Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

AICHR: Hukuman Mati di ASEAN Semakin Menurun

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Wakil Indonesia untuk Komisi HAM ASEAN (AICHR) menyatakan bahwa sesuai dengan perkembangan di tingkat global, kecenderungan umum atas kebijakan hukuman mati di negara-negara ASEAN mengarah pada penghapusan hukuman tersebut.

"Dua dari 10 negara ASEAN yakni Kamboja dan Filipina telah menghapuskan hukuman mati, sementara negara lain seperti Singapura telah melakukan perubahan kebijakan secara bertahap terkait hukuman mati," ujar anggota AICHR Dian Anshar di Jakarta, Jumat.

Singapura yang sebelumnya memberlakukan hukuman mati secara keras terhadap terpidana kasus narkotika, sejak 2013 mulai meninjau ulang kasus-kasus terpidana yang telah dijatuhi hukuman mati secara "mandatory" untuk kejahatan terkait narkoba dan pembunuhan. "Beberapa hukuman mati diubah menjadi hukuman seumur hidup dan hukuman lain yang lebih ringan," kata Dian.

Selain Singapura, pemerintah Myanmar juga mengumumkan komutasi dari terpidana mati yang masih tersisa pada Januari 2013, seiring dengan proses reformasi politik di negara tersebut. Meskipun sebagian negara-negara ASEAN masih secara de jure mempunyai undang-undang tentang hukuman mati, namun beberapa negara seperti Brunei Darussalam, Myanmar, dan Laos tidak lagi mengimplementasikannya.

Hal tersebut, kata Dian, dilatarbelakangi oleh Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN (AHRD) tahun 2012 yang secara tegas menjamin hak hidup bagi warga ASEAN, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 11 bahwa setiap orang memiliki hak yang melekat padanya untuk hidup, yang harus dilindungi oleh hukum.

"Hak hidup adalah hak yang melekat pada diri manusia yang tidak boleh dicabut oleh siapapun dan situasi apapun," ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa di ASEAN, Indonesia dikenal sebagai promotor demokrasi dan HAM sejak 15 tahun belakangan. Indonesia bahkan menginisiasi pembentukan mekanisme HAM ASEAN melalui pembentukan badan-badan HAM regional seperti AICHR dan ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children (ACWC).

Hukuman Mati di Era Jokowi Dalam lima tahun belakangan (sebelum pemerintahan Presiden Jokowi), Indonesia secara de facto juga telah melakukan moratorium hukuman mati karena komitmennya secara bertahap untuk menghapus hukuman mati sesuai dengan Resolusi PBB.

"Tapi kebijakan pemerintah Jokowi untuk memberlakukan kembali eksekusi mati ini benar-benar sebuah langkah mundur bagi penegakan HAM di Indonesia dan mencoreng profil Indonesia sebagai promotor HAM serta promotor demokrasi di kawasan," tutur Dian.

Menurut Dian, hukuman mati tidak layak diterapkan di Indonesia karena masih buruknya penerapan prinsip-prinsip "fair trial" (pengadilan adil) di Indonesia. Sistem hukum yang masih digerogoti oleh mafia peradilan serta aparat penegak hukum yang korup ini seringkali membuat vonis hukuman dijatuhkan pada pihak-pihak yang sebenarnya tidak bersalah.

"Seperti dalam kasus Mary Jane. Pengadilan dan publik melihat dia semata kurir narkoba yang harus dihukum mati, padahal dia sebenarnya adalah korban dari perdagangan manusia yang dijebak oleh sindikat narkoba internasional," tuturnya.

Untuk itu AICHR mendesak pemerintah untuk meninjau kembali rencana eksekusi mati atas Mary Jane dan beberapa kurir narkoba lain, dan mulai melakukan moratorium serta evaluasi terhadap kebijakan hukuman mati di Indonesia. Sependapat dengan AICHR, Komnas HAM juga memandang bahwa hukuman mati bagi kurir narkoba bukanlah solusi untuk pemberantasan narkoba.

"Sikap soal anti hukuman mati tidak sama dengan sikap kami tentang pemberantasan narkoba. Kami mendukung pemerintah dalam upaya pemberantasan narkoba, tapi itu harus benar-benar dilakukan dengan cermat," ujar Wakil Ketua Komnas HAM Roichatul Aswidah.

Kecermatan, kata Roichatul, sangat penting artinya agar pemerintah Indonesia tidak lagi mengeksekusi manusia-manusia yang merupakan korban dari sebuah kejahatan terorganisir yang dengan demikian tidak bersalah, seperti yang dihadapi oleh terpidana mati asal Filipina Mary Jane Fiesta Veloso.

"Jika eksekusi mati benar-benar dilakukan maka itu akan menjadi tragedi kemanusiaan yang tidak bisa ditolerir," tuturnya. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Achmad Fauzi

Advertisement

Bagikan Artikel: