Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kaburnya Oksigen dari Langit Jakarta (Bagian I)

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Hartiningsih, karyawan swasta yang berdiri menunggu angkutan umum di trotoar depan halte Transjakarta Kota Tua, Jakarta, spontan menutup hidung dan mulutnya menggunakan sapu tangan ketika bus kota dengan asap pekat dari knaplotnya melintas.

Saat itu baru sekitar pukul 08.00 WIB, tetapi matahari sudah bersinar terik. Hartiningsih sesekali menyeka peluh seraya matanya melongok satu per satu kendaraan angkot. Ia berharap ada yang akan melewati tempat kerjanya di kawasan Tanjung Priok.

Ruas jalan depan pintu keluar Stasiun Jakarta Kota ramai dijubeli ratusan kendaraan. Mulai dari kopaja, metromini, mikrolet, bajaj, sepeda motor, kendaraan angkutan barang, dan mobil pribadi, silih berganti lalu lalang. Begitupun dengan bodi kendaraan mulai dari mulus hingga reyot dan asap knalpot tipis warna putih sampai hitam pekat menjadi pemandangan keseharian di stasiun yang kerap disebut Beos ini.

"Maunya sih kendaraan yang sudah uzur dan tidak layak jalan jangan diizinkan mengangkut penumpang. Kan bisa dilihat sendiri bagaimana dari cerobong knalpot keluar asap hitam dan putih yang cukup pekat. Dan bila terkena mata terasa perih. Sering juga membuat susah bernafas," katanya.

Hampir genap tujuh tahun perempuan berjilbab asal Bekasi ini menekuni profesinya sebagai tenaga administrasi di sebuah perkantoran. Selama itu juga Stasiun Beos dijadikan titik awal menunggu kendaraan yang akan menuju ke tempat kerjanya.

"Biasanya nanti terasa lebih nyaman dan tidak terlalu panas kalau kendaraan sudah berjalan. Saya tidak terlalu tahu bagaimana kualitas udara di Jakarta. Tapi, dari informasi koran dan televisi katanya sudah buruk. Kita butuh udara atau oksigen bersih untuk hidup," katanya.

Begitu pun dengan Christianto, karyawan hotel di kawasan Bundaran Hotel Indonesia. Baginya, upaya kontrol emisi gas buang kendaraan maupun industri harus diperketat.

"Jangan diberikan izin beroperasi kalau emisi gas buangnya di atas ambang batas. Bisa beroperasi apabila telah dilakukan perbaikan," harapnya.

Bagaimana sesungguhnya kualitas udara DKI Jakarta? "Saat ini sudah dalam kondisi buruk. Bahkan, bisa disebut kritis karena kualitas udara di DKI Jakarta sudah jauh di bawah garis rata-rata layak untuk paru-paru. Kondisi ini akibat makin memburuknya pencemaran udara," kata Deputi Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta Heru Kundhimiarso.

Dia berpendapat penyebab utama polusi udara di Jakarta adalah asap yang berasal dari emisi gas buang kendaraan bermotor, industri, ataupun kegiatan rumah tangga. Asap kendaraan bermotor menduduki peringkat pertama penyebab polusi sekitar 70 persen.

Persoalan ini akan berkorelasi langsung dengan perbandingan antara jumlah kendaraan bermotor, jumlah penduduk, dan luas wilayah DKI Jakarta yang tidak seimbang. Akibatnya, kemacetan masih saja terjadi dan menjadi sumber polusi udara yang nyata di ibu kota. WHO, organisasi kesehatan dunia di bawah naungan PBB, secara tegas memberi batas kandungan partikel debu sebesar 20 mikrogram per meter kubik. Belum lagi indikator kandungan sulfur dioksida, nitrogen dioksida, dan hidro karbon.

"Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, indikator kualitas udara bersih maksimal 60 mikrogram per meter kubik. Sementara kondisi udara di Jakarta jauh melampaui ambang batas karena masih di atas 150 mikrogram per meter kubik," ujarnya.

Minimnya ruang terbuka hijau (RTH) yang baru sekitar 10 persen semakin memperparah kualitas udara. Padahal, idealnya jika mengacu Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, DKI Jakarta harus memiliki 30 persen RTH dari total luas daratan.

"Harus ada solusi yang lebih efektif. Di antaranya memperluas RTH. Perluasan ini harusnya tidak hanya dilakukan di Jakarta, tapi juga di daerah pendukungnya, yaitu Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Tanpa daerah sekeliling Jakarta, pembatasan jumlah kendaraan nyaris tak ada artinya," tegasnya. (Ant)

Baca Juga: Tegas! Bule Inggris Eks Napi Narkoba Diusir dari Bali

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: