Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Menelaah Penggabungan Kemristek dengan DIKTI (I)

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Isu pemisahan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk digabung ke Kementerian Riset dan Teknologi beberapa minggu belakangan telah cukup santer terdengar.

Isu ini makin menjadi jelas ketika calon presiden (capres) terpilih dalam Pilpres 2014, Joko Widodo (Jokowi), mengumumkan postur kabinet Jokowi-JK, Senin (15/9), bahwa akan ada 34 kementerian, salah satunya Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi.

Sejak setahun lalu wacana penggabungan telah beberapa kali dilontarkan yang tujuannya memperkuat manajemen riset antara lembaga penelitian dan perguruan tinggi dalam rangka menghasilkan produk riset berkualitas.

Berbagai respons pun mengemuka terkait dengan isu tersebut, antara lain Ketua Komisi VII DPR RI Milton Pakpahan yang menyatakan setuju penggabungan Kementerian Ristek dengan Ditjen Pendidikan Tinggi agar pendanaan riset bisa ditingkatkan melalui alokasi anggaran pendidikan yang sesuai dengan undang-undang telah sangat memadai.

Selama ini, ujar dia, anggaran untuk riset kelasnya guram, hanya beberapa triliun rupiah saja, sementara anggaran pendidikan sesuai dengan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 20/2003) sangat besar, dialokasikan minimal 20 persen dari APBN.

"Jika APBN mencapai Rp1.800 triliun, dana pendidikan yang dialokasikan jadi Rp360 triliun per tahun, sangat besar. Diharapkan dengan penggabungan kementerian ini riset yang dananya masih tidak proporsional bisa menggunakan dana dari alokasi pendidikan," kata Milton.

Menurut dia, sebuah bangsa bisa menjadi maju karena peran riset. Oleh karena itu, jika pemerintah ingin meningkatkan daya saing bangsa, riset harus jadi salah satu elemen yang perlu dikuatkan, termasuk dari sisi pendanaan.

Sepaham dengan Milton, Rektor Institut Teknologi Bandung yang namanya masuk dalam daftar menteri hasil survei Indonesian Research & Survey (Ires), Akhmaloka, mengatakan, untuk menjadi negara yang teknologinya maju, diperlukan banyak riset.

Oleh karena itu, penggabungan Ditjen Dikti ke Kementerian Ristek merupakan ide yang bagus, berhubung kementerian ini akan bisa memiliki kewenangan terhadap perguruan-perguruan tinggi yang memiliki banyak aktor peneliti dan mahasiswa pascasarjana untuk digerakkan ke dalam proyek-proyek riset besar yang arahnya meningkatkan daya saing dan kemajuan bangsa, ujarnya.

"Menristek nanti bisa menargetkan harus berapa riset, misalnya untuk swasembada pangan dalam sekian tahun karena dananya dari dia. Selama ini tidak bisa karena wewenang dan dananya dari Dikbud," katanya.

Faktanya secara global Indonesia masih di peringkat bawah dalam hal riset. Anggaran riset hanya sekitar 0,08 persen dari PDB, sangat kecil jika dibandingkan negara maju yang sampai 3--4 persen, ujarnya.

Sementara itu, jumlah penelitinya juga baru 200--300 orang per sejuta penduduk, bandingkan dengan negara maju yang jumlah penelitinya ribuan per sejuta penduduk, tambahnya.

Bagian Tridharma Dirjen Pendidikan Tinggi Kemdikbud Djoko Santoso mengatakan bahwa penggabungan antara ditjennya dan Kementerian Ristek seharusnya lebih mengedepankan pendidikan tingginya karena penelitian merupakan bagian dari tridharma perguran tinggi, selain pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat.

"Publikasi internasional hasil riset juga terbanyak dari perguruan tinggi. ITB nomor satu, disusul UI, UGM, dan IPB, baru LIPI yang di bawah koordinasi Kemristek di peringkat kelima, setelah itu perguruan tinggi lagi, bahkan BPPT nomor 19," katanya.

Menurut dia, Ditjen Dikti dinilai perlu diberi wadah sendiri karena selain memiliki titik berat yang berbeda dengan Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah yang lebih mementingkan pemerataan pendidikan, Kemdikbud juga mengelola terlalu banyak hal, termasuk riset.

Permasalahan riset di Indonesia yang masih jauh dari harapan, menurut dia, bukan disebabkan oleh struktur kementerian, melainkan lebih disebabkan karena pendanaan yang minim dan budaya riset yang belum terbentuk.

Oleh karena itu, menurut dia, untuk kemajuan riset perlu kerja keras dengan memperbanyak kegiatan yang menghasilkan karya riset serta mempublikasikannya di berbagai jurnal nasional maupun internasional. (Ant/Dewanti Lestari)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor:

Advertisement

Bagikan Artikel: