Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Filosofi Demokrasi Ala SBY (I)

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - "Demokrasi tanpa keadilan adalah sesat. Keadilan tanpa kesejahteraan adalah semu. Kesejahteraan tanpa demokrasi adalah timpang," itulah kutipan Pidato Kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI tahun 2014.

Dalam buku "Demokrasi dan Para Pengeritiknya" (1989) karya pakar politik terkemuka AS, Robert A Dahl, yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Guru Besar FISIP UI A Rahman Zainuddin, disebutkan bahwa demokrasi merupakan paham yang terus berkembang dalam ilmu tata pemerintahan.

Dahl mengingatkan, "sebagai suatu pandangan tentang tatanan yang ideal, demokrasi tidak boleh dianggap sama dengan kenyataan kehidupan politik Yunani seperti kadang-kadang dianggap orang".

Selain itu, ujar Dahl, demokrasi dalam pandangan Yunani kuno tidak akan diketemukan relevansinya bagi dunia modern atau pascamodern, kecuali bila dipahami bahwa demokrasi terus berkembang.

Salah satu contohnya, demokrasi dalam pandangan Yunani kuno mensyaratkan antara lain jumlah warga negara harus sangat kecil, yang secara ideal bahkan jauh lebih kecil dari 40.000-50.000 yang terdapat di Athena pada masa Pericles (negawaran besar Athena pada abad ke-5 SM).

Sedangkan persyaratan lainnya adalah setiap warga negara harus dapat berkumpul serta secara langsung memutuskan undang-undang dan keputusan-keputusan mengenai kebijakan sehingga demokrasi pada masa Yunani kuno tidak mengenal pemerintahan perwakilan sebagai alternatif demokrasi langsung.

Pada masa modern ini, tentu saja dapat kita temukan negara berpenduduk jutaan yang juga menganut demokrasi, serta negara-negara yang menganut demokrasi relatif menggunakan sistem parlemen atau dewan perwakilan sebagai contohn pemerintahan perwakilan dalam proses pembuatan undang-undang di negara itu.

Karena sangat berkembangnya demokrasi (yang secara harfiah berarti "pemerintahan rakyat", maka menarik pula disimak ucapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang telah memimpin bangsa Indonesia sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dalam jangka waktu sepuluh tahun terakhir ini.

SBY dikenal sebagai pemimpin yang percaya dan menjunjung tinggi demokrasi, dan berdasarkan hasil Litbang Harian Kompas, kata-kata demokrasi/demokratisasi/demokratis merupakan kata-kata yang paling banyak muncul dalam Pidato Kenegaraan 2014, yaitu 33 kali.

Berdasarkan Litbang Kompas pada edisi 16 Agustus 2014, kata-kata demokrasi/demokratisasi/demokratis juga kerap muncul pada pidato-pidato kenegaraan tahun sebelumnya, seperti sebanyak 26 pada pidato tahun 2013, 22 pada pidato tahun 2012, dan bahkan mencapai 43 kali pada pidato tahun 2009.

Kata-kata lainnya yang relatif bisa menyaingi secara kuantitas adalah "pembangunan", "pendidikan/sekolah", "kemiskinan/miskin", dan "kesehatan".

Menurut SBY, masyarakat Indonesia perlu bersyukur bahwa sejak bergulirnya reformasi, demokrasi di Indonesia terus tumbuh semakin kuat.

"Sebenarnya, dalam konteks realitas dunia sekarang, ini merupakan hal yang langka terjadi. Di berbagai belahan dunia, kita melihat berbagai contoh transisi demokrasi yang mengalami stagnasi, menjadi layu dan bahkan akhirnya runtuh," katanya.

Presiden Yudhoyono juga mengingatkan bahwa dunia juga bertaburan dengan contoh transisi demokrasi yang kerap dirundung konflik, instabilitas dan kemunduran ekonomi.

Untuk itu, filosofi SBY tentang transisi demokrasi merupakan jalan proses yang penuh risiko dan tantangan, yang perlu diperhatikan oleh setiap warga negara Indonesia.

"Alhamdulillah, dengan ridho Allah SWT, dan dengan kerja keras kita semua, pembangunan demokrasi kita berjalan relatif baik. Dalam 15 tahun terakhir, kita telah 4 kali melakukan pemilu secara teratur dan damai," katanya.

Terkait dengan kehidupan bernegara, ujar Presiden, satu hal yang perlu diperhatikan adalah kualitas demokrasi, yang dapat dibedakan antara demokrasi prosedural dan demokrasi substantif.

SBY memaparkan, demokrasi prosedural adalah dalam arti pembentukan partai politik, pelaksanaan pemilu, dan pembentukan pemerintah serta parlemen, tetapi semua itu tidak menjamin demokrasi yang berkualitas.

Ia menegaskan, demokrasi yang berkualitas mempunyai banyak dimensi positif antara lain tampilnya wakil-wakil rakyat yang bersih dan memiliki solusi terhadap masalah bangsa, serta pemilihan umum yang menampilkan perdebatan yang bermutu dan persaingan yang sehat. (Ant/Muhammad Razi Rahman)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor:

Advertisement

Bagikan Artikel: