Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Plus Minus Pelemahan Rupiah

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Melorotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS belakangan ini terus menjadi sorotan. Meskipun Rabu kemarin (17/12/2014) pasca-intervensi Bank Indonesia (BI) nilai tukar rupiah mulai "jinak" berada di kisaran Rp 12.720, namun potensi gejolak rupiah masih tetap ada. Hal ini mengingat perekonomian AS yang terus membaik sehingga membuat dolar begitu perkasa.

"Amerika itu dulu tahun 2008-2009 collaps sehingga suku bunga turun dari 5% menjadi 0,25%. Kemudian ekonomi Amerika sudah pulih dan kemudian sekarang sudah saatnya untuk meningkat sehingga tidak heran kalau nilai mata uangnya menguat dari 0,25% akan menuju 3% dalam tiga tahun ke depan," jelas Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara saat jumpa pers di Gedung BI, Jakarta, Rabu (17/12/2014).

Lantas, apa sih dampaknya bagi sektor industri di Indonesia bila rupiah gemar berfluktuasi? Berikut ini plus minusnya ketika rupiah mengalami pelemahan.

1. Saatnya Genjot Ekspor

Presiden Joko Widodo beberapa waktu yang lalu mengatakan kalangan pengusaha bisa memanfaatkan momentum fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar untuk mendorong peningkatan ekspor.

"Kesempatan seperti ini dari sisi industri didorong diberi insentif sehingga industri yang berorintasi ekspor bisa bergerak lebih cepat sehingga mengambil keuntungan dari pelemahan rupiah ini," kata Presiden saat membuka rapat terbatas bidang ekonomi di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (17/12/2014) pagi.

Senada dengan itu, Bank Indonesia (BI) menilai pelemahan rupiah masih sejalan dengan upaya mendorong peningkatan ekspor, namun bank sentral mengaku tetap mengawal fluktuasi nilai tukar dengan memanfaatkan cadangan devisa yang tersedia.

Menurut Direktur Departemen Komunikasi BI Peter Jacobs, saat ini eksportir menjadi pihak yang paling diuntungkan dengan pelemahan rupiah setelah sebelumnya penguatan rupiah telah memberi efek positif bagi importir.

"Sekarang ini nilai ekspor Indonesia sudah terus membaik dengan peningkatan ekspor nonmigas. Ekspor manufaktur kita juga sangat membantu neraca perdagangan. Jadi, dengan rupiah saat ini everybody happy," papar Peter saat ditemui Warta Ekonomi, beberapa waktu yang lalu di Gedung BI, Jakarta.

2. Industri Pariwisata Mendapat Berkah

Selain para eksportir, sektor pariwisata juga mendapat berkah dari pelemahan rupiah terhadap dolar AS ini. Melemahnya nilai tukar rupiah akan membuat para pemegang dolar di luar negeri relatif lebih kaya di mata ekonomi Indonesia. Objek wisata Indonesia pun akan makin menarik minat kunjungan wisatawan dari luar negeri karena dengan dolar yang dimiliki dapat menikmati berbagai fasilitas yang nyaman dibanding bila harus berwisata di negeri mereka sendiri.

Terlebih karena Kementerian Pariwisata menargetkan kunjungan wisman tahun ini sebesar 9,5 juta. Sementara sepanjang Januari-Oktober 2014 tercatat baru 7,7 juta wisman atau tumbuh 8,71 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebanyak 7,1 juta wisman.

3. Industri Penerbangan Ketar-ketir

Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar belakangan ini merupakan kabar buruk bagi industri penerbangan maupun industri otomotif. Kondisi semacam ini diperkirakan bakal membuat beban maskapai semakin berat di tahun 2015 nanti.

Direktur Utama PT Indonesia Air Asia Sunu Widyatmoko mengaku bahwa saat ini pihaknya tengah berpikir untuk mengajukan usulan kepada pemerintah guna mengatasi kondisi ini. Bagi Air Asia, sejauh ini pengeluaran dalam bentuk dolar memegang porsi 70% dari total beban operasional.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Kepala Humas Lion Group Edward Sirait. Bagi maskapai berlogo Singa Merah itu dolar memegang porsi 70% sampai 80% dari beban operasionalnya.

Kondisi yang sama juga dialami Garuda Indonesia. Dalam periode Januari-September 2014 Garuda tercatat mengalami kerugian lebih dari US$ 219 juta atau sekitar Rp 2,67 triliun akibat bengkaknya biaya bahan bakar dan sewa pesawat. Sementara, liabilitas jangka pendek Garuda mencapai US$ 1,03 miliar.

Maskapai pelat merah ini dinilai mengalami kerugian yang besar akibat naiknya harga avtur di akhir tahun lalu hingga semester pertama tahun ini serta melakukan langkah agresif ekspansi pesawat. Selain itu, untuk saat ini pelemahan rupiah juga berimbas negatif karena pendapatan Garuda dalam rupiah meski biaya beban dihitung dalam dolar Amerika Serikat. Jadi, ketika biaya ini dikonversi ke rupiah maka nilainya akan semakin meningkat.

Biaya bahan bakar memang menjadi komponen beban terbesar yang dipikul Garuda. Sepanjang Januari-September 2014, kontribusi pembelian avtur meningkat 39 persen dari total biaya operasi Garuda.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: