Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kolom: Pekerjaan Rumah Pemerintah Baru

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta- Sama seperti mahasiswa yang baru saja lulus sebagai sarjana, pesta pora keberhasilan digelar penuh keceriaan. Tapi tak lama setelah itu sang sarjana dihadapkan pada fakta rumit, bagaimana mencari pekerjaan, memulai hidup baru sebagai pekerja dan sebagainya. Begitupun pemerintah baru, pesta kemenangan tak akan lama digelar karena sederet pekerjaan rumah sudah (lama) menanti. Begitu banyak persoalan yang harus diselesaikan sekaligus. Padahal, terkadang terjadi trade-off antara satu kebijakan dengan kebijakan lain. Disitulah kepemimpinan diperlukan untuk memberikan arah kebijakan ekonomi di masa depan.

Apa saja yang harus segera dibenahi pemerintah baru ini? Salah satu yang begitu mendesak adalah persoalan anggaran (kebijakan fiskal). Apalagi, ruang fiskal akan makin sempit akibat besarnya beban subsidi energi (bahan-bakar minyak/BBM dan listrik). Dengan demikian, salah satu hal yang paling urgent adalah melakukan reformasi anggaran, melalui realokasi subsidi energi. Persoalan yang ditimbulkan oleh beban subsidi bahkan tak bisa menunggu hingga tahun depan. Di penghujung tahun yang tersisa, pemerintah baru harus bergulat dengan persoalan konsumsi energi.

Pada akhir Juni lalu, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah mematok kuota konsumsi BBM bersubsidi “hanya” 46 juta kiloliter (kl) saja. Kesepakatan tersebut sudah disahkan melalui Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014. Dengan demikian, tak ada ruang untuk melanggar kuota konsumsi, kecuali harus merubah undang-undang melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Persoalan fiskal ini disinyalir akan menjadi salah satu warisan paling serius bagi pemerintahan baru.

 

Beban Minyak 

Sepanjang 2013, tercatat konsumsi BBM sebanyak 46,34 juta kl dari kuota yang disepakati 48 juta kl. Tahun ini, sebetulnya pemerintah juga mengajukan kuota yang sama yaitu 48 juta kl, namun tidak mencapai kesepakatan. Persoalannya sekarang, bagaimana membatasi konsumsi BBM agar tak melonjak dari kuota 46 juta kl tersebut. Berbagai cara dipikirkan dan sudah lama direncanakan, namun tetap saja tak terlalu menyakinkan bisa meredam konsumsi. Tahun lalu terjadi koreksi konsumsi, salah satunya, karena ada kenaikan harga. Jadi, kebijakan paling realistis adalah menaikkan harga di tahun ini. Namun pertanyaannya, oleh pemerintahan yang mana, pemerintah lama atau baru?

Pertanyaan ini sulit dijawab, karena mengandaikan ada konstalasi politik yang mendukung. Tanpa dukungan politik, tak mungkin menaikkan harga BBM. Dan harus jujur diakui, itu lebih sulit daripada menerbitkan Perppu atas lonjakan konsumsi BBM. Hasil simulasi PT. Pertamina, konsumsi BBM tahun ini akan mencapai 47,62 juta kl, mengingat paruh kedua tahun ini masih ada Lebaran dan Natal & Tahun Baru. Biasanya konsumsi BBM pada kedua events tersebut cukup besar. Padahal, hingga bulan Juni konsumsinya sudah mencapai 22,9 juta kl. Jika tak diantisipasi, kelangkaan BBM akan terjadi di akhir tahun, dan itu sangat berbahaya.

Kondisi riil di lapangan terkait keterbatasan pasokan BBM tentu masalah amat serius, karena bisa menimbulkan kekisruhan sosial. Namun, implikasi pada stabilitas makro terkait konsumsi BBM ini juga amat rumit. Pertama, dampaknya pada beban subsidi. Tahun ini, anggaran subsidi energi tadinya dipatok sekitar Rp285 triliun. Akibat pelemahan rupiah dan fluktuasi harga minyak di pasar dunia, tambahan beban subsidi energi diperkirakan sekitar Rp100 triliun. Jadi, pengeluaran riil total subsidi energi sepanjang 2014 diperkirakan mencapai Rp385 triliun atau mendekati angka Rp400 triliun. Sebuah besaran yang sulit diterima.

Kedua, besarnya konsumsi BBM telah membebani defisit neraca perdagangan kita akibat kenaikan konsisten impor minyak tersebut. Pada Juni 2014, besaran ekpor migas senilai US$2,37 miliar, sementara impornya mencapai US$3,7 miliar. Bisa dibayangkan, dari transaksi minyak dan gas saja, defisit yang tercipta di neraca perdagangan kita sudah mencapai sekitar US$1,4 miliar. Ada kecenderungan, defisit dari transaksi migas semakin membesar. Bandingkan saja di bulan Januari 2014, defisit transaksi migas hanya sekitar US$1 miliar, dengan ekspor senilai US$2,5 milar sementara impor US$3,5 miliar.

Dari sisi volume impor sebenarnya tak terlalu banyak berubah, namun karena faktor depresiasi, nilainya berfluktuasi cenderung menambah beban. Sementara, dari sisi ekspor volumenya memang terus menurun. Jadi, bisa dibayangkan jika tidak ada mitigasi terhadap konsumsi, akan ada tiga faktor yang berkumpul, yaitu tren kenaikan harga minyak di pasar dunia, depresiasi nilai tukar dan besaran konsumsi. Ketiganya bisa sangat mematikan fiskal dan neraca eksternal kita. Jika keduanya mengalami defisit parah, defisit anggaran dan defisit transaksi berjalan atau twin deficits, itu artinya stabilitas makro ekonomi kita sedang dalam bahaya.    

 

Beban Janji Kampanye

Di tekanan yang begitu berat dari sisi anggaran dan juga ancaman serius terhadap neraca transaksi berjalan kita, pemerintah baru nanti dibebani pula oleh janji kampanye. Di masa kampanye, tentu saja isu kenaikan harga BBM sama sekali tak muncul. Sementara, janji untuk melakukan banyak hal sudah digulirkan. Bagi pendukungnya, inilah masa menagih janji, sementara bagi lawan politiknya masa yang baik mencari amunisi untuk “menjatuhkannya”.

Lagi-lagi pemerintah tersandera secara politik. Dalam jangka panjang semua tahu, harus ada konversi menuju berbagai alternatif energi terbarukan. Migrasi ke gas menjadi salah satu bagian penting jangka pendek yang bisa dilakukan dalam rangka mencapai energy-mix. Selain itu, memindahkan alokasi subsidi energi ke alokasi lain yang juga memiliki kepentingan rakyat banyak juga perlu dilakukan, terutama untuk menambah alokasi belanja kesehatan, pertanian dan infrastruktur. Namun, tetap saja membutuhkan penyesuaian harga BBM yang dampaknya juga tak kalah ringan.

Dalam jangka menangah panjang, target penerimaan dari pajak sebesar paling kurang 14% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga merupakan kunci. Namun itu sulit dicapai dalam satu atau dua tahun. Membutuhkan perencanaan matang, baik dari kelembagaan, tenaga profesional hingga perangkat undang-undangnya. Namun bukan berarti kita tak mungkin keluar dari “perangkap subsidi” ini. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh pemerintah baru. Pertama, mendapat dukungan politik di parlemen untuk mereformasi banyak hal. Kedua, membutuhkan kesabaran bagi para pendukungnya untuk tak terlalu banyak berharap di fase awal pemerintahan. Ketiga, kesungguhan pemerintah lewat pemilihan kabinet profesional.

Paling kurang, jika kabinet profesional, paling tidak ada sinyal yang baik bagi semua pemangku kepentingan akan seseriusan pemerintah terutama di sektor terkait energi ini. Jika Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) benar-benar solid, didukung Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian dan Menteri BUMN yang solid, persoalan energi ini bisa diurai sedikit demi sedikit.   

 

Penulis: A.Prasetyantoko (Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Komunikasi Unika Atma Jaya, Jakarta)

Sumber: Majalah Warta Ekonomi Nomor 15 Tahun 2014

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Arif Hatta

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: