Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tantangan Pemerintahan Baru untuk Dorong Penerimaan Pajak (Bagian I)

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Pajak merupakan salah satu instrumen utama dalam sektor penerimaan negara, yang krusial kontribusinya dalam pembiayaan program pembangunan pemerintah serta mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Presiden Joko Widodo menyadari betul pentingnya penerimaan pajak untuk menyukseskan berbagai program pemerintah serta merealisasikan visi misi politik maupun ekonomi yang telah dijanjikan pada pemilihan umum presiden lalu.

Tidak lama setelah melantik Kabinet Kerja, Presiden langsung mengadakan berbagai rapat terbatas, dan salah satunya membahas realisasi penerimaan pajak yang sejak 2005 tidak pernah mencapai target dalam APBN.

Presiden mengungkapkan sejumlah data yang memaparkan rasio penerimaan pajak hanya naik 0,1 persen dalam sepuluh tahun terakhir, serta dari potensi 24 juta Wajib Pajak Orang Pribadi, hanya 17 juta yang menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT).

Selain itu, rasio pembayar pajak (tax coverage ratio) hanya mencapai 53 persen dalam satu dasawarsa terakhir, dan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) potensial hanya sebesar 50 persen dari realisasi yang bisa tercapai.

"Beberapa kali kita hitung, hal-hal yang berkaitan dengan perpajakan, ternyata dari segi potensi masih sangat besar peluangnya. Angka-angka ini harus kita cermati, sehingga penerimaan negara, saya optimistis bisa kita tingkatkan," ujar Presiden dalam rapat terbatas pada Kamis (30/10).

Penerimaan pajak ini penting untuk memperlebar ruang fiskal, karena pemerintahan baru membutuhkan dana tambahan untuk mendorong percepatan pembangunan infrastruktur serta pembiayaan program kesejahteraan sosial yang telah dijanjikan.

Padahal, defisit anggaran dalam APBN relatif ketat akibat tingginya beban belanja subsidi energi, terutama bahan bakar minyak (BBM) sehingga pemerintahan baru harus mengatasi masalah relokasi belanja subsidi yang belum tentu populis di kalangan masyarakat.

Mendorong realisasi pajak Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak, realisasi penerimaan pajak hingga 31 Oktober 2014, baru mencapai Rp773,34 triliun atau sekitar 72 persen dari target yang ditetapkan dalam APBN-Perubahan sebesar Rp1.072,3 triliun.

Dari realisasi Rp773,34 triliun tersebut, sebanyak Rp362,57 triliun merupakan penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) non Migas, sebesar Rp74,5 triliun dari penerimaan PPh Migas, sebesar Rp316,67 triliun merupakan kontribusi PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) serta sebanyak Rp14,7 triliun berasal dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Menurut perkiraan, target penerimaan pajak hingga akhir tahun hanya mencapai kisaran 94 persen. Meskipun demikian, Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany menjanjikan realisasi penerimaan bisa menembus angka Rp1.000 triliun pada 2014.

Sementara, target penerimaan pajak dalam APBN 2015 telah ditetapkan sebesar Rp1.201 triliun dengan tax ratio sebesar 12,38 persen. Dengan pendekatan "biasa" seperti yang dilakukan selama ini, bisa dipastikan realisasi penerimaan kembali tidak mencapai target.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro dalam menjawab himbauan Presiden menyatakan akan fokus meningkatkan kepatuhan pajak (tax compliance) dalam upaya mencapai target penerimaan pajak sekitar Rp1.400 triliun pada 2015-2016.

"Dari sisi penerimaan, tentunya yang menjadi sumber penerimaan utama dan makin besar perannya adalah penerimaan dari pajak. Tahun depan ditargetkan penerimaan perpajakan kita Rp1.400 triliun, tentunya ini bukan tugas yang enteng. Tapi mau tidak mau kita harus fokus di tax collection (pengumpulan pajak) dan tax administration (administrasi pajak)," ujar Bambang.

Menurut Bambang, potensi pertumbuhan ekonomi di dalam negeri masih sangat besar dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya, kendati pada triwulan III-2014 mengalami perlambatan atau tumbuh 5,01 persen.

Namun dengan potensi pertumbuhan ekonomi itu, lanjut Bambang, rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau tax ratio masih saja bergerak di level 11-12 persen atau masih jauh dari target 16 persen yang dijanjikan Presiden.

"Ini kan berarti ada yang kurang pas dalam upaya pengumpulan pajak atau 'tax collection'. Jadi kita akan tingkatkan 'tax compliance', bisa di PPh (pajak penghasilan) badan maupun PPh perseorangan," katanya.

Bambang menjelaskan, untuk PPh perseorangan sendiri, pihaknya akan menelusuri lebih jauh karena masih banyak Wajib Pajak Orang Pribadi yang belum melapor sesuai kekayaan yang dimiliki dengan pajak yang dibayarkan tiap tahun.

Untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pemerintah akan memperbaiki sistem administrasi pajak dari model faktur manual menjadi faktur elektronik untuk meminimalisir tindak kecurangan atau penyalahgunaan wewenang. (Ant/Satyagraha)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Sucipto

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: