Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

AJI: Pers Terbelenggu Polisi dan Pemilik Modal

Warta Ekonomi -

WE Online, Gorontalo - Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Gorontalo Syamsul Huda Suhari menyatakan bahwa sampai saat ini kebebasan pers masih terkungkung oleh 2P yakni Polisi dan Pemilik modal.

Untuk tahun 2015 ini, seluruh AJI di Indonesia menetapkan Kepolisian sebagai Musuh Kebebasan Pers 2015. Sejak pertama kali mengumumkan "anugerah" Musuh Kebebasan Pers di tahun 2007, ini kali keempat lembaga yang langsung di bawah Presiden ini menjadi Musuh Kebebasan Pers.

"Polisi telah gagal mereformasi diri sebagai pelayan dan pengayom publik. Semua kasus kekerasan atas jurnalis yang dilakukan polisi tidak pernah diselesaikan sampai ke jalur hukum," tukasnya.

Data AJI Indonesia menyatakan sejak 1992, sebanyak 1.123 jurnalis di seluruh dunia terbunuh karena aktivitas jurnalistiknya, 19 di antaranya terbunuh pada 2015 ini. Sementara di Indonesia, sejak 1996, ada 8 kasus kematian jurnalis yang belum diusut tuntas oleh kepolisian, ditambah 37 kasus kekerasan yang terjadi sepanjang 3 Mei 2014-3 Mei 2015.

Sebelas dari 37 kasus kekerasan ini dilakukan oleh polisi, enam kasus dilakukan orang tak dikenal, empat kasus dilakukan satuan pengamanan atau keamanan, empat kasus dilakukan massa, dan lainnya oleh berbagai macam profesi. Sementara delapan kasus pembunuhan jurnalis tanpa ada pengusutan terhadap pelaku.

Tujuh jurnalis lainnya adalah Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi, Kalimantan Barat tewas 25 Juli 1997), Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press tewas di Timor-Timur, 25 September 1999), Muhammad Jamaludin (jurnalis TVRI di Aceh, tewas 17 Juni 2003), Ersa Siregara (jurnalis RCTI tewas 29 Desember 2003), Herliyanto (jurnalis tabloid Delta Pos, tewas 29 April 2006).

Adriansyah Matrais Wibisono (jurnalis TV lokal Merauke, tewas 29 Juli 2010), dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas 18 Desember 2010). Selain kepolisian, Syamsul menilai di Gorontalo praktek intervensi pemilik modal atau kepentingan politik terhadap jurnalis cukup tinggi.

"Ruang redaksi yang seharusnya independen juga tersandera dengan kepentingan bisnis perusahaan yang menjadikan nyaris semua rubrik menjadi berita berbayar. Kita harus melepaskan kungkungan ini," tandasnya. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: