Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pembenahan Koperasi Yang Tak Kunjung Usai (Bagian I)

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta- Dibatalkannya UU No.17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian menunjukkan bahwa pengurusan soko guru ekonomi yang disebutkan Bung Hatta tidak matang. Dengan kembalinya pada pada UU No. 25 Tahun 1992 berarti juga memunculkan masalah lama ke permukaan.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan UU No.17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian akhir Mei lalu, mendapat sorak gembira dari para praktisi koperasi. Suroto salahsatunya, ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) yang memimpin Juducial Review menyatakan bahwa sejak rancangan undang-undang koperasi tersebut sudah cacat secara hukum.

Dalam pertimbangan hakim, ketua majelis MK Hamdan Zoelva menyatakan filosofi dalam UU Perkoperasian ternyata tidak sesuai dengan Pasal 33 ayat 1 UUD 1945. Putusan ini menjadi fenomenal, karena secara konstitusi ekonomi Indonesia diingatkan kembali bahwa hakikat susunan perekonomian merupakan usaha bersama dan berdasarkan asas kekeluargaan.

Padahal, sebagai ekonomi emerging market yang dilakukan Indonesia saat ini bertumpu pada modal sebagai penopang utama pertumbuhan.

Meski demikian, keterangan dari Kementerian Koperasi (Kemenkop) jauh panggang dari api. Pembtalan UU Perkoperasian ini dianggap mengganjal beberapa agenda institusional. Pertama, berkenaan dengan peralihan otoritas institusi koperasi finansial seperti koperasi simpan-pinjam akan beralih dari Kemenkop kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kedua, batalnya rencana pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Koperasi. Meskipun rumor tugas pengawasan koperasi hingga kini belum menjadi isu hangat di tubuh OJK.

Dalam data yang dicatat Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia (LSP2I), diketahui bahwa saat ini jumlah koperasi di tanah air ada sekitar 186.000 unit. Adapun jumlah koperasi simpan pinjam (KSP) sebanyak 71.000 unit.

Apakah ini angka yang kecil? Tentu saja tidak. Karena jumlah koperasi sebanyak itu merepresentasikan jumlah pendirian yang tunggal. Atau, dengan kata lain bukan anak cabang. Bandingkan dengan jumlah layanan cabang empat bank besar saat ini.

Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang hingga akhir tahun lalu memiliki layanan 446 Kantor Cabang; 545 Kantor Cabang Pembantu; 5.001 Unit BRI, 919 Kantor Kas; 1.804 Teras BRI; dan 350 Teras Mobile.

Adapun Bank Mandiri memiliki 1.835 unit kantor cabang dan kantor mikro sebanyak 2.398 unit. Pada periode yang sama total outlet BNI di seluruh Indonesia mencapai 1.651 unit. Dan, bank BCA memiliki jaringan kantor mencapai 1.021 kantor.

 

Gerak Perubahan Institusional

Secara jumlah koperasi keuangan simpan pinjam jauh lebih banyak ketimbang lembaga finansial bank. Meskipun secara kemampuan dana, koperasi terbilang sangat kecil atau mikro. Bahkan untuk dibandingkan dengan sekelas bankperkreditan rakyat (BPR), koperasi tidak dapat bersaing. Sehingga, yang terjadi saat ini, koperasi-koperas pun menyimpan uangnya di BPR atau bank syariah.

Sehingga, alasan Kemenkop yang menyebutkan koperasi nantinya di bawah pengawasan OJK terlalu berlebihan. Secara operasional, selama ini koperasi pun tidak pernah berada di bawah Bapepam ataupun sirkulasi keuangannya ditangani Bank Indonesia. Namun secara alamiah, koperasi-koperasi menyimpan uangnya di bank terdekat atau asosiasi tertentu.

Misalnya, koperasi yang membentuk dirinya sebagai Baitul Mal wa Tamwil (BMT) memiliki asosiasi BMT se-Indonesia atau disebut Absindo. Pada tahun lalu Absindo menyatakan bakal menjamin dana nasabah yang disimpan di BMT yang tergabung dalam asosiasi tersebut. Nilai simpanan yang dinyatakan akan dijamin maksimal Rp25 juta. Namun, kriteria BMT yang menjadi anggotanya pun harus terinterkoneksi dalam sistem APEX.

APEX merupakan lembaga yang merupakan induk BMT yang kedudukannya seperti BI untuk BMT. Rencananya sama seperti koperasi dalam UU No. 17 Tahun 2012, lembaga tersebut akan membentuk LPS.

Dalam perkembangannya, koperasi di tanah air tidak bermasalah secara badan hukum. Namun UU No. 17 Tahun 2012 menggiring koperasi menjadi badan hukum korporasi. Hal ini juga merupakan babak baru yang berbeda dari perkembangan-perkembangan sebelumnya.

Sementara pada kondisi sebelumnya, terutama pada era Orde Baru koperasi dijadikan sebagai lembaga tingkat mikro yang berfungsi untuk menyalurkan bantuan pemerintah, seperti distribusi pupuk dan beras melalui Koperasi Unit Desa (KUD). Setelah pemerintahan Soeharto usai, koperasi dibiarkan bersaing dengan institusi korporasi swasta yang bertumpu pada modal yang besar.

Jelas saja, koperasi-koperasi yang selama 32 tahun tidak memiliki mental bisnis langsung tergerus. Lebih parah lagi, pengurus koperasi yang tidak memiliki kemampuan bisnis tidak mendapat kritik dari para anggotanya karena mereka tidak mengerti bahwa status anggota koperasi juga merupakan pemilik koperasi tersebut.

Merosotnya jumlah koperasi semakin terlihat setelah ditantang mematuhi aturan UU No. 17 Tahun 2012. Di Balikpapan misalnya, dari total 533 koperasi yang terdata terdapat 139 koperasi yang tidak aktif.

Meskipun dalam catatan LSP2I sebanyak 80% koperasi simpan pinjam yang ada saat ini merupakan koperasi papan nama. Artinya, koperasi yang mengatasnamakan koperasi padahal tidak memiliki kredibilitas sebagai koperasi yang benar.

Begitu carut-marutnya pemerintah mempertahankan koperasi sebagai bagian dari komponen perekonomian Pancasila yang diamanatkan UUD 1945. Banyak kalangan bahkan menganggap koperasi yang dimaksudkan sebagai sokoguru perekonomian hanya tinggal sejarah. Bahkan, setelah koperasi dibakukan semata sebagai badan hukum, telah menciptakan perubahan paradigma mendasar koperasi bagi kalangan anak muda. Yakni, koperasi sebagai bentuk usaha kecil dan mikro yang tumbuh di desa-desa dan sebagai tempat usaha di kantor-kantor untuk mengakomodir serikat pekerja. (BERSAMBUNG)

 

Sumber: Majalah Warta Ekonomi Nomor 11 Tahun 2014

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: https://wartaekonomi.co.id/author/jajang
Editor: Arif Hatta

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: