Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ini Tuntutan LPKS ke Pemerintah Terkait Perempuan

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Satu abad silam R.A. Kartini lahir membawa harapan bagi perempuan Indonesia.  Kini sebagian besar perempuan Indonesia telah mencapai kemajuan melalui pendidikan dan kemerdekaannya. Namun sejumlah isu mengemuka  terkait dengan pelanggaran hak-hak perempuan yang masih belum terpenuhi.

Liga Perempuan untuk Keadilan Sosial (LPKS), sebuah kelompok pemerhati isu hak-hak kaum perempuan yang dipimpin Nursyahbani Katjasungkana dan beranggotakan sejumlah perempuan aktivis dan akademisi seperti  Bianti Djiwandono, Chusnul Mar’iyah, Lies Marcoes, Sita Aripurnami, Erdiana Noerdin dan lain-lain,  menyatakan sikap dan menuntut Pemeritah Indonesia untuk  memberi perhatian  pada pemenuhan  hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya ( EKOSOB)  perempuan dengan  bertumpu pada  kenyataan-kenyataan buruk sbb:

1. Pemerintah telah berjanji kepada warga dunia  untuk menurunkan angka kematian Ibu sampai angka 102/ 100.000 kelahiran hidup. Namun hingga kini angka Angka Kematian Ibu (AKI)  masih luar biasa tinggi, lebih tinggi dari ketika Millenium Development Goals (MDG’s) dicanangkan yaitu 359/100.000 kelahiran hidup. Selain infrasutruktur yang buruk,  sanitasi yang tak memadai,  perempuan hamil mengalami gizi buruk dan  beban kerja berlipat; mereka tersisih  dari pengambilan keputusan di berbagai tingkatan pemerintahan.  Negara juga gagal dalam memberikan layanan kontrasepsi yang aman dan terjangkau,  serta   melindungi anak perempuan dari praktik kawin di bawah umur dan sunat perempuan.

2. Pemerintah telah menerima sumbangan 9,1 juta dollar dari 6 juta pekerja migran yang sebagian besar di antaranya perempuan.  Malangnya, sumbangan mereka dalam  menggerakkan pembangunan  ekonomi perdesaan tidak dibarengi dengan perlindungan menyeluruh di tempat mereka bekerja. Dalam empat  hari berturut-turut pada bulan ini,  di saat Bangsa Indonesia memperingati dan merayakan emansipasinya,  dua perempuan warga Indonesia tewas di papan pancungan tanpa kehadiran negara. Kini 58  Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Saudi Arabia  dan ratusan  perempuan TKW di Malaysia menunggu kehadiran negara untuk membebaskan mereka dari hukuman mati.

3. Pemerintah  menyatakan telah  berhasil menurunkan kemiskinan hingga 12%.  Sejumlah penelitian  seperti dari Tim Nasional Pencepatan Penanggulangan Kemiskinan  (TNP2K) dan PEKKA ( Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga) menunjukkan bahwa sebagian besar dari kaum termiskin adalah perempuan dan perempuan kepala keluarga. Upaya penurunan  kemiskinan yang hanya memberikan perhatian pada aspek ekonomi  namun   mengabaikan  budaya kemiskinan yang berakar pada praktek diskriminasi  berbasis gender telah  merugikan perempuan dalam mengakses modal dan mengembangkan usaha-usaha ekonomi mereka.   

Atas dasar situasi di atas, kami  LPKS menuntut:

Pertama, agar negara menepati janjinya untuk  hadir di hadapan perempuan  dan menghapus segala bentuk diskriminasi  berbasis prasangka gender.  Janji itu bukan saja karena  kita telah meratifikasi Konvensi PBB untuk Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan atau CEDAW (Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women) melalui UU no 7/1984, tetapi juga demi amanat Konstitusi Negara UUD 45 Pasal 127, yang menyatakan "Segala warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah wajib menjunjung tinggi hukum tanpa kecuali".

Kedua, agar negara  mengakhiri sikap masa bodoh terhadap pelanggaran hukum dan penistaan martabat perempuan dengan membiarkan terjadinya kekerasan berbasis prasangka gender; membiarkan terjadinya   dualisme hukum antara hukum negara dan "hukum agama" yang kedudukannya melampaui hukum negara dan  berdampak pada  sulitnya perempuan berpartisipasi di ruang publik, dan dalam pengambilan keputusan serta dalam pemenuhan hak-haknya sebagai warga negara.

Ketiga, agar negara  memperjelas visi pembangunan  hukum  yang bertumpu pada pemenuhan hak perempuan untuk dihormati dan  dilindungi serta  berkesesuaian dengan kerangka Hak Asasi Manusia. Negara harus berani  bersikap atas pelanggaran hak-hak kaum perempuan yang seringkali  bersembunyi  di balik “budaya dan norma ketimuran” namun pada kenyataannya budaya serupa itulah yang sejak  masa Kartini menjadi alat yang efektif  untuk menindas kaum perempuan. 

Keempat, LPKS mengusulkan agar pemerintah memutuskan tanggal 17 September sebagai Hari  Kesehatan Reproduksi  Perempuan dengan mengambil momentum wafatnya RA Kartini 17 September 1904,  setelah empat hari melahirkan putranya R. Soesalit  dan mengalami pendarahan dan kejang rahim hebat.  Wafatnya RA Kartini harus menjadi tonggak kesadaran  Bangsa Indonesia untuk  menghapus Angka Kematian Ibu melahirkan sampai ke titik nol.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Achmad Fauzi
Editor: Achmad Fauzi

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: