Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ekonomi 2014 Melambat, Sanggupkah Lepas Landas? (Bagian II-Habis)

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Untuk itu sebagai upaya mencapai sasaran jangka panjang, seperti meningkatkan pertumbuhan diatas enam persen maupun mengatasi masalah ketidaksetaraan, reformasi struktural yang berkelanjutan terkait subsidi BBM serta investasi dalam infrastruktur menjadi penting.

"Salah satu prioritas penting reformasi kebijakan fiskal adalah mendukung pertumbuhan di masa mendatang agar dirasakan lebih banyak masyarakat, sehingga mengurangi tren naiknya ketidaksetaraan yang terlihat di Indonesia," kata Ekonom Bank Dunia, Ndiame Diop, yang memprediksi ekonomi Indonesia tumbuh 5,6 persen pada 2015.

Saran serupa juga dikemukakan lembaga multilateral lainnya, yaitu Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam laporan publikasi yang diterbitkan September 2014, yang menyatakan reformasi struktural dalam bidang ekonomi dapat membuat perekonomian nasional stabil pada 2015.

"Harapannya reformasi kebijakan pemerintahan baru akan mempercepat pembangunan infrastruktur, memperbaiki iklim investasi dan melanjutkan reformasi birokrasi. Ini membuat sentimen positif," kata Deputi Country Director ADB Edimon Ginting.

ADB telah menyesuaikan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2014 menjadi 5,3 persen dari perkiraan sebelumnya 5,7 persen, dan pada 2015 menjadi 5,8 persen atau turun dari proyeksi sebelumnya 6,0 persen.

"Meskipun tren pertumbuhan ekonomi akan turun karena kinerja ekspor yang melemah, tapi akan naik kembali karena sektor investasi mendorong 'recovery' serta seiring membaiknya permintaan eksternal di negara maju," kata Edimon.

Edimon memperkirakan industri manufaktur akan menjadi salah satu sektor yang menjadi penyumbang dalam pertumbuhan ekonomi, karena relatif menguat hingga tahun depan yang disebabkan oleh membaiknya permintaan.

Namun, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Erani Yustika memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2015 hanya berada pada kisaran 5,3 persen-5,6 persen atau lebih rendah dari perkiraan pemerintah 5,8 persen.

"Pertimbangan Indef karena ada faktor-faktor yang menjadi penekan, seperti ekspor yang masih belum bisa didorong bukan karena semata kondisi global, tapi struktur industri kita yang rentan," katanya dalam pemaparan Proyeksi Ekonomi Indonesia 2015.

Ahmad mengatakan pemerintah bisa saja optimistis angka 5,8 persen dapat tercapai, karena telah tersedia ruang fiskal untuk pembangunan ekonomi melalui pembenahan infrastruktur dan perlindungan sosial, namun dampaknya belum terasa pada tahun 2015.

"Masih ada 'time lag' ekonomi, misalnya, infrastruktur dibangun Januari, baru selesai pada akhir tahun, dan awal tahun 2016 baru bisa dinikmati, jadi faktor penyumbat ekonomi belum bisa diperbaiki hingga tahun depan," ujarnya.

Menurut dia, yang bisa dilakukan pemerintah adalah memperbaiki birokrasi agar dapat lebih efisien sehingga bisa membantu ekonomi Indonesia untuk tumbuh, tapi hal tersebut hanya mampu menambah kontribusi sebanyak 0,2 persen.

"Yang bisa diperbaiki efisiensi birokrasi, itu bisa menambah tapi tidak lebih dari 0,2 persen, makanya Indef memasang asumsi seperti itu. Belum lagi kenaikan suku bunga AS bisa menekan investasi. Nanti 2016, kita bisa lebih optimistis," ucapnya.

Indef memprediksi batas bawah 5,3 persen merupakan situasi "business as usual", di mana situasi kinerja ekonomi nasional 2014 berlanjut pada 2015. Angka tersebut berarti pemerintahan baru belum keluar dari tekanan eksternal dan internal serta belum mampu menghadirkan perubahan berarti.

Sementara, batas atas 5,6 persen merupakan cerminan adanya perbaikan di awal pemerintahan baru, di mana seluruh kebijakan pemerintah direspon positif oleh seluruh pelaku ekonomi di Indonesia, terutama keberhasilan dalam menarik investasi.

Komposisi pertumbuhan ekonomi 2015 diperkirakan belum mengalami perubahan yaitu dicirikan oleh dominasi kontribusi sektor konsumsi dari sisi penggunaan. Sedangkan, dari lapangan usaha, pertumbuhan sektor "non-tradeable" masih dominan dibandingkan sektor "tradeable".

Dominasi sektor konsumsi bukan merupakan kondisi ideal, karena apabila tidak diimbangi dengan kapasitas produksi nasional akan membuat kebutuhan permintaan bergantung pada impor, padahal itu bertentangan dengan cita-cita pemerintahan baru yaitu kemandirian ekonomi.

Berbagai proyeksi maupun saran tersebut, memperlihatkan masa depan pertumbuhan ekonomi bisa sedikit lebih cerah, setelah dalam beberapa tahun terakhir turun dari kisaran enam persen, meskipun banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan.

Tentunya upaya tersebut tidak bisa dilalui dengan mudah, karena meskipun fundamental ekonomi relatif stabil, pemerintah masih menghadapi ketidakpastian perekonomian global serta gejolak perpolitikan nasional yang berpotensi mengganggu momentum pertumbuhan.

Namun, dengan upaya kerja keras maupun konsisten melaksanakan reformasi struktural, sangat mungkin target pertumbuhan tujuh persen bisa tercapai lebih cepat, apalagi tim ekonomi dalam kabinet kerja memiliki semangat dalam membangun negeri. (Ant/Satyagraha)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Sucipto

Advertisement

Bagikan Artikel: