Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Lemahnya Rupiah Pengaruhi Prospek Investasi di Indonesia

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Ekonom Development Bank of Singapore (DBS) Group Research Gundy Cahyadi mengatakan prospek investasi Indonesia ke depan masih terpengaruh oleh pelemahan rupiah yang mengakibatkan menurunnya pertumbuhan investasi.

"Rupiah trending sangat melemah menjadi faktor negatif prospek investasi di Indonesia," katanya dalam diskusi "Analisis India vs Indonesia sejak Taper Tantrums 2013", Jakarta, Rabu (27/5/2015).

Ia mengatakan pelemahan rupiah terhadap dolar AS mengakibatkan daya beli masyarakat menurun yang mana pelaku industri juga harus tetap mengimpor barang untuk produksi dalam negeri. "Impor barang modal tidak bisa naik maka pertumbuhan investasinya juga turun," tuturnya.

Ia mengatakan prospek rupiah ke depan menajadi satu hal penting untuk melihat prospek investasi ke depan. Selain pelemahan rupiah terhadap dolar AS, investasi di Indonesia juga dipengaruhi dengan harga komoditas yang lemah yang terus membebani pendapatan ekspor.

Ia mengatakan belanja modal yang dibutuhkan lebih banyak perlu didukung oleh penerimaan yang lebih optimal namun investasi dari asing dan penerimaan pajak belum dapat memberikan pengaruh dalam jangka pendek. Lebih lanjut ia mengatakan target pendapatan dari segi pajak di IndonesIa pada 2015 sebesar 30 persen merupakan suatu target yang optimistis.

Ia mengatakan dalam empat tahun terakhir pendapatan pajak hanya mencapai 10 persen dan pada 2005 mengarah ke angka 30 yakni sekitar 25 persen. Padahal pemerintah menargetkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 1,9 persen dari produk domestik bruto sedangkan penyerapan anggaran juga belum optimal.

"Kalau pemerintah mau mempertahankan posisi fiskal 2 persen di bawah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara mereka harus menurunkan pengeluaran fiskal pemerintah," ujarnya.

Ia mengatakan defisit transaksi berjalan menurun ke 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada akhir 2014 dari 3,5 persen pada semester pertama 2013. "Walaupun ini merupakan peningkatan, defisit masih lebih tinggi dibanding negara-negara yang memiliki peringkat utang serupa," katanya.

Gundy Cahyadi mengatakan sebagian besar peningkatan datang dari perlambatan drastis impor yakni -15 persen periode tahunan (year on year) pada kuartal pertama 2015, termasuk dari barang modal. "Ini dapat menjadi kekhawatiran terkait kemampuan produksi jangka panjang," tuturnya.

Sementara itu, pemerintah Indonesia belum mengendurkan peraturan untuk batas investasi langsung asing atau "foreign direct investment" (FDI) di dalam negeri. "Dengan tingkat FDI yang masih relatif rendah di beberapa tahun belakangan, kami melihat bahwa defisit neraca berjalan yang 'sustainable' (berkelanjutan) berada sekitar 2 persen dari PDB," ujarnya.

Untuk itu, Indonesia perlu memberikan relaksasi terhadap batas investasi langsung. Kemudian, Indonesia dapat memperluas cadangan devisa untuk mengantisipasi risiko adanya arus modal keluar dan memperlebar defisit anggaran dengan pinjaman.

Dengan demikian, lanjutnya, Indonesia memperoleh dana untuk merealisasikan program pemerintah secara optimal terutama pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi ke depan meski belum dapat dirasakan dalam jangka pendek, katanya.

Lebih lanjut ia mengatakan Indonesia juga menghadapi tantangan dengan inflasi yang meningkat untuk dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. "Sebenarnya trending inflasi juga sedikit meningkat, alasan utamanya adalah rupiah melemah," ujarnya.

Ia mengatakan inflasi meningkat akan mengakibatkan daya beli konsumen menurun. "Karena impor konten produksi masih tinggi. Ini menyebabkan tren inflasi ke depan masih akan meningkat," ujarnya.

Berbeda dengan India yang mana inflasinya cenderung menurun, Indonesia dengan inflasi yang cenderung meningkat akan menyebabkan tidak tersedianya ruang untuk penurunan suku bunga sehingga daya beli masyarakat pun menurun akibat suku bunga yang tinggi. "Beda dengan india, makanya ada ruang menurunkan suku bunganya, di Indonesia Bank Indonesia tidak ada ruang menurunkan suku bunganya, karena adanya tekanan inflasi," ujarnya.

Sementara India diprediksi mengalami peningkatan pertumbuhan yang didorong oleh upaya pemerintah meningkatkan investasi negara, Indonesia sedang berupaya menurunkan ketergantungan ekonominya terhadap komoditas sehingga akan sulit menciptakan pertumbuhan dari investasi yang didanai pemerintah.

Ia mengatkan potensi pertumbuhan ekonomi India akan lebih baik ke depan karena kenyataannya pertumbuhan investasinya naik. "Dulu rata-rata 2 persen. Sekarang kita lihat berpotensi pertumbuhan investasi bisa 5 persen. Kebanyakan dorongan investasi ini dilakukan pemerintah India,' ujarnya.

Ia mengatakan pemerintah India lebih agresif perbaiki hal-hal infrastruktur yang menghambat. "Pemerintah India lebih aktif menggerakkan rongga-rongga roda infrastruktur ini. Lalu indikasi juga telah melonggarkan batas maksimum investasi asing sehingga asing sudah mendorong dan membantu pertumbuhan ekonomi India," katanya.

Pemerintah India sedang berupaya untuk mendorong tingkat investasi, setelah kontribusi dari sektor swasta yang melambat pada tahun fiskal 2011-2013. Berdasarkan seri PDB yang baru pertumbuhan kemungkinan akan meningkat ke 7,8 persen pada 2015/2016, dari 7,4 persen pada 2014/2015.

Ia mengatakan stabilnya industri dan sektor manufaktur merupakan sinyal positif ke depan , sementara penjualan kendaraan komersial terus meningkat. Harga komoditas yang rendah jugamembantu neraca perdagangan India secara signifikan.

Selain itu, pemerintah India sedang mendorong penyelesaian proyek-proyek infrastruktur yang sedang dalam proses penundaan. "Jumlah rencana investasi baru naik hampir 80 persen pada tahun fiskal 2014/2015," tuturnya. Ia mengatakan kesuksesan penyusunan undang-undang tentang akuisisi lahan diharapkan dapat mendorong komitmen tersebut lebih jauh.

Secara keseluruhan, lanjutnya, pertumbuhan diperkirakan cukup positif selaras dengan inflasi yang moderat. Inflasi tampaknya akan sesuai dengan kisaran target Reserve Bank of India di angka 2-6 persen untuk jangka menengah. Meski demikian, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) India lebih tinggi dibandingkan negara dengan peringkat utang serupa, yang mana Indonesia jauh lebih baik dalam hal ini, ujarnya.

"Defisit APBN di India lebih tinggi daripada negara-negara lain dengan peringkat utang serupa dan telah membuat negara tersebut rentan terhadap sentimen asing yang lemah. Pemerintah India menargetkan defisit yang masih termasuk tinggi di 3,9 persen dari PDB untuk tahun fiskal 2015/2016.

Ia mengatakan rencana fiskal tersebut belum juga menunjukan komitmen jelas untuk mengurangi sejumlah subsidi yang masih aktif di India. "Rencana fiskal ini juga tampaknya terlalu optimistis terkait target privatisasi dan target pajak tidak langsung. Kalau memang target pertumbuhan gagal tercapai dan atau harga bahan bakar terus menguat, hal ini dapat membebani kondisi fiskal India. Dalam hal ini, pajak barang dan jasa (GST) menjadi sangat penting bagi pendapatan negara dan efisiensi," katanya.

Dibandingkan India, ia mengatakan defisit APBN di Indonesia lebih kecil. Jika dibandingkan target 1,9 persen dari PDB, ada risiko atas "overshoot" atau hasil yang melampaui nilai akhir) yang disebabkan target pendapatan yang terlalu optimis.

"Pengeluaran modal ditargetkan meningkat dua kali lipat di tahun 2015 dan kami khawatir pemerintah Indonesia akhirnya harus menurunkan target ini," ujarnya.

Selain itu, Indonesia telah berusaha membuat rencana fiskal lebih efektif dan efisien dengan mengalokasikan subsidi bahan bakar dan minyak ke sektor-sektor yang produktif sementara India masih lambat melakukan konsolidasi fiskal dengan tantangan sejumlah subsidi yang masih aktif. Ia menambahkan India dan Indonesia adalah negara di Asia yang terkena dampak paling buruk saat terjadi "taper tantrums" yakni aksi aksi jual atau "selloff" di pasar finansial, termasuk penurunan nilai tukar mata uang yang signifikan terhadap dolar AS pada semester kedua 2013. Ia mengatakan mata uang India Rupee dan Rupiah sama-sama mengalami penurunan lebih dari 20 persen terhadap Dolar AS. Hal itu terjadi saat ekonomi kedua negara sedang rentan. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Achmad Fauzi

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: