Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Biro Hukum: Praperadilan Adalah Upaya Degradasi Eksistensi KPK

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Anggota Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Yudi Kristiana menyatakan bahwa praperadilan yang ditempuh oleh beberapa tersangka kasus korupsi merupakan upaya hukum sistematis untuk mendegradasi eksistensi lembaga antikorupsi itu.

Terlebih dengan adanya putusan hakim tunggal Haswandi yang mengabulkan permohonan praperadilan mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo, yang menjadi kekalahan ketiga KPK setelah sebelumnya kalah dalam praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan dan mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin.

"Dari putusan (hakim Haswandi) tadi terlihat tidak ada urgensinya lagi KPK menjalankan proses pemberantasan korupsi," tuturnya usai sidang putusan praperadilan Hadi Poernomo di PN Jakarta Selatan, Selasa (26/5/2015).

Dalam amar putusannya, hakim Haswandi mempermasalahkan status penyelidik dan penyidik KPK yang menangani kasus korupsi Hadi, karena mereka tidak berstatus sebagai penyelidik atau penyidik di institusi sebelumnya sehingga segala tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan dianggap batal demi hukum.

Penyelidik yang dimaksud adalah Dadi Mulyadi yang sebelum diangkat menjadi penyelidik KPK adalah auditor di Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Sedangkan penyidik yang dipermasalahkan adalah Ambarita Damanik, mantan penyidik Polri yang sudah diberhentikan secara hormat pada 25 November 2014 oleh Kapolri sebelum masuk ke KPK.

Namun, hakim berpendapat bahwa dengan berhentinya Ambarita sebagai penyidik Polri, maka hilang pula status penyidik yang melekat pada dirinya sehingga ia tidak berwenang menyidik dugaan tindak pidana di KPK sebelum diangkat menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sesuai ketentuan PP Nomor 58 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan KUHAP yang diantaranya mensyaratkan seseorang harus memenuhi masa kerja minimal dua tahun sebelum diangkat menjadi penyidik di institusi tersebut.

Untuk itu, hakim memerintahkan KPK menghentikan segala proses penyidikan atas Hadi Poernomo. Terkait dengan hal ini Yudi menjelaskan bahwa sejak KPK berdiri tahun 2002, proses pengangkatan penyelidik dan penyidik KPK telah diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang di antaranya menegaskan bahwa pimpinan KPK berwenang mengangkat dan memberhentikan penyelidik dan penyidik independen.

Ia khawatir bahwa pertimbangan hakim yang mempermasalahkan status penyelidik dan penyidik KPK tersebut akan dijadikan alat bagi para terdakwa atau terpidana korupsi untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas dasar penyelidikan dan penyidikan yang tidak sah.

"Kalau konstruksi berpikir hukum seperti ini yang dipakai maka seluruh terdakwa dan terpidana tindak pidana korupsi akan melakukan PK," tuturnya.

Pria yang juga bertugas sebagai jaksa penuntut umum di KPK itu juga mengusulkan moratorium penanganan kasus atau membekukan sementara institusi KPK sampai ada revisi UU KPK.

Sementara itu, Hadi Poernomo yang ditemui usai sidang mengaku bersyukur bahwa upaya praperadilan yang ditempuhnya berbuah manis. "Inilah proses hukum yang berlaku, atas dasar ini tidak ada yang menang atau kalah. Yang benar adalah proses hukum sesuai perundang-undangan yang berlaku," tutur mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu.

Dalam hal ini KPK menetapkan Hadi Poernomo sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait penerimaan seluruh permohonan keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Pajak Penghasilan Badan PT BCA, Tbk tahun pajak 1999.

Atas penerimaan keberatan itu keuangan negara dirugikan senilai Rp375 miliar bahkan potensi kerugian negara dapat mencapai Rp1 triliun sehingga sudah dapat dikategorikan memenuhi unsur pidana yang disangkakan.

KPK menyangkakan Hadi Poernomo berdasarkan pasal 2 ayat (1) dan atau pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Achmad Fauzi

Advertisement

Bagikan Artikel: