Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ini Langkah BI Hadapi Pelemahan Rupiah dan Faktor Penyebabnya (Bagian III-Habis)

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Melorotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS belakangan ini terus menjadi sorotan. Pada pembukaan pasar hari Selasa kemarin (16/12/2014), rupiah bergerak dalam tren melemah dan cukup berliku. Puncaknya, dolar AS sempat menguat di posisi Rp 12.926.

Lantas, apa yang menyebabkan rupiah gemar bergejolak pada beberapa hari belakangan ini? Berikut ini adalah penyebabnya seperti yang disarikan dari beberapa sumber.

3. Bukan Cuma Isu The Fed, Tapi Ekonomi AS Memang Sedang Membaik

Di luar spekulasi kenaikan suku bunga The Fed memang kondisi perekonomian AS sedang membaik. Hal tersebut membuat dolar AS perkasa terhadap mata uang negara lain, termasuk Indonesia.

"Terhadap berbagai valuta asing menguat, misalnya terhadap yen menguat, euro juga menguat, singapura dolar juga menguat. Jadi, semuanya melemah, kecuali dolar AS saja," kata Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara di Gedung BI, Jakarta, Rabu (17/12/2014).

Ia menjelaskan penguatan mata uang dolar AS disebabkan faktor eksternal, yakni pemulihan ekonomi Amerika Serikat. "Amerika itu dulu tahun 2008-2009 collaps sehingga suku bunga turun dari 5% menjadi 0,25%. Kemudian ekonomi Amerika sudah pulih dan kemudian sekarang sudah saatnya untuk meningkat," jelas Mirza.

Dalam tiga bulan terakhir, rupiah turun 4,44% terhadap dolar AS. Sedangkan, yen Jepang anjlok 10,94%, dolar Australia (AUD) drop 8,86%, ringgit Malaysia turun 8,57%, won Korsel turun 5,7%, dolar Singapura turun 4,02%. Artinya, hanya dolar Singapura yang penurunannya tidak lebih buruk dari rupiah. Mata uang Rusia, rubel, bahkan jebol hingga 44% tahun ini.

Meski saat ini rupiah masih ada potensi untuk bergejolak, namun Mirza meminta masyarakat tak perlu khawatir karena fluktuasi rupiah ini hanya sementara.

"Ekonomi China melambat, harga minyak yang turun, ekonomi Rusia yang collaps, dan ekonomi AS yang membaik. Jadi, ini hanya sementara saja," tukasnya.

Ia mengatakan hal yang terpenting adalah Indonesia tidak perlu khawatir apalagi panik dengan situasi ini dan lebih mempersiapkan kebijakan-kebijakan yang akan memperkuat fundamental perekonomian Indonesia.

"Seperti kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang mengandung prinsip kehati-hatian (prudent), kebijakan investasi yang bagus, perizinan satu pintu, serta berusaha meningkatkan hasil ekspor dari perikanan. Kalau semua itu dilakukan maka keadaan akan kembali pulih," tegasnya.

Sementara itu, Direktur Departemen Komunikasi BI Peter Jacobs menambahkan data fundamental ekonomi Indonesia saat ini juga sangat kuat untuk menopang gejolak nilai tukar rupiah. "Cadangan devisa (cadev) kita masih mampu untuk intervensi rupiah di pasar," kata Peter.

Peter menegaskan bahwa sejauh ini BI tidak mengkhawatirkan akan kekurangan cadev yang masih mampu membiayai 6,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. "Standar internasional cadev yang aman itu bisa membiayai tiga bulan impor," ucap Peter.

Sebagai perbandingan, data fundamental ekonomi Indonesia saat ini berkisar US$ 111,1 miliar. Angka ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan ketika krisis ekonomi 1998 yang hanya US$ 15 miliar dan tahun 2008 yang hanya US$ 51 miliar.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: