Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Jokowi dan Pasukan yang Tidak Kelihatan (Bagian I)

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Dialah news maker terbaik tahun ini. Apapun yang dilakukannya, selalu menjadi berita utama di berbagai media, baik yang memujanya maupun yang membencinya. Walaupun baru sekitar 15 tahun muncul sebagai tokoh, tapi tiba-tiba saja menjadi magnet masyarakat. Tiba-tiba ada harapan baru yang muncul di tokoh yang wajahnya amat ndeso ini. Sosoknya berbeda dengan sosok pada pemilu sebelumnya di mana masyarakat justru memilih wajah yang ganteng, SBY.

Lalu, mengapa tiba-tiba dia menjadi harapan masyarakat? Mengapa bukan Prabowo - yang gagah, ganteng, kaya, dan mempunyai darah kepemimpinan yang hebat - yang menjadi pilihan mayoritas? Mimpi apa yang ada di masyarakat yang diejawantahkan dengan memilih Jokowi sebagai presiden?

Di titik ini ada ulasan yang menarilk dari Direktur Eksekutif Soegong Sarjadi Syndicate (SSS) Sukardi Rinangkit dalam buku Jokowi, Catatan, dan Persepsi. Sukardi mengutip harapan emaknya di Madiun, Jawa Timur, tentang harapan masyarakat bawah.

"Apabila Jokowi terpilih menjadi presiden maka semua orang cilik, seperti tukang becak, sopir, nelayan, buruh akan mempunyai kepercayaan diri. Anak-anak mereka mempunyai kesempatan yang sama untuk bisa menjadi presiden. Mereka bisa bermimpi indah itu," tulis Sukardi tentang nasehat emaknya.

Sukardi mungkin benar. Tapi, bagaimana dengan masyarakat kelas menengah ke atas? Di lingkaran pergaulan ini ada impian sosok pemimpin yang bisa terbebas dari masa lalu, baik secara politis maupun pergaulan. Artinya, diam-diam mereka menyadari bahwa pemimpin yang terkait ke masa lalu pasti tidak akan bisa tuntas memecahkan berbagai persoalan Indonesia yang kompleks, terutama terkait KKN dan hukum.

Mungkin ini pula yang menggambarkan gegap gempitanya fenomena relawan Jokowi-JK, suatu gerakan yang - sebagaimana diakui banyak tokoh - belum pernah ada sebelumnya. Ada jutaan orang rela berjuang tanpa pamrih langsung. Pamrih mereka adalah keinginan agar masyarakat Indonesia menjadi lebih baik.

Di titik ini kembali teringat pada ucapan emak Sukardi Rinangkit, masih di buku yang sama, yakni soal ramalan Jayabaya. "Pada suatu masa nanti bekas Kerajaan Majapahit akan lebih adil dan makmur apabila dipimpin oleh anak yang lahir di dekat Gunung Lawu, rumahnya di pinggir sungai, masa kecilnya hidup susah, tukang cari kayu, badannya kurus seperi Kresna, wataknya keras kepala seperti Baladewa, kalau memakai baju tidak pantas, ada tahi lalat di pipi kanannya, dan mempunyai pasukan banyak yang tidak kelihatan."

Kalau Gus Dur dulu mengaku punya pasukan jin maka Jokowi punya pasukan media sosial yang luar biasa militannya. Kalau ada tulisan yang arahnya akan menjatuhkan Jokowi maka "pasukan jin" Jokowi bergerak dengan cepat untuk melakukan gerakan penyelamatan dan tidak jarang melakukan gerakan pembalasan.

Pesona Jokowi dan pasukan yang tidak kelihatan inilah tampaknya yang menakutkan para pesaingnya. Bahkan, seorang calon presiden dari kalangan dunia usaha sampai menyerah sebelum bertanding. "Aura yang diciptakannya luar biasa. Kita tak akan mampu melawannya," ujar mantan calon tersebut.

Padahal, yang bersangkutan termasuk tokoh popular di masyarakat, menguasai media, dan memiliki modal finansial yang cukup.

Dengan kata lain, tak benar kalau selama ini ada tuduhan bahwa Jokowi dibesarkan oleh media. Kelakar Ketua Forum Pemred Nurjaman Mochtar, "ada tokoh yang mempunyai media dan modal, langkahnya cuma sampai pileg. Contohnya Hary Tanoesoedibjo dan Aburizal Bakrie. Ada tokoh yang mempunyai modal besar, tapi tidak memiliki media, bisa sampai capres, yakni Prabowo Subianto. Nah, ada juga tokoh yang tidak mempunyai media dan modal, tapi justru berhasil jadi presiden. Dia adalah Jokowi." Lanjut Nurjaman, Jokowi hanya punya strategi komunikasi yang baik.

Premis Nurjaman ini membantah dengan telak bahwa popularitas Jokowi didorong by design oleh media. Dalam sebuah diskusi yang melibatkan pengusaha, pakar, dan para pemred, diskusi ini juga pernah memanas. Ada tuduhan bahwa popularitas Jokowi didorong oleh media. "Bayangkan, seseorang yang belum pernah bertemu Jokowi di Aceh dan Papua bisa memujanya," ujar seorang peserta.

Jawaban sebenarnya, media tertarik dengan Jokowi karena news value-nya tinggi. Di kalangan pengelola berita online, termasuk detik.com, diakui bahwa hits berita-berita yang terkait Jokowi selalu lebih tinggi dari yang lainnya. Demikian juga share di televis atau oplah di media cetak. Bukan Jokowi yang dibuat media, tapi Jokowi yang membuat media laku di pasar. (Bersambung)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Muhamad Ihsan
Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: