Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ketimpangan Kutub Kaya dan Miskin

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Para pelaku bisnis dunia kembali berkumpul di Davos. Kali ini, inequality atau ketimpangan mulai mendapat perhatian serius, meski belum ada langkah signifikan yang diambil.

Dari tanggal 21 sampai dengan 24 Januari 2015, para tokoh bisnis dan ekonomi terkemuka di dunia berkumpul di Davos, Swiss. Pertemuan tersebut bertepatan dengan World Economic Forum. Beberapa kalangan menyindir pertemuan tahunan di Davos itu sebagai pertemuan antara populasi 1% orang-orang terkaya dunia.

Pada pertemuan tahun lalu, ada gambaran mengenai krisis yang telah berakhir. Namun, pada akhirnya, optimisme tersebut luntur seiring dengan munculnya krisis Ukraina, Islamic State di Timur Tengah, dan stagnasi baru yang menimpa zona euro.

Seperti diketahui, Eropa sedang berusaha untuk menghindari deflasi. Selain itu, perlambatan ekonomi di Tiongkok dan jatuhnya harga komoditas dunia juga ikut berdampak negatif terhadap Brasil dan juga Kanada. Gambaran proyeksi ekonomi global yang runyam tersebut membuat International Monetary Fund (IMF) menurunkan prediksinya mengenai pertumbuhan ekonomi global pada 2015 ini, dari 3,8% menjadi 3,5%.

Dengan kondisi ekonomi global yang seperti ini, para pelaku bisnis menaruh harapan pada perbaikan ekonomi di Amerika Serikat. Ekonomi AS diperkirakan akan tumbuh sebesar 3,2% atau mungkin lebih di tahun ini. Itu merupakan pertumbuhan tertinggi pasca-2005. Indikatornya terdapat pada penurunan angka pengangguran dan peningkatan belanja konsumen. Jika AS dapat tumbuh sesuai proyeksi tersebut, menurut data IMF, ini merupakan pertama kalinya sejak 1999, pertumbuhan ekonomi AS tidak tertinggal dibandingkan pertumbuhan global.

Namun, pertumbuhan ekonomi AS yang diprediksi akan berkontribusi hingga mendekati 18% untuk pertumbuhan global di tahun ini. Para peserta forum di Davos melihat bahwa faktor positif tersebut tidak akan berperan banyak terhadap perbaikan ekonomi global, akibat bayangan malaise di Eropa dan sebagian Asia. Yang patut dicatat, banyak delegasi yang hadir di Davos berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi global yang kurang semarak di tahun ini akan mencegah rencana The Fed untuk menaikkan suku bunga di AS.

Davos dan Inequality

Di luar risiko-risiko yang berpotensi mengancam pertumbuhan ekonomi global, WEF tahun ini, mengutip The Guardian, juga membahas mengenai tiga tantangan jangka panjang bagi ekonomi global. Tantangan pertama ialah poin penting yang ditekankan oleh Presiden World Bank, Jim Kim. Jim mengingatkan kepada para pemimpin bisnis dunia mengenai pentingnya memastikan bahwa tahun 2015 ini berakhir dengan satu set tujuan baru yang ambisius terkait pembangunan yang berkelanjutan, dan juga sumber pendanaan agar tujuan-tujuan tersebut dapat tercapai.

Tantangan kedua ialah lingkungan. Para pemerhati lingkungan khawatir anjloknya harga dolar akan berakibat pada tersendatnya pengembangan energi terbarukan (renewable energy). Ini wajar mengingat harga minyak yang jatuh tentu membuat energi terbarukan menjadi relatif lebih mahal. Akhirnya, usaha untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil terhalang karena faktor ekonomis tersebut.

Namun, pemerhati lingkungan asal Inggris, Lord Nicholas Stern, memiliki pandangan yang berbeda. Ikut hadir di forum ini, Stern berargumen bahwa harga minyak murah bukan hanya ancaman, melainkan juga bisa menjadi peluang. Stern, seperti dikutip dari The Guardian, mengatakan dengan anjloknya harga minyak, pemerintah dapat memotong subsidi minyak tanpa memukul daya beli konsumen. Nantinya, subsidi tersebut dapat direalokasikan pada dana penelitian dan pengembangan energi terbarukan.

Tantangan yang terakhir merupakan yang terberat. Ketimpangan sosio-ekonomi menjadi topik yang hangat dibicarakan sejak hari pertama forum dimulai. Direktur Eksekutif Oxfam International Winnie Byanyima mengatakan ketimpangan ekonomi terus meningkat dan meningkat dengan cepat. “Ini berbahaya, ketimpangan (ekonomi) buruk bagi demokrasi, dan juga pertumbuhan, orang-orang miskin terluka,” ujar Winnie, seperti dikutip dari CNBC.

Oxfam, NGO yang fokus pada pengentasan kemiskinan, dalam sebuah laporannya saat awal forum, memaparkan bahwa, menurut estimasi mereka, total kekayaan dari 1% orang-orang terkaya di dunia dapat menyusul total kekayaan 99% sisa populasi dunia di tahun 2016 nanti. “Apakah kita mau hidup di dunia di mana 1% dari total populasi memiliki lebih banyak daripada gabungan 99% sisanya,” tegas Winnie. Sementara itu, sisa 99% masyarakat memiliki pendapatan rata-rata US$3.851 tahun lalu. Golongan elite dunia tersebut mengantongi pendapatan rata-rata sebesar US$2,7 juta di tahun lalu.

Berdasarkan laporan Oxfam tersebut, total kekayaan yang dimiliki oleh 80 orang terkaya di dunia jumlahnya sama dengan kekayaan yang dimiliki oleh 3,5 miliar orang paling miskin di dunia. Ini menunjukkan skala ketimpangan yang terjadi makin parah. “Gap antara orang kaya dan yang tidak, makin melebar jauh,” ujarnya. Dia mengatakan sekaranglah saatnya para pemimpin dunia menunjukkan keinginan kuat untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan sejahtera.

Winnie mengakui jutaan orang telah berhasil diangkat dari jurang kemiskinan. Namun,  dia mengingatkan bahwa masih banyak penduduk dunia yang menderita di bawah garis kemiskinan. Winnie juga menunjukkan bagaimana sebuah pertumbuhan ekonomi belum tentu berbanding lurus dengan pengurangan ketimpangan. Dia mencontohkan kondisi di Zambia. Negara di benua Afrika tersebut perekonomiannya berhasil  tumbuh pesat berkat harga komoditas tembaga yang sedang bagus. Zambia bahkan telah masuk ke negara dengan tingkat pendapatan per kapita kelas menengah. “Tapi jumlah penduduknya yang berada di bawah garis kemiskinan secara ekstrem masih banyak dan terus bertambah,” ujarnya.

Untuk mengurangi ketimpangan sosio-ekonomi tersebut, Stephen Schwarzman, miliarder asal AS, menekankan bahwa pendidikan diperlukan untuk membantu masyarakat kelas menengah dalam meningkatkan taraf hidup mereka dan mengurangi ketimpangan. Schwarzman adalah chairman dan CEO dari perusahaan investasi The Blackstone Group. Seperti dikutip dari CNBC, Schwarzman mengatakan jika dunia gagal menyediakan modal intelektual (intellectual capital) untuk masyarakatnya, maka ekonomi global akan memiliki masalah jangka panjang. Peningkatan kualitas pendidikan, yang juga terjangkau, dapat menciptakan orang-orang yang punya kapabilitas dan dapat ikut berkontribusi pada perekonomian.

Soros: ECB’s Stimulus Will Reinforce Inequality

Pada sebuah sesi forum, investor kawakan George Soros mengatakan rencana kebijakan Quantitative Easing (QE) yang diambil oleh European Central Bank (ECB) berpotensi menjadi bumerang. Menurut dia, stimulus fiskal ini hanya akan menguntungkan golongan kaya.

Argumen Soros itu bertentangan dengan berbagai pujian yang diterima Presiden ECB Mario Draghi, setelah memutuskan untuk mengucurkan stimulus fiskal yang diyakini dapat memperbaiki perekonomian zona euro. “Yang menjadi perhatian utama saya adalah ini akan membuat perbedaan antara orang kaya dan orang miskin makin besar (inequality),” ujar Soros, seperti dikutip dari CNNMoney.

Ia mengatakan bahwa yang akan merasakan manfaat utama dari QE di Eropa adalah orang-orang yang sudah memiliki aset. Kekayaan mereka akan bertumbuh karena investor akan memindahkan uang dari obligasi pemerintah ke aset alternatif, yang akan ikut mendongkrak harga. Namun, bagi orang yang tidak memiliki aset investasi dan hanya mengandalkan gaji, tidak akan terjadi sesuatu yang berarti. “Upah akan tetap berada di bawah tekanan,” ujarnya.

Selanjutnya Soros mengingatkan bahwa ketimpangan antara orang kaya dan orang miskin dapat memicu munculnya “drama politik”. Sekarang ini dukungan untuk partai politik yang anti terhadap Uni Eropa meningkat di beberapa negara anggotanya. Menurut Soros, ketimbang melakukan QE, akan lebih baik jika Eropa menekankan pada reformasi perekonomian dan meningkatkan belanja pemerintah terhadap proyek infrastruktur berskala besar.

Soros, yang mengaku sudah pensiun, mengatakan ukuran dari stimulus ECB tersebut,  tak diragukan lagi, akan menggerakkan pasar, terutama mata uang. “Jika saya masih aktif berbisnis, saya dapat melihat beberapa langkah signifikan,” ujarnya.

Sumber: WE/03/XXVII/2015

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: https://wartaekonomi.co.id/author/jafei
Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: