Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kepala Daerah, Pemilihan Langsung atau Perwakilan?

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Pemilihan kepala daerah masih menjadi perdebatan hangat di masyarakat Indonesia saat ini. Pemicunya adalah pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) di DPR. Ada hal baru, meskipun yang diusulkan adalah cara lama dalam pembahasan RUU tersebut, yaitu usul untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD sebagaimana dilakukan di era Orde Baru hingga 2005.

Sejak Reformasi 1999 bergulir demokratisasi di Indonesia seolah menemukan puncaknya. Kekuasaan rakyat memuncak sejak berhasil untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Soeharto yang dituding menjalankan kekuasaan yang sarat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Rakyat Indonesia di era reformasi pun berupaya untuk memperbaiki sistem demokrasi di Indonesia. Salah satunya melalui Amendemen UUD 1945 oleh MPR yang hingga saat ini telah berlangsung selama empat kali. Amendemen sendiri hanya akan melakukan perubahan terhadap batang tubuh UUD 1945 dan bukan pada pembukaan atau preambul. Hal itu karena dasar negara Pancasila terdapat dalam Pembukaan UUD 1945.

Salah satu hal yang diubah dalam UUD 1945 adalah mengenai presiden. Konstitusi kini membatasi kekuasaan presiden hanya dua kali masa jabatan dengan setiap masa jabatan selama lima tahun. Hal lain yang diubah adalah proses pemilihan presiden. Berbeda dengan sebelumnya, konstitusi kini secara jelas mengamanatkan presiden dipilih langsung oleh rakyat dan bukan lagi oleh MPR.

Namun, hal itu berbeda dengan pemilihan kepala daerah. UUD 1945 hanya mengamanatkan kepala daerah dipilih secara demokratis tanpa menyebutkan dipilih secara langsung atau perwakilan melalui mekanisme pengajuan dan pemilihan di DPRD. Di sisi lain dasar negara Pancasila yang juga termaktub dalam pembukaan UUD 1945 pada sila keempat menyebutkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

Oleh karena itu, pengambilan keputusan dengan cara musyawarah mufakat atau perwakilan pada dasarnya tidaklah diharamkan.

Kelebihan dan Kekurangan

Pengamat politik Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo mengatakan pemilihan kepala daerah oleh DPRD maupun secara langsung sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Pemilihan melalui DPRD adalah cermin dari demokrasi perwakilan, sedangkan pemilihan secara langsung mencerminkan demokrasi partisipatif.

"Berdasarkan konstitusi UUD 1945, sistem pemilihan kepala daerah memang tidak disebutkan secara eksplisit apakah harus dipilih secara langsung atau melalui DPRD. Sejak 2005 kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat," tuturnya.

Menurut Karyono, saat ini kepala daerah secara langsung dipilih karena saat pemilihan di DPRD dinilai sudah tidak sesuai dengan tuntutan demokrasi. Semangat pemilihan langsung adalah agar demokrasi berjalan sesuai dengan harapan rakyat.

"Tuntutan itu mencuat sejalan dengan semangat reformasi yang menuntut keterbukaan sekaligus sebagai koreksi terhadap sistem pemilihan berdasarkan perwakilan. Semangat reformasi di antaranya adalah menuntut adanya demokrasi partisipatif," katanya.

Pada perjalanannya biaya politik pemilihan secara langsung dinilai terlalu tinggi sehingga diduga menjadi salah satu penyebab tumbuhnya korupsi. Namun, menurut Karyono, bukan berarti pemilihan kepala daerah oleh DPRD lebih menjamin tidak adanya korupsi dan politik uang karena berpotensi terjadi kongkalikong dan jual beli suara di DPRD.

"Politik uang dalam sistem pemilihan langsung tidak selalu efektif. Tidak semua pemilih dapat dipengaruhi oleh uang. Karena itu, dalam waktu tertentu politik uang akan terkoreksi dan terevaluasi dengan sendirinya," tuturnya.

Di sisi lain, kata Karyono, pemilihan kepala daerah oleh DPRD relatif tidak menimbulkan konflik vertikal dan horizontal. Pemilihan oleh DPRD juga relatif lebih efisien dari segi biaya sehingga tidak berpotensi untuk menimbulkan biaya politik tinggi yang diduga menjadi penyebab korupsi.

Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Diponegoro Semarang Kushandajani menilai pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD akan percuma bila tidak ada perubahan sistematis terhadap mental partai politik dan para elite politik serta masyarakat.

"Partai adalah jantung dari politik dan demokrasi. Sepanjang tidak ada perubahan di partai politik, pemilihan kepala daerah oleh DPRD akan sama saja," kata Kushandajani.

Kushandajani mengatakan bahwa sejauh ini DPRD masih dipandang sebagai kepanjangan tangan partai politik, alih-alih perwakilan rakyat. Kepercayaan rakyat terhadap partai politik masih rendah sehingga pemilihan kepala daerah langsung masih banyak didukung. Oleh karena itu, Kushandajani menilai partai politik di Indonesia belum sehat. Bila partai politik dipandang sudah sehat maka pemilihan kepala daerah oleh DPRD bisa dilakukan dan akan lebih diterima oleh rakyat.

"Partai politik yang sehat pasti kaderisasinya bagus. Partai politik yang sehat akan menyiapkan kader-kader terbaiknya untuk mengisi jabatan-jabatan politik dan bisa menjalankan amanat rakyat," tuturnya.

Kushandajani menilai usul pemilihan kepala daerah oleh DPRD sebagai langkah mundur dalam demokrasi Indonesia. Pasalnya, hal itu sudah pernah dilakukan dan kemudian dikoreksi di era reformasi dengan diadakannya pemilihan langsung.

"Dulu saat sistem berganti menjadi pemilihan langsung juga sudah banyak dugaan akan terjadi politik uang, tetapi pada akhirnya itu yang disepakati. Kalau dipilih secara langsung, calon kepala daerah tidak bisa membeli semua suara," katanya.

Kushandajani mengatakan rakyat yang tidak setuju dengan RUU tersebut bisa ikut mengawal pembahasan di DPR. Menurut dia, rakyat saat ini sudah semakin berdaya.

"Rakyat yang tidak setuju jangan merasa takut. Rakyat masih bisa mengawal pembahasan RUU Pilkada di DPR. Kalau memang RUU itu disahkan, masih ada jalan ke Mahkamah Konstitusi untuk uji materi," katanya.

Bila memang RUU Pilkada disahkan dan kepala daerah dipilih oleh DPRD, Kushandajani mengatakan rakyat harus siap dengan perubahan sistem itu.

"Rakyat harus siap dengan perubahan sistem itu. Rakyat harus tetap melakukan pengawasan terhadap kepala daerah. Gunakan area publik di media massa untuk menyampaikan opini," ucapnya.

Kushandajani juga berharap media massa menjalankan fungsi kontrolnya untuk ikut mengawasi kepala daerah. Media massa juga harus mengakomodasi aspirasi dan opini masyarakat terkait dengan kepemimpinan kepala daerah.

"Masyarakat berteriak apa pun kalau tidak didengar dan diakomodasi media, tidak akan bisa. Media dan rakyat harus bisa mengimbangi sistem politik yang sedang berjalan," tuturnya.

Lebih Mudah Diawasi

Direktur Institut Madani Nusantara Prof Nanat Fatah Natsir menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan lebih mudah mengawasi terjadinya korupsi dan suap bila kepala daerah dipilih DPRD.

"Pemilihan di DPRD akan lebih mudah diawasi bila ada korupsi atau suap. KPK tentu akan lebih mudah mengawasi anggota DPRD yang berjumlah 50 orang hingga 100 orang daripada bila kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat," kata Nanat Fatah Natsir.

Oleh karena itu, Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) itu menilai pemilihan kepala daerah oleh DPRD lebih efektif dan efisien daripada pemilihan secara langsung. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD juga lebih menghemat biaya daripada pemilihan langsung yang menghabiskan anggaran Rp 20 miliar hingga Rp 30 miliar.

"Pemilihan secara langsung menghabiskan banyak anggaran. Lebih baik kepala daerah dipilih oleh DPRD," ujar mantan rektor UIN Bandung itu.

Nanat berpendapat pemilihan kepala daerah di DPRD bukan berarti menghilangkan makna demokrasi sebab DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat yang dipilih oleh rakyat di daerah. Di sisi lain, Nanat menilai dugaan sebagian pihak bahwa pemilihan kepala daerah melalui DPRD sarat korupsi dan suap masih sebatas asumsi karena belum ada pembuktian.

"Justru ada 300 lebih kepala daerah yang dipilih langsung ditetapkan sebagai tersangka dan dijatuhi hukuman. Itu adalah fakta hukum, bukan lagi sekedar asumsi," katanya.

Perlu Waktu

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor mengatakan Indonesia masih memerlukan waktu untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung.

"Masih perlu proses agak panjang untuk mematangkan demokrasi di tingkat lokal, yaitu kedewasaan partai politik, elite politik, masyarakat, dan penegakan hukum," katanya.

Menurut dia, keterbatasan informasi di daerah menyebabkan masyarakat belum bisa melihat proses pemilihan kepala daerah secara utuh. Hal itulah yang kemudian dimanfaatkan sebagian elite politik untuk memenangkan calon yang diusung. Firman mengatakan informasi yang diperoleh masyarakat di daerah seringkali tidak berimbang. Informasi yang diperoleh sangat bergantung pada media-media lokal. Media lokal sangat berpengaruh dalam membentuk opini publik.

"Karena itu, sering terjadi figur yang rekam jejaknya tidak jelas berhasil mendapatkan citra positif karena pencitraan di media massa. Informasi yang didapat masyarakat sangat tidak berimbang," tuturnya.

Sementara itu, masyarakat juga memiliki keterbatasan dalam mencari informasi penyeimbang. Bisa karena terbatasnya waktu atau karena memang tidak ada sumber informasi lain.

"Akibatnya informasi yang didapat menjadi asimetris sehingga daya analitis masyarakat menurun. Itu menyebabkan logika politik masyarakat berkurang," katanya.

Selain itu, Firman juga menilai pemilihan kepala daerah secara langsung pun tetap memunculkan oligarki politik. Calon kepala daerah didanai cukong-cukong untuk membangun citra yang akhirnya membangun politik oligarki.

"Kalau ujungnya sama-sama oligarki, lebih baik dipilih DPRD saja yang biaya penyelenggaraannya lebih murah," ujarnya. (Ant)

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: