Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kelemahan dan Keunggulan Pilkada Melalui Perwakilan

Warta Ekonomi -

WE Online, Semarang - Sebaik apa pun sistem pemilihan kepala daerah jika semua pihak masih memburu kesenangan sesaat atau keduniawiannya lebih menonjol, kemungkinan kecil mendapatkan pemimpin yang amanah, sidik, tablig, dan fatanah.

Tidak pelak lagi, sistem apa pun dalam menentukan kepala daerah mengandung dua unsur: kelemahan dan keunggulan. Plus-minus ini tidak akan ada apabila semua pihak yang terlibat di dalamnya meyakini bahwa Tuhan adalah Mahatahu. Tahu akan segala hal, baik yang masih dalam pikiran makhluk-Nya maupun perbuatan manusia yang orang lain tidak atau belum mengetahuinya pada saat itu.

Begitu pula, ketika akan memutuskan pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah menjadi UU tentang Pilkada, seyogianya semua pihak juga mengedepankan kepentingan rakyat dengan menanggalkan keakuan.

Di samping itu, anggota DPR RI periode 2009--2014 yang masa baktinya berakhir pada tanggal 30 September perlu memperhatikan keharmonisan antarperaturan perundang-undangan sebelum memutuskannya. Jangan malah sebaliknya, putusan Rapat Paripurna DPR RI pada Kamis (25/9) menimbulkan ketidakselarasan antara undang-undang yang satu dan UU lainnya, apalagi terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Oleh sebab itu, mereka yang akan menentukan perjalanan demokrasi di Tanah Air ke depan perlu pula menengok "kaca spion" untuk mengetahui perjalanan bangsa ini melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat sejak Juni 2005 hingga sekarang.

Adapun landasan kepala daerah dipilih secara langsung ketika itu adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Frasa yang dipilih saat itu "Pemilihan Kepala Daerah" atau disingkat "Pilkada".

Namun, pada tahun 2007, frasa itu berubah menjadi "Pemilukada." Dalam UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, terdapat frasa "Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah" atau disingkat "Pemilukada".

Pada tahun 2011 atau sejak diundangkan UU No. 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, istilahnya pun berubah menjadi "Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota." Dua Opsi Pemerintahan Republik Indonesia di bawah Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono tampaknya perlu diapresiasi. Ketika di tengah masyarakat muncul pro dan kontra mengenai sistem pemilihan kepala daerah, Pemerintah telah menyiapkan dua opsi RUU Pilkada guna mengantisipasi pilihan terakhir dari fraksi-fraksi di DPR RI.

"Kami membuat dua opsi RUU Pilkada ini karena waktunya sudah sangat mendesak untuk disetujui menjadi undang-undang," kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan pada diskusi "Polemik RUU Pilkada" di Kantor DPP PDI Perjuangan, Jakarta, Rabu (17/9).

Pemerintah dan Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada DPR RI, kata Djohermansyah, sudah menjadwalkan akan membahas finalisasi RUU Pilkada pada Senin (22/9), kemudian membuat keputusan tingkat pertama, Selasa (23/9).

RUU Pilkada itu, menurut Djohermansyah, akan dibawa ke rapat paripurna pada hari Kamis (25/9) untuk disetujui menjadi UU. Sebab, pada Jumat (26/9) merupakan hari terakhir kerja anggota DPR RI periode 2009--2014.

Dengan waktu yang sangat mendesak tersebut, Pemerintah menyiapkan dua opsi RUU Pilkada, yakni pertama, opsi yang di dalamnya memuat pasal mengenai pilkada langsung dan opsi kedua yang di dalamnya memuat pasal mengenai pilkada melalui DPRD.

Pemerintah menilai RUU Pilkada ini harus diselesaikan dan disetujui oleh DPR RI periode 2009--2014. Jika RUU Pilkada tidak disetujui oleh DPR RI periode ini, menurut Djohermansyah, akan menjadi gugur dan harus dimulai dari nol lagi oleh DPR RI periode berikutnya. Padahal, RUU Pilkada ini sudah dibahas oleh Pemerintah dan DPR RI sejak Juni 2012.

Di sisi lain, menurut Djohermansyah, pada tahun 2014, terdapat 204 kepala daerah yang habis masa jabatannya sehingga harus diselenggarakan pilkada. "Kalau harus melaksanakan sebanyak 204 pilkada, sementara aturan perundangannya belum ada, lalu bagaimana?" Pertimbangan lainnya, kata Djohermansyah, RUU Pilkada bersama UU Desa adalah turunan dari UU Pemerintah Daerah. "Saat ini, UU Desa yang berlaku, UU Pemda sudah sudah disetujui sehingga UU Pilkada juga harus disetujui," katanya.

Plus-Minus Sistem Kendati waktu pembahasan tinggal beberapa hari lagi, wakil rakyat yang terhormat perlu menengok ke belakang terkait dengan plus-minus sistem pemilihan kepala daerah, atau setidaknya mendengar argumentasi sejumlah pihak, termasuk para pakar.

Salah satu pakar yang telah mengemukakan hal itu, yakni peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. R. Siti Zuhro, M.A., Ph.D.

Profesor Wiwieq--sapaan akrab R. Siti Zuhro--mengemukakan bahwa pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat tingkat legitimasinya lebih tinggi daripada melalui DPRD meski berpotensi terjadinya konflik sosial.

"Pemilihan kepala daerah tingkat provinsi secara langsung oleh rakyat mencerminkan perwujudan hak dan kedaulatan rakyat, partisipasi rakyat dalam pilkada, dan memperkuat legitimasi," katanya.

Sejumlah keunggulan pilkada langsung lainnya, yakni mendekatkan hubungan antara pemimpin dan rakyat, pendidikan politik rakyat, melembagakan proses pendalaman demokrasi, serta menjamin terpilihnya pemimpin yang kapabel dan akseptabel.

Adapun kelemahannya pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat, lanjut Prof. Wiwieq, terjadinya politisasi birokrasi, biaya tinggi, rawan konflik, dan belum siapnya pranata demokrasi, di samping menimbulkan problematik dalam pelaksanaan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.

Sementara itu, pemilihan gubernur melalui perwakilan, menurut Prof. Wiwieq, keunggulannya adalah lebih sederhana dan efisien serta mengurangi potensi konflik sosial, di samping dapat menciptakan pola relasi kepala daerah dan DPRD yang relatif harmonis.

Dosen tetap pada Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Riau itu juga menyebutkan sejumlah kelemahan pilkada melalui perwakilan, antara lain mereduksi proses demokratisasi lokal dan mendorong penguatan oligarki dan politik uang di DPRD.

Adapun tujuannya pilkada ini, kata Prof. Wiwieq, memilih pemimpin yang kapabel secara demokratis, memperdalam proses demokrasi (deepening democracy) di Indonesia, dan mendekatkan hubungan pemimpin dan rakyat.

Menyinggung kondisi empiris terkait dengan pilkada, Prof. Wiwieq berpendapat bahwa partai politik gagal melaksanakan fungsinya sebagai pilar demokrasi, di samping kesadaran politik rakyat pemilih belum memadai.

Selain itu, isu netralitas Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi/Panwaslu tingkat kabupaten dan kota, politisasi birokrasi, politik uang atau transaksional, dan politik kekerabatan.

Di samping mendengar masukan dari sejumlah pakar terkait dengan keunggulan dan kelemahan dua sistem pilkada tersebut, seyogianya wakil rakyat dalam menyusun RUU juga memperhatikan istilah.

Semisal, opsinya kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat, sebaiknya frasanya: "Pemilihan Umum Gubernur, Pemilihan Umum Bupati, dan Pemilihan Umum Wali Kota", atau bukan lagi "Pemilihan Gubernur, Pemilihan Bupati, dan Pemilihan Wali Kota". (Ant)

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Sucipto

Advertisement

Bagikan Artikel: