Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pungutan OJK Sah dan Tidak Ganggu Independensi OJK

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) melanjutkan sidang uji materi atau judicial review Undang-Undang (UU) Nomor 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Selasa kemarin (28/10/2014). Agenda sidang terakhir adalah mendengarkan keterangan ahli dari pemerintah.

Zainal Arifin Mochtar, saksi ahli dari pemerintah, mengatakan sejumlah pasal yang digugat, terutama pasal 37 yang mengatur tentang pungutan OJK kepada pihak yang melaksanakan usaha di sektor jasa keuangan dapat dibenarkan secara konstitusi.

"Soal pungutan yang dilakukan OJK itu sah karena tertuang dalam UU 21/2011 yang mengamanatkan memungut iuran kepada pelaku usaha jasa keuangan," ungkap pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada ini di hadapan Majelis Sidang MK.

Menurutnya, aturan ini bisa bermakna jamak. Pertama, artinya pendanaan OJK sesungguhnya dapat dilakukan hanya menggunakan APBN pilihan, dapat juga hanya menggunakan pungutan, dapat juga kedua-duanya. Hal yang sebagai konsekuensi dari penggunaan kata dan/atau dalam aturan sebagaimana yang dimaksudkan di atas.

"Tetapi, harus dipikirkan. Hanya dibebankan APBN, tentu tidak tepat. Oleh karena dari konsep pungutan yang ada tadi, tidak harus negara yang membayarkan beberapa hal soal pendaftaran atau soal biaya perizinan," paparnya.

Dia mengambil contoh bahwa pungutan yang dilakukan OJK sama halnya seperti membuat KTP. "Kalau kita ingin mengurus KTP, tentu orang mengatakan bahwa itu kewajiban negara menyediakan KTP. Tapi, biar bagaimana pun dalam proses pendaftarannya dibutuhkan pembiayaan. Apakah biaya yang dikeluarkan oleh orang mengurus KTP itu dianggap sebagai kesalahan?" pungkasnya.

Lebih jauh, Zainal menjelaskan pungutan OJK tidaklah dapat dikatakan serta-merta akan mengganggu independensi OJK. Menurutnya, apa yang dibayarkan oleh perusahaan jasa keuangan merupakan bagian dari yang tidak dapat dikatakan akan mengganggu independensi OJK dalam melaksanakan tugas. Hal tersebut merupakan bagian dari biaya yang harus dibayarkan oleh pelaku jasa keuangan untuk membiayai proses yang dikerjakan oleh OJK.

"Tentu tidak mengganggu independensi OJK sepanjang ditetapkan melalui biaya yang sudah diatur secara detail. Bahkan, digunakan untuk pembiayaan apa saja serta penting. Paling penting adalah transparansi dalam penggunaan dana OJK yang itu harus dilaporkan secara berkala," imbuh Zainal.

Sebagai contoh ia mengutip Putusan MK Nomor 26/PUU-VII/2009 tentang sifat open legal policy, yaitu sepanjang isinya tidak melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi (intolerable).

"Maka sepanjang pungutan tersebut tidak melanggar moralitas, masih rasional jumlahnya, serta tidak menimbulkan ketidakadilan, maka tentu saja dapat dibenarkan. Meskipun pada saat yang sama, harus memperhatikan kondisi dari pihak yang dipunguti biaya tersebut. Hal itu seperti yang diatur dalam PERMA untuk biaya perkara maupun peraturan OJK dalam pungutan atas perusahaan jasa keuangan," tutupnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: