Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

KPK: Putusan MK Tidak Selalu Diikuti Hakim

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 28 April 2015 yang menyatakan bahwa penetapan tersangka, penyitaan, dan penggeledahan masuk objek praperadilan, tidak selalu diikuti oleh hakim pengadilan maupun Mahkamah Agung (MA).

KPK beranggapan bahwa Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 itu hanya menciptakan norma baru dengan memperluas objek praperadilan di luar Pasal 77 KUHAP, namun tidak memuat amar tentang perubahan undang-undang.

"Putusan MK tidak memuat perintah kepada pembuat undang-undang dan tidak memuat rumusan norma sebagai pengganti norma yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945," ujar anggota Biro Hukum KPK Rasamala Aritonang dalam sidang praperadilan mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (5/5/2015).

Kuasa hukum Ilham pada sidang sebelumnya, Senin (4/5/2015), menggunakan putusan MK tersebut sebagai dasar permohonan praperadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus korupsi pengelolaan keuangan PDAM Kota Makassar pada 2006.

Tidak kuatnya putusan MK sebagai dasar pengajuan praperadilan, kata Rasamala, juga sejalan dengan pendapat Hakim Konstitusi Aswanto yang menyatakan bahwa menjadikan penetapan tersangka sebagai salah satu objek praperadilan yang sebelumnya tidak terdapat dalam KUHAP adalah membuat norma baru yang bukan kewenangan MK, melainkan kewenangan pembentuk undang-undang.

Selain itu, adanya pendapat berbeda (dissenting opinion) yang diungkapkan oleh tiga hakim konstitusi yaitu Aswanto, I Dewa Gede Palguna, dan Muhammad Alim terkait putusan tersebut menunjukkan bahwa Putusan MK itu tidak diputuskan secara bulat.

Rasamala juga menjelaskan bahwa pada praktiknya Putusan MK juga tidak selalu diikuti oleh MA, misalnya, dalam Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 tanggal 16 Maret 2014 yang telah memutuskan membatalkan Pasal 268 Ayat 3 KUHAP, di mana sebelumnya Peninjauan Kembali (PK) hanya dapat dilakukan satu kali menjadi PK dapat dilakukan lebih dari satu kali.

Atas putusan tersebut MA mengeluarkan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tanggal 31 Desember 2014 yang pada pokoknya menyatakan bahwa putusan MK tidak serta merta menghapus norma hukum yang mengatur permohonan PK, sehingga MA tetap berpendapat bahwa permohonan PK dalam perkara pidana dibatasi hanya satu kali.

Merujuk pada fakta-fakta tersebut dalam kaitannya untuk menanggapi permohonan praperadilan yang diajukan Ilham Arief, KPK tetap berpegang pada ketentuan Pasal 1 Angka 10 jo Pasal 77 jo Pasal 82 Ayat 1 huruf b yang secara limitatif mengatur bahwa penetapan tersangka bukan merupakan wewenang hakim praperadilan.

"Dengan demikian kami memohon hakim untuk menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan permohonan praperadilan atas nama pemohon Ilham Arief Sirajuddin," tutur Rasamala. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Achmad Fauzi

Advertisement

Bagikan Artikel: