Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Mencari Solusi yang Bukan Ilusi untuk KPK-Polri (II)

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Setelah penyidik berkonsultasi dengan pimpinannya, akhirnya Bambang mendapatkan waktu lima menit untuk berkonsultasi. Saat diperiksa, Bambang pun mulai menemukan kejanggalan lain dalam kasusnya yaitu terkait sangkaan pasal yang dikenakan yang berasal dari Pasal 242 KUHP juncto pasal 55 KUHP.

"Kita pelajari pasal-pasalnya, pasal penangkapan 242 jo 55 itu kita pelajari. Saya katakan ini tidak bisa. Kalau di KPK kan kita katakan pasal 55 ayat 1 ke-1, jelas, tapi ini tidak. Hanya pasal 55 saja, ayat berapa? Mereka menjawab "Di sini modelnya begitu", lalu saya katakan 'tidak bisa' karena saya harus membela diri atas tuduhan yang mana dari pasal ini?" ungkap Bambang.

Begitu juga dengan sangkaan lain dari pasal 242 yang tidak mencantumkan ayat.

"Jadi saya buat argumen, 'Saya mohon dijelaskan dulu ini'. Dia coba menjelaskan dan menurut saya penjelasannya kurang lengkap. Saya kemudian ditanya macam-macam tapi saya katakan 'Selama penjelasannya tidak lengkap, saya keberatan untuk menjawab yang lain'," tegas Bambang.

Bila yang dimaksud adalah pasal 242 ayat (1) maka bunyinya adalah Barangsiapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi atau oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Bambang mengaku bahwa penjelasan dari penyidik tidak memuaskan karena hanya mengatakan bahwa penentuan pasal adalah kewenangannya.

"Saya katakan 'Keranjang sampah ini pasal. Tidak bisa ini dipakai kalau di KPK'. Pasal apa itu harus detail ayat berapa, jadi saya analisis saya, mereka mau 'bluffing' karena ada yang tidak konsisten," jelas Bambang.

Hasilnya delapan pertanyaan yang ditujukan kepada Bambang sebagian besar dijawab dengan kalimat "Saya keberatan untuk menjawab pertanyaan lebih lanjut karena saya tidak mendapatkan penjelasan atau klarifikasi yang sangat jelas yang menjadi dasar bagi saya untuk ditetapkan sebagai tersangka".

Keganjilan terus berlanjut karena meski Wakapolri Komjen Pol Badrodin Haiti seusai bertemu dengan Presiden Joko WIdodo di Istana Bogor menyatakan Bambang tidak akan ditahan selesai diperiksa, pada kenyataannya Koalisi Masyarakat Sipil yang datang ke Bareskrim Polri pada sekitar pukul 21.45 WIB tidak berhasil membawa pulang Bambang.

Bahkan pegiat antikorupsi dan HAM Todung Mulya Lubis menyampaikan penangguhan penahanan ditolak.

"Saat itu kan banyak revisi-revisi. Setelah revisi, kita belum jelas apakah ditahan atau tidak. Ada Bang (Todung) Mulya (Lubis) masuk dan beberapa orang lain. Kepala unitnya kemudian datang dan mengatakan 'Kalau saya menetapkan untuk ditahan, tapi saya harus menanyakan ke pimpinan advisnya apa, tapi saya punya kewenangan untuk menahan'," ungkap Bambang menirukan pernyataan Kombes Daniel Bolly Hyronimus Tifaona selaku Kasubdit VI.

Padahal menurut Bambang, tidak ada kepentingan polisi untuk menahannya.

"Mereka katakan ke saya kalau sudah punya tiga alat bukti, terus kepentingan menahan saya apa? Kalau takut menghilangkan barang bukti kan mereka katakan sendiri kalau mereka sudah punya tiga alat bukti. Kalau saya takut mempengaruhui saksi-saksi, katanya saksi-saksi sudah berada di tangan mereka semua. Tidak masuk akal," tambah Bambang.

Seusai bertemu dengan pimpinannya, maka Kombes Bolly pun langsung membuat surat penahanan Bambang.

"Saya tolak surat penahanan dan penangkapan, terus dia bikin BAP (Berita Acara Pemeriksaan) penahanan. Saya tolak juga, saya kasih argumennya kenapa saya tolak, karena pertama, tidak jelas pasal yang disangkakan, kedua kesalahan pada penulisan alamat dan ketiga Saya merasa terteror," tambah Bambang.

Terteror karena selama di mobil dalam perjalanan ke Bareskrim Polri Bambang dikatakan punya banyak kasus dan anaknya, Taqi ditanya identitasnya di sekolah padahal menurut Bambang hal itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan perkara tersebut.

"BAP penangkapan saya itu tidak memuat detail, saya tidak mau. Saya tolak terus, saya mau buat yang detail biar jelas semuanya. Begitupun BAP saya tolak, Hak saya untuk mendapatkan salinan BAP. Kita sudah membuat surat permohonan permintaan salinan BAP, mengapa tidak dikasih-kasih? 'Mana itu surat itu?' Saya ditahan di mana ini?," ungkap Bambang.

Ia pun menunggu sampai sekitar pukul 00.30 pada Sabtu (24/1) hingga dua komisioner KPK menjemputnya yaitu Zulkarnain dan Adnan Pandu Praja.

"Pak Zul dan Pak Pandu dateng. Pak Bolly mengatakan, 'Saya punya kewenangan tapi saya mendengar masukan'. Lalu Pak Pandu menjelaskan bahwa Pak Bambang boleh pulang. Ada jaminan dari Pak Pandu dan Pak Zul bahwa saya masih diperlukan untuk menjalankan tugas-tugas di KPK," jelas Bambang.

Akhirnya sekitar pukul 01.15, Pandu dan Zulkarnain keluar dari Bareskrim Polri dan selanjutnya diikuti Bambang meninggalkan gedung itu. Keduanya berhasil membawa pulang Bambang seusai bertemu lagi dengan Wakapolri Badrodin Haiti yang sudah meninggalkan Mabes Polri sekitar pukul 20.30 WIB.

Kondisi di KPK Sedangkan, kondisi di gedung KPK Jalan HR Rasuna Said sendiri sudah mulai ramai didatangi ratusan aktivis, pesohor, mahasiswa maupun masyarakat umum sejak Jumat (23/1) pagi sambil membawa atribut bertuliskan #saveKPK dan meminta pembebasan Bambang.

Gabungan masyarakat yang kemudian menamakan diri sebagai Koalisi Masyarakat #saveKPK #BebaskanBW meminta agar Presiden menjadi solusi dalam kisruh ini. (Ant/Desca Lidya Natalia)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor:

Advertisement

Bagikan Artikel: