Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Petani: Pembatasan Investasi Benih akan Matikan Petani

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Ketua Gabungan Kelompok Tani Sayuran Malang, Jawa Timur, Lucky Budiarti mengatakan rencana pembatasan investasi sektor perbenihan hortikultura, khususnya sayuran akan mematikan petani yang justru kini tengah bersemangat untuk menggarap sektor ini.

"Saya melihat pengadaan benih hibrida dengan varietas tertentu masih terbatas serta belum ada penangkaran lokal," kata Lucky di Jakarta, Rabu (1/10/2014).

Padahal, kata dia, kebutuhan petani terhadap benih hibrida sangat besar dan memberikan kontribusi positif terhadap keberhasilan panen. Turunnya produksi hortikultura khususnya sayuran di pasar dalam negeri pada akhirnya lebih banyak dipengaruhi keterbatasan benih bermutu.

Dia mengkhawatirkan pembatasan investasi asing di sektor perbenihan hanya akan membuat terputusnya jejaring usaha pemasaran penyedia benih unggul dan bermutu.

"Harus juga dipahami produsen benih sayuran selama ini sangat perhatian terhadap petani. Mereka melakukan konsultasi lokasi penanaman yang cocok, cara budidaya, varietas-varietas baru, bahkan saling bertukar pengalaman," papar Lucky.

Lucky mengingatkan penyediaan bibit dengan varietas tertentu yang bermutu dan mempunyai tren internasional sekarang ini masih harus impor karena penyediaan benih dalam negeri terbatas.

"Saya kira yang terpenting bagi petani adalah petani mudah dan memiliki banyak pilihan untuk mendapatkan bibit unggul berkualitas," ujar dia.

Hal senada disampaikan oleh Ketua Dewan Hortikultura Nasional (DHN) Benny Kusbini. Menurutnya, pembatasan investasi di sektor hulu hortikultura, yakni industri benih sangat merugikan petani.

"Lebih baik kita mengundang investor untuk menghidupkan sektor hulu daripada harus impor produk akhir yang nilainya jauh lebih besar," katanya.

Benny menegaskan bahwa produktivitas benih lokal terbilang masih rendah. Dia mencontohkan komoditas kentang. Tingkat produktivitas kentang lokal hanya mencapai 12 ton/hektar. Sementara itu, Tiongkok sudah mencapai 40 ton/hektar dan Australia sekitar 60-80 ton/hektar.

Rendahnya produktivitas ini banyak disebabkan oleh kualitas benih yang buruk. Hal tersebut mengakibatkan tanaman mudah terserang penyakit hingga pada akhirnya tidak mampu bersaing dengan kentang dari negara lain. Harga kentang di tingkat petani juga menjadi lebih mahal. Saat ini per kilogram kentang produksi petani nasional sekitar Rp 8.500, sementara produk dari Tiongkok bisa dijual di Indonesia seharga Rp 5.500.

"Jika tidak hati-hati membuat kebijakan, petani kentang dan sayuran Indonesia yang akan menjadi korban," katanya. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: