Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kearifan Lokal Bali Tri Hita Karana Diadopsi Dunia

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta- Setelah konsep Nyepi yakni kehidupan yang hening, damai tanpa polusi yang dilakoni masyarakat Bali tanpa aktivitas sehari penuh pada peralihan tahun baru saka berhasil ditawarkan kepada 168 negara.

Peristiwa itu terjadi pada tujuh tahun silam saat Konferensi Internasional Perubahan Iklim (UNFCCC) berlangsung di Pulau Dewata.

Kini kearifan lokal Bali Tri Hita Karana (THK) kembali diadopsi oleh dunia internasional sebagai rujukan dalam menjaga toleransi antarnegara dalam menciptakan perdamaian dan kian menyebar ke seluruh penjuru dunia.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pertemuan Forum Global ke-6 Aliansi Peradaban Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation od Alliance of Civilizations- UNOAC) yang melibatkan 1.322 peserta di Nusa Dua, Bali, Jumat (29/8) mengatakan, Indonesia memiliki keragaman suku, agama, dan masyarakat Bali juga memiliki pedoman hidup "Tri Hita Karana" yakni keharmonisan dalam kehidupan.

Tema "Unity in Diversity" yang diusung dalam pertemuan kali ini dinilai sangat tepat, karena berarti Bhineka Tunggal Ika yang mencerminkan keheterogenan Indonesia, namun tetap satu jua.

Hal tersebut juga sangat tepat dengan tiga konsep filosofi yang dimiliki masyarakat Bali, Tri Hita Karana yakni hubungan yang harmonis dan serasi sesama umat manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa Hal itulah yang menjadikan Bali tetap aman dan harmonis, menurut Presiden SBY banyaknya konflik yang terjadi di dunia saat ini membuat kita perlu memandang pentingnya toleransi dan menjaga hubungan baik antarumat beragama.

"Maka jika negara-negara di dunia ingin belajar mengenai toleransi, belajarlah di Bali. Menurut saya Bali merupakan contoh dimana dengan penduduk yang heterogen, Bali tetap menjaga keharmonisanya sehingga tetap tercipta suatu keamanan dan kedamaian", ujar Presiden SBY di hadapan 1.322 peserta dari 87 negara dan 22 organisasi.

Ungkapan kepala negara itu diamini Gubernur Bali Made Mangku Pastika yang hadir sebagai tuan rumah ajang bergengsi itu.

Menurut Gubernur Pastika, Bali merupakan suatu contoh yang hidup atau kongkret tidak hanya sekedar menganggap sebagai filosofi yang diawang-awang tetapi dalam pelaksanaannya juga sudah diwujudkan secara konsisten.

Semua itu didasari atas rasa cinta damai dari seluruh umat lintas agama untuk menjungjung tinggi rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Kerukunan antarumat beragama di Bali memang mesra dan harmonis, hidup berdampingan satu sama lainnya yang diwarisi secara turun temurun sejak 500 tahun silam.

Kerukunan antarumat beragama sangat kokoh, hampir tidak pernah terjadi masalah yang menyangkut kehidupan antarumat beragama dan kondisi itu bisa dijadikan contoh dalam mengembangkan kerukunan secara dinamis di Indonesia maupun dunia internasional.

Kondisi kerukunan lintas agama yang kokoh dan mantap itu pula menjadikan Bali hingga sekarang tetap aman, damai dan harmonis.

"Dengan keheterogenan yang dimiliki Bali itu merupakan suatu kebanggan buat kita semua," ujar Gubernur Pastika.

Kegiatan bergengsi itu dihadiri sejumlah pemimpin dunia antara lain Ketua Perwakilan UNAOC Nassir Abdulaziz Al-Nasser, Presiden Majelis Umum ke 68 John W.Ashe, Sekretaris Umum PBB Ban Ki-Moon, Menteri Luar Negeri Spanyol Jose Manuel Garcia-Margallo, Deputi dari Menteri Luar Negeri Turkey Naci Koru dan Perdana Menteri Timor Leste Xanana Gusmao.

Dipelihara Ketua Program Studi Doktor Ilmu Agama Pascasarjana Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar Dr Ketut Sumadi dalam kesempatan terpisah mengingatkan, kondisi dan kearifan lokal THK patut terus dapat dipelihara dan dilestarikan dalam kehidupan masyarakat Bali yang sebagian besar menggantungkan harapan pada sektor pariwisata.

Kearifan lokal tersebut memang masih dominan diamalkan dalam bentuk Panca Yadnya, yakni lima kegiatan ritual yang meliputi Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Bhuta Yadnya, Manusa Yadnya, dan Rsi Yadnya secara tulus iklas (pengorbanan suci).

Dalam perspektif Tri Hita Karana Panca Yadnya merupakan tuntunan religius yang harus dapat diaktualisasikan untuk membangun kehidupan yang nyaman dalam lingkungan yang bersih dan hijau di tengah perkembangan pariwisata yang pesat.

Konsep Dewa Yadnya dan Pitra Yadnya, sesungguhnya mengandung nilai-nilai bakti kepada Tuhan atas semua anugrah yang dilimpahkan serta penghormatan terhadap jasa dan apa yang telah diperbuat para leluhur di masa lalu dalam bidang lingkungan, sosial, budaya, seni dan arsitektur.

Kedua konsep itu mengandung nilai agar manusia selalu hidup sejahtera dan harmonis dengan alam lingkungan serta seluruh mahluk. Sedangkan konsep Rsi Yadnya mengajak setiap orang agar terus berupaya belajar, merencanakan masa depan mengikuti perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan.

Untuk itu menurut Ketut Sumadi, alumnus S-3 Kajian Budaya Universitas Udayana seluruh komponen masyarakat dalam membangun berbagai aspek kehidupan, termasuk bidang pariwisata hendaknya mampu mengimplementasikan menuju pengembangan pariwisata kerakyatan yang berkelanjutan.

Setiap prosesi ritual selalu diawali dengan mebersih-bersih (mareresik), penyucian atau pembersihan lingkungan dan diri sendiri yang berarti hidup bersih dan bersahabat dengan alam yang telah mendarah daging dalam kehidupan orang Bali.

Demikian pula dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari, kearifan lokal dalam bentuk prilaku yang bermakna sosial adalah orang Bali lebih mengutamakan kebersamaan yang disebut "menyama braya" yakni hidup rukun dan damai penuh persaudaraan.

Sikap "menyama braya" orang Bali itu merupakan pengamalan ajaran Hindu "tat twam asi", yang berarti "engkau adalah aku". Hidup rukun dan saling menghormati hak azasi seseorang yang kini didengung-dengungkan sebagai upaya penegakan hak-hak azasi manusia (HAM) di seluruh dunia.

Ajaran "tat twam asi" bagi orang Bali mempunyai makna yang maha tinggi dalam menjalin keharmonisan hidup dengan sesama dan alam semesta, termasuk juga dalam menjalin persatuan dan kesatuan bangsa.

Pengertian tat twam asi bisa dikembangkan menjadi "saya adalah kamu, orang lain adalah juga saudara kita". Karena itu, kehidupan sosial masyarakat Bali selalu menekankan nilai-nilai kebersamaan, pemahaman makna kultural yang dilandasi konsep kebersamaan, toleransi, penghargaan, senasib seperjuangan, dan cinta kasih. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Arif Hatta

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: