Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Beni Sindhunata: MK Mengamankan Aset BUMN

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta- Ketika panggung politik disibukkan soal UU Pilkada, UU Pemda atau UU MD3 yang merubah drastis tata kelola pemerintahan minimal 5 tahun ke depan, di panggung ekonomi justru terjadi penguatan tata kelola keuangan negara menuju ke arah yang lebih terpadu, baik dan aman.

Ini terkait dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 18 September 2014 yang menolak seluruh  permohonan uji yudisial atas UU no. 17/2003. Serta mengukuhkan status “kekayaan negara yang bersumber dari keuangan negara dan dipisahkan dari APBN untuk disertakan menjadi penyertaan modal di BUMN tetap menjadi bagian dari rezim keuangan Negara”. Keputusan ini mengakhiri perdebatan setahun sejak diajukannya uji yudisial atas terhadap UU No 17/2003 (Keuangan Negara) yang diajukan oleh Forum BUMN, Biro Hukum BUMN dan para ahli yang tergabung dalam CSSS UI bulan September 2013.

Keputusan ini secara hukum telah mengamankan pengelolaan kekayaan negara ke pada pemiliknya, negara termasuk aset dan penyertaan yang ada di jajaran BUMN. Jika permohonan uji yudisial dipenuhi maka akuntan negara (BPK) dan KPK tidak berwewenang lagi memeriksa pengelolaan perusahaan dan aset tersebut yang sejatinya milik negara tersebut. Lepasnya lembaga negara sebagai auditor tertinggi sebagai pengawas BUMN memperbesar potensi korupsi dan penyalahgunaan harta negara. Ini keputusan strategis MK soal tata kelola aset negara.

Data Kementrian BUMN menunjukkan hingga Desember 2013 Indonesia punya 138 BUMN dengan total aset Rp4.024 triliun (naik dari Rp3.469 triliun) dan bisa meraih pendapatan Rp1.755 triliun (naik dari Rp1.589 triliun tahun 2012). Meraih laba bersih Rp151 triliun naik dari Rp139 triliun tahun sebelumnya, setara dengan dividen dan pajak yang disetor ke negara tahun 2012. Ini hal penting dan utama yang harusnya dipikirkan untuk diselamatkan dan dikembangkan oleh pengelola BUMN demi kemaslahatan rakyat dan negara.

Bandingkan kinerja 138 BUMN ini yang beraset Rp4.024 triliun dan berpendapatan Rp1.755 triliun ini dengan kinerja 100 korporasi swasta (khusus manufaktur) terbesar (survei Top 100 Industri, INBRA 2014) yang mencatat beraset lebih kecil hanya Rp1.774 triliun tapi berpenghasilan hampir sama Rp1.747 triliun dan meraih laba bersih Rp104 triliun.

Ini baru sebatas perbandingan nominal tanpa masuk ke rasio keuangan lebih rinci. Perbandingan makro umum ini setidaknya bisa menjadi tolok ukur menilai seberapa produktif dan efesien sekitar 500 anggota direksi BUMN dalam mengelola problem ekternal dan internal di korporasinya. Hal yang sama dilakukan oleh semua direksi atau CEO di dunia ini. Dengan catatan tidak semuanya berkinerja buruk sebab fakta juga menunjukkan banyak CEO BUMN yang handal dan kelas global.

Sekarang tergantung bagaimana manajemen  BUMN bekerja sesuai tata kelola yang sudah disepakati. Penyimpangan akan selalu muncul dalam pelaksanaan tugas baik di BUMN maupun swasta. Dan satu kasus penyimpangan tidak bisa menjadi alasan untuk merubah aturan hukum yang sudah dilaksanakan selama ini. Karena dianggap terlalu mengekang dan membatasi  operasional sekitar 500 lebih anggota direksi BUMN. Sehingga direksi jadi takut bergerak, takut berkreasi dan berinovasi.

Adanya sebagian direksi BUMN yang pernah berstatus saksi, tersangka atau terdakwa tidak bisa menjadi alasan untuk merubah tata kelola rumah besar BUMN dengan mencari celah hukum sebagai payung hukum. Seharusnya pengurus BUMN juga perlu mengomentari hasil audit BPK (2012) bahwa puluhan BUMN berpotensi merugikan keuangan negara Rp4,9 triliun dan US$305 juta. Belum lagi temuan dugaan mark-up penyaluran subsidi di 9 BUMN senilai Rp9,03 triliun.  

Tapi dibalik itu secara implisit ini juga akan membuka potensi penyimpangan baru pada proses akuisisi saham BUMN dari proses divestasi saham asing. Mulai dari Inalum, Newmont, Valeo sampai Freeport Indonesia. Apalagi  jika pemikiran bahwa harta kekayaan yang diperoleh dari kekayaan yang dipisahkan, bukanlah milik negara. Artinya uang hasil menjual atau menyewakan satelit, kapal laut  atau pesawat terbang yang dibeli dari uang negara, bukanlah milik negara sehingga akuntan negara tidak berhak memeriksa.

Selama 11 tahun ini berbagai pihak berusaha merevisi UU No. 17/2003 diantaranya lewat uji yudisial di MK atau oleh Komisi XI DPR semasa Menteri Keuangan (Sri Mulyani Indrawati) bulan Mei 2007. Namun semuanya gagal dan ditolak. Kalau di DPR menggunakan alasan perlunya membagi rata kekuasaan  kepada tiga pilar demokrasi (eksekutif, legislatif dan yudikatif). Tahun lalu alasannya karena terlalu ketatnya pengawasan sehingga mengganggu manajemen.

MK telah mengamankan 4 ribu triliun aset BUMN ke dalam lingkup BPK dan KPK, bukan berarti aman seratus persen dari korupsi dan penyimpangan oleh berbagai pihak. Tapi setidaknya memperkecil potensi dan peluang untuk menyalahgunakan aset negara tersebut. Karena praktik penyimpangan dipastikan tidak akan hilang dalam waktu cepat. Mengingat saat ini segala sesuatu bisa terjadi dan dikendalikan oleh parlemen atau uji yudisial di MK, diharapkan MK tetap konsisten dengan semangat menjaga UU no. 7/2003 tersebut dan tidak dipreteli. Apalagi parlemen yang semakin kuat yang bisa merubah MPR apalagi lembaga tinggi negara lainnya.   Karena sekali ini bisa diterima maka tersebarlah aset BUMN ke pelbagai zona abu-abu, ibarat barang tak bertuan. Jadi rebutan antara yang jahat dengan yang baik dan pelan nan pasti asset BUMN menyusut.

 

Penulis: Beni Sindhunata, Direktur Investment and Banking Research Agency (INBRA)

Sumber: Majalah Warta Ekonomi, Oktober 2014

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Arif Hatta

Advertisement

Bagikan Artikel: