp12.200-an, para analis asing berani meramalkan kemenangan Jokowi akan membuat penguatan rupiah. Analis dari Malayan Banking Bhd (Maybank) misalnya, meramalkan jika Jokowi menjadi Presiden Republik Indonesia ke-7, rupiah akan menguat pada kisaran Rp11.300-an, sementara jika yang menjadi presiden orang lain rupiah akan berada pada Rp11.700-an.

Sementara analis OCBC memprediksi nilai tukar akan berada pada kisaran Rp12.000-an jika Jokowi menang, sebaliknya jika kalah nilai tukar akan melemah pada Rp12.600-an. PT. Bank Danamon Tbk. memperkirakan rupiah menjadi 11.000-an, jika Jokowi menjadi presiden. Rabobank memproyeksikan rupiah berada pada kisaran Rp11.750, sementara Morgan Stanley menaksir rupiah akan menjadi Rp11.800-an. Semuanya dengan skenario Jokowi menjadi presiden. Ulasan senada disampaikan beberapa lembaga asing, seperti Standard Chartered dan Deutsche Bank AG.

Apa sebenarnya yang mereka harapkan dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden ini? Sejatinya, para investor tak perduli dengan siapapun yang akan memimpin Republik Indonesia ini. Ada beberapa hal yang mereka sangat harapkan pada pemimpin baru nanti. Pertama, bisa mengeksekusi kebijakan lebih baik, tak terlalu banyak bernegosiasi politik. Kedua, melakukan perubahan secara gradual dan ketiga memahami peran sektor swasta dalam perekonomian.

 

Program Ekonomi

Benarkah program ekonomi Jokowi-Kalla lebih diterima pasar ketimbang Prabowo-Hatta? Jika mencermati rumusan programnya sendiri, sebenarnya tak terlalu banyak berbeda, terutama dari rumusan visi-misinya. Jika pasangan nomor urut 1 mengusung nasionalisme-kerakyatan, pasangan nomor urut 2 menonjolkan dimensi berdikari dalam hal ekonomi. Implikasinya sebenarnya sama saja, yaitu berorientasi pada pengembangan ekonomi kerakyatan dengan cara-cara nasionalisme.

Tentu rumusan visi ekonomi tersebut sangat abstrak dan terjemahannya bisa saja berbeda. Apalagi mengingat bahwa rumusan visi dan misi tersebut lebih untuk kepentingan kampanye pemenangan. Dalam praktiknya nanti dipastikan siapapun yang memenangkan pemilihan presiden akan melakukan kompromi dalam pelaksanaan program ekonominya.

Dalam beberapa kali debat calon presiden, memang nampak Jokowi lebih siap dengan tawaran konkrit dalam kebijakan ekonomi. Sementara Prabowo cenderung melihat secara luas ke depan. Ada konsensus pemahaman bahwa pasangan Jokowi-Kalla akan lebih mikro, sementara Prabowo-Hatta lebih makro. Bagi pelaku bisnis tentu tawaran mikro lebih terang menunjukkan inspirasi bagi mereka mengenai arah kebijakan ekonomi ke depan. Sementara, dengan tawaran makro, mereka masih harus menerjemahkan dan menduga-duga implementasinya seperti apa.

Di luar kontestasi gagasan mengenai rencana program aksi di bidang ekonomi, hal yang menjadi perhatian investor adalah kontestasi elektabilitas yang semakin intens.

Sebenarnya, para investor dan pelaku bisnis tidak partisan dalam pengertian mendukung salah satu calon. Melainkan mereka lebih melihat peluang kemenangan serta situasi yang menjamin kepastian. Karena hanya itulah yang sebenarnya diharapkan investor, yaitu kepastian agar mereka bisa mengkalkulasi bisnis dan investasi mereka. Tanpa kepastian, mereka tak bisa memperkirakan berapa biaya dan keuntungan yang akan mereka peroleh dengan masuk ke pasar domestik kita.

Untuk itu, penting untuk mengusahakan agar pilpres berjalan aman, lancar dan tanpa kecurangan. Setelah itu, siapapun yang terpilih segera mendapatkan mandat penuh menjalankan pemerintahan 5 tahun ke depan. Rasanya, investor akan dengan cepat beradaptasi dengan siapapun presiden dan wakil presiden, asal semuanya jelas dan pasti.

 

A.Prasetyantoko

Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta


Sumber: Majalah Warta Ekonomi Nomor 13 Tahun 2014

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Arif Hatta

Advertisement

Bagikan Artikel: