Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Akademisi: Konsumsi Daging Nasional Hanya 53 Persen

Warta Ekonomi -

WE Online, Bogor - Guru Besar Fakultas Peternakan IPB, Prof Cece Sumantri mengatakan konsumsi daging masyarakat Indonesia belum beragam dan hanya terfokus ayam ras pedaging, ini karena diversifikasi sumber protein hewani yang masih rendah.

"Secara nasional konsumsi daging masyarakat 53 persen berasal dari ayam ras pedaging. Padahal industri ras pedaging ini bibit dan bahan baku pakannya impor," katanya di Bogor, Jumat (24/4/2015).

Dijelaskannya program divesifikasi sumber protein hewani ini diperlukan untuk mendorong masyarakat mengkonsumsi daging tidak hanya pada satu jenis saja, tetapi bisa dari sumber yang lainnya.

Berdasarkan data dari BPS, permintaan daging nasional pada 2013 sebesar 2.880.340 ton. Sumber daging tersebut berasal dari 53 persen ayam ras pedaging, 32,97 persen non unggah, 11,10 persen ayam lokal, sisanya ayam petelur dan itik.

Dari angka tersebut diketahui konsumsi daging non unggas seperti sapi kurang lebih 23 persen, kerbau 1 persen, kambing 3 persen dan domba 2 persen. "Ada banyak faktor yang menyebabkan, bisa karena pasokan daging dari sumber protein ini berkurang, juga karena diversifikasinya sumber proteinnya yang rendah," katanya.

Ia mencotohkan konsumsi daging kambing dan domba yang kurang diminati masyarakat, karena ada yang berpendapat dapat menaikkan tensi (tekanan darah) karena darah tinggi. Kebiasaan ini terlihat saat hari Raya Kurban, banyak masyarakat memiliki daging sapi untuk dikonsumsi.

Menurut Cece disinilah peran seorang ibu atau juru masak untuk menciptakan kuliner-kuliner dari daging yang kurang populer menjadi hidangan yang lezat dan tidak mempengaruhi kesehatan. "Padahal kambing, domba, dan kerbau cukup potensian dikembangkan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan protein dari daging tetapi juga dari susu," katanya.

Ia mengatakan, rendahnya diversifikasi sumber protein hewani di masyarakat juga mempengaruhi populasi hewan-hewan potensial seperti kerbau, kambing dan domba tersebut. Seperti populasi kerbau di Indonesia terus menurun dari 3 juta, kini tersisa hanya tersisa 1,5 juta saja, atau turun 3 persen setiap tahunnya.

Penyebab turunnya populasi kerbau di Indonesia salah satunya akibat alih fungsi lahan pertanian, dan kerbau hanya dinilai sebagai hewan pekerja di sawah, sehingga minat masyarakat kurang untuk mengkonsumsinya.

"Padahal kerbau ini cukup potensial, selain sebagai hewan pekerja membantu pertanian, kualitas dagingnya juga bagus, apalagi susu yang dihasilkannya memiliki keunggulan untu keju mozarella, yang selama ini kita impor bahan bakunya," kata dia.

Ia mengatakan kerbau juga menjadi simbol dari ekonomi ramah lingkungan atau "green economy" karena selain sebagai hewan pekerja membajak sawah tanpa perlu bahan bakar, mampu bertahan dengan pakan berkualitas rendah, toleran terhadap parasit lokal dan menyatu dengan kehidupan sosial petani pedesaan.

Selain itu kerbau juga sumber tenaga kerja, daging, susu, pupuk organik dan perlengkapan acara keagamaan. Saat ini Kerbau menyebar pada ekosistem yang luas dengan populasi terbesar berturut-turut di pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Kalimantan.

Tidak hanya kerbau, lanjut dia, Kambing dan Domba juga cukup potensial dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri. Begitu juga dengan kelinci serta marmut. Rendahnya diversifikasi sumber protein hewani, mendorong masyarakat hanya mengkonsumsi daging dari satu jenis saja. Sementara itu, sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi saat ini jumlahnya juga tidak cukup banyak.

Sehingga pemerintah harus mengimpor sapi dari Australia maupun New Zealand yang baru saja ditandatangani oleh Kementerian Pertanian. "Padahal industri ras pedaging ini bibit dan bahan baku pakanya impor. Ini juga yang menyebabkan harga daging menjadi mahal," katanya.

Disisi lain tingkat konsumsi daging maupun susu masyarakat Indonesia masih rendah dari negara lain. Sebut saja Malaysia, untuk ayam saja mereka mengkonsumsi tiga ekor dalam sebulan, sedangkan Indonesia satu ekor sekali tiga bulan.

Cece merupakan satu dari tiga guru besar IPB yang akan menyampaikan orasi ilmianya pada Sabtu (25/4) besok dengan judul "Peluang Aplikasi Bioteknologi Molekular Untuk Perbaikan Genetik Ternak Berkelanjutan di Indonesia".

"Dengan kemampuan bioteknologi molekular yang kita miliki, kita dapat menghasilkan ternak-ternak berkualitas. Bertambahnya jumlah populasi ternak di Indonesia tentunya dapat meningkatkan kesejahteraan 3,97 juta peternak, serta mendorong diverfsikasi sumber protein hewani," katanya. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Achmad Fauzi

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: