Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kolom: Skenario Bumerang Bank Century Bagi Pemerintahan Mendatang

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta- Jawaban atas pertanyaan di atas tampaknya akan semakin menarik untuk diketahui karena sampai dengan pekan lalu, pengadilan telah mendengarkan keterangan para saksi dalam kasus Bank Century (BC) dengan terdakwa Budi Mulya (BM), mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI). Telah dihadirkan pula di persidangan tiga saksi utama, yaitu mantan Menteri Keuangan sekaligus mantan Ketua Komite Stabilisasi Sistem Keuangan (KSSK) Sri Mulyani Indrawati (SMI),  mantan Wakil Presiden  Jusuf Kalla (JK),  dan mantan Gubernur BI Boediono (Boed).

Ketika pertama kalinya dibacakan dalam persidangan pada Maret 2014, dakwaan jaksa langsung menimbulkan banyak komentar dan pertanyaan terutama menyangkut dua hal. Pertama, BM didakwa melakukan tindakan melawan hukum bersama dengan beberapa orang lainnya, termasuk Boed sebagai mantan Gubernur BI ketika kasus yang terjadi. Nama Boed disebut lebih dari 60 kali dalam surat dakwaan.

Kedua, pasal gratifikasi yang semula diduga akan digunakan untuk menjerat BM yang selalu dikatakan sebagai pintu masuk mengungkap kasus BC, ternyata tidak ada dalam dakwaan. Bisa dimaklumi jika Boed melalui jurubicaranya, Yopie Hidayat, mengomentari bahwa dakwaan jaksa sangat di luar dugaan dan mengagetkan karena mendakwa sebuah kebijakan.

Mencermati proses persidangan tiga saksi utama, sangat jelas kemana jaksa mengarahkan ketiga saksi. Jaksa terus berusaha membuktikan bahwa pada 2008 itu tidak terjadi krisis dan karenanya  kebijakan menyelamatkan BC adalah melanggar hukum.

Lalu apa yang sebenarnya terjadi? Ada krisis atau tidakkah pada tahun 2008?

Kalau kita mau berpikir sedikit saja, sebenarnya sangat mudah untuk mendapatkan informasi bahwa pada 2008 memang benar terjadi krisis. Kita berselancar sebentar di internet, ketik “krisis 2008” atau kumpulkan kliping berita media pada 2008 mengenai krisis. Kita akan mendapatkan informasi yang menjelaskan bahwa pada tahun tersebut memang terjadi krisis. Bukti lain yang tak terbantahkan bahwa pada 2008 terjadi krisis ialah bukti forensik berupa jejak kebijakan yang masih berlaku sampai sekarang, yaitu kebijakan peningkatan batas penjaminan simpanan di bank dari Rp100 juta menjadi Rp2 miliar. Kalau tidak ada krisis tentu Pemerintah tidak akan menaikkan batas jaminan simpanan.

Pada 2008, bahkan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Australia, New Zealand, Hong Kong, dan Korea telah mengeluarkan kebijakan jaminan penuh atau lebih dikenal dengan istilah “blanket guaranty”. Artinya, negara-negara tersebut lebih sungguh-sungguh dalam mengantisipasi dampak krisis 2008 dibandingkan negara kita yang justru terkesan menganggap enteng. Ini bukti kuat bahwa bangsa kita belum kapok juga dan terus meremehkan dampak krisis. Kita tentu masih ingat pada krisis 1997/1998. Kita bersikap jumawa dengan mengatakan bahwa negara kita jauh lebih baik daripada negara Asia lainnya seperti Korea dan Thailand. Kenyataannya, justru negara kita yang menderita paling parah. Dari dakwaan jaksa dan keterangan beberapa saksipun sangat gamblang bahwa merekapun cenderung  meremehkan ancaman dan dampak krisis 2008.

JK mengatakan tidak ada krisis, sedangkan SMI dan Boed mengatakan sebaliknya dan kalau tidak dilakukan upaya pengambilalihan BC krisis akan lebih parah.

Pertanyaannya mengapa beberapa saksi memberikan keterangan bertentangan? Jawabannya barangkali karena ada perbedaan deskripsi mengenai keadaan krisis dan perbedaan data yang digunakan untuk menyimpulkan krisis.

Bagi kita yang kini berusia 35 tahun ke atas, gambaran yang paling diingat tentang krisis ialah krisis 1997/98. Memori kita tentu merekam ketika itu banyak bank dilikuidasi, terjadi penarikan uang besar-besaran (rush), rupiah terpuruk, mobil dan berbagai bangunan dibakar, toko-toko swalayan dijarah, mahasiswa dan aktivis jadi korban dan sebagainya.

Krisis 1997/98 memang tergambar lebih dramatis dibandingkan krisis 2008 dan 2013. Maklum krisis 1997/98 telah menjalar dari krisis moneter menjadi krisis ekonomi yang lebih luas. Krisis 1997/98 dampaknya telah meluas tidak hanya dirasakan oleh kalangan lembaga keuangan dan perbankan tetapi juga masyarakat luas. Dampak luas itu antara lain dirasakan dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran seiring dengan banyaknya perusahaan yang bangkrut atau usahanya mengkerut. Celakanya, krisis ekonomi 1997/98 itu kemudian dibarengi krisis politik.

Adapun krisis–krisis selama era reformasi, misalnya krisis 2008 dan krisis 2013, adalah krisis ekonomi yang tidak semua gejalanya dirasakan langsung oleh masyarakat. Krisis 2008 dan 2013 hanya dirasakan kalangan lembaga keuangan dan perbankan dan bisa terjaga hingga dampaknya tidak sampai menjalar ke masyarakat. Kalau kita membayangkan deskripsi krisis harus seperti krisis 1997/98, maka memang dengan enteng kita akan menyimpulkan 2008 dan 2013 tidak ada krisis.

Persoalannya,  krisis 2008 yang dipicu oleh kesulitan likuiditas yang dialami perbankan ini termasuk krisis yang gejalanya tidak dirasakan langsung masyarakat  umum. Padahal bagi perbankan, likuiditas itu bagai jantung dan krisis likuiditas laksana serangan jantung ang bisa setiap saat secara tiba-tiba datang dan mematikan.

 

Bank Gagal

Dalam situasi krisis yang diakibatkan oleh bank gagal, selalu ada dua pilihan, yaitu menutup atau mengambil alih bank gagal itu. Dalam konteks Bank Century, KSSK memutuskan pemerintah mengambilalih kepemilikan BC yang sesuai dengan ketentuan undang-undang penanganannya diserahkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Opsi pengambilalihan itu ditempuh guna menyelamatkan perekonomian dari krisis yang lebih parah. Pengambilalihan BC menjadi satu-satunya pilihan karena pilihan menutup BC dikhawatir akan menimbulkan dampak penularan kepada bank-bank yang sekelas BC yang akan jatuh akibat penarikan dana besar-besaran (rush) dari para deposan yang panik.

Sebetulnya opsi menutup BC terbuka jika pemerintah mengeluarkan jaminan penuh (blanket guaranty) atas simpanan di bank. Jika pemerintah menjamin semua simpanan di bank, maka ketika BC ditutup, penyimpan dana di bank lain yang sekelas BC tidak akan panik menarik dana dari bank. Sayangnya, Pemerintah pada tahun 2008 hanya menaikkan jaminan simpanan dari Rp100 juta menjadi Rp2 miliar. Dengan demikian opsi menutup bank menjadi tidak mungkin dilakukan karena risikonya terlalu tinggi.

Kita ingat, pada krisis 1997/98, pemerintah RI yang berdaulat “dipaksa” oleh Dana Moneter Internasional (IMF) untuk menutup 16 gurem yang total asetnya tidak sampai 3% dari total aset perbankan nasional. Tetapi apa yang terjadi, penutupan bank gurem itu memicu kepanikan luar bisa di masyarakat hingga terjadi penarikan dana secara besar-besaran. Mesin-mesin anjungan tunai mandiri (ATM) diserbu sampai bank besar ketika pun sangat kewalahan menghadapinya.

Menjawab pertanyaan ke mana arah ujung akhir kasus BC? Hal itu pada akhirnya sangat bergantung pada putusan Pengadilan Tipikor nantinya. Tanpa bermaksud mempengaruhi proses peradilan yang sedang berjalan, kita perlu mendorong agar semua pihak yang “bertikai” untuk  lebih arif dan berpikir jauh ke depan dalam menangani kasus BC. Kepentingan nasional sebaiknya diletakkan di atas semua kepentingan pribadi, golongan atau partai politik. Kesalahan dalam memutuskan bisa sangat fatal dan merugikan bagi bangsa kita.

Sebagai contoh saja, apakah kita pernah memikirkan atau membayangkan potensi risiko yang akan timbul jika akhirnya pengadilan yang sah di negara ini memutuskan bahwa 2008 tidak  ada krisis dan dengan demikian kebijakan pengambil-alihan BC oleh pemerintah adalah perbuatan melawan hukum?

Jika ujung akhir kasus BC akan seperti itu maka kita akan menghadapi dua kemungkinan risiko. Pertama, jika ada ancaman krisis di masa depan, para pejabat publik yang berwenang akan takut memutuskan kebijakan karena ada saja kemungkinan kebijakan tersebut dipolitisasi dan dikriminalisasi, yang kita tahu prosesnya  sangat menguras emosi, pikiran, waktu dan tenaga kita semua. Sangat boleh jadi, para pejabat publik yang terkait akan beramai-ramai menyerahkan keputusan untuk mengatasi krisis itu kepada DPR. Sehingga, selanjutnya jika di kemudian hari keputusan itu dipersoalkan, biarlah DPR yang dimintai pertanggungjawaban.

Yang kedua, kita harus menyiapkan diri untuk menerima kekalahan atas gugatan dari para pemilik lama BC, Robert Tantular, Rafat Ali Rizvi, dan Hesham Al Warroq melalui Peradilan Arbitrase Internasional. Mereka akan berdalih bahwa berdasarkan keputusan pengadilan di Indonesia terbukti bahwa pengambilalihan BC adalah tidak sah sehingga mereka menuntut BC dikembalikan ke mereka, dan meminta ganti rugi kepada pemerintah RI.

Apakah para penentang kebijakan pengambilalihan BC oleh pemerintah, ikhlas jika BC kembali ke pemilik lama yang dikatakan JK sebagai perampok bank mereka sendiri?

Selanjutnya, siapa yang bertanggung jawab atas kerugian negara apabila Pemerintah RI (yang baru) terpaksa harus membayar ganti rugi kepada para pemilik lama BC karena kalah di pengadilan arbitrase internasional? Karena sudah pasti mereka akan menuntut ganti rugi yang angkanya bisa sangat fantastis. Bagaimana kalau mereka menuntut ganti rugi sebesar Rp10 triliun, Rp20 triliun atau bahkan lebih dari itu?

Jika akhir kasus BC seperti itu, mudah diduga pemerintah yang baru kelak akan disibukkan lagi dengan Panitia Khusus DPR untuk Bank Century Jilid 2. Bahkan teori konspirasi baru barangkali akan lahir. Kalau sebelumnya ada teori konspirasi yang tergambarkan oleh tajuk berita di media elektronik “Mencari aktor intelektual di balik penyelamatan Bank Century”, kali ini  muncul dengan judul baru: “Mencari Aktor Intelektual Di Balik Kembalinya Bank Century kepada Pemilik Lama”.

Marilah kita semua segenap komponen bangsa untuk ke depan bersama-sama membangun Negeri tercinta ini, dimulai dengan membangun rasa saling percaya. Bukan saling curiga. Berkaca dari kasus BC, masyarakat sebetulnya bingung menyaksikan bahwa Presiden dan Wakil Presiden tidak mempercayai Menteri Keuangan yang mereka pilih sendiri. Dan semakin bingung menyaksikan tingkah polah wakil rakyat di DPR tidak mempercayai Gubernur BI yang mereka pilih sendiri.  Kita pun terperosok ke dalam kubangan lebih dalam daripada sekadar low trust society, yakni no trust society. Apakah kita ingin terus berkubang dalam komunitas sosial tanpa bingkai rasa saling percaya itu?

 

Boks

Indikator Krisis 2008

 

  1. Rupiah melemah dari Rp9.000/US$ jadi Rp12.000-an/US$, terendah sejak krisis 1997/98;
  2. IHSG anjlok lebih dari 50% menjadi 1.155;
  3. Banking Pressure Index naik menjadi 0,9 (normal: 0,5);
  4. Kekeringan likuiditas. Tiga bank BUMN minta penempatan dana pemerintah sebesar Rp15 triliun. Ada 20 bank sekelas BC yang kesulitan likuiditas;
  5. SUN tertekan, yield naik menjadi 20% atau harga turun tajam;
  6. Cadangan devisa turun 12% menjadi US$50 miliar;
  7. Credit Default Swap (CDS) naik dari 250 menjadi 980 bp. Artinya country risk Indonesia meningkat, lebih sulit mencari pinjaman.

 

Sigit Pramono (Ketua Umum Perbanas)

Sumber: Majalah Warta Ekonomi Nomor 10 Tahun 2014

 

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Arif Hatta

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: