Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kemendag Rumuskan Posisi Indonesia di WTO

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan segera merumuskan posisi Indonesia dalam perundingan Post-Bali Work Programme (PBWP) di World Trade Organization (WTO). Pembahasan PBWP ini merupakan upaya WTO sebagai gerbang bagi penyelesaian perundingan Doha Development Agenda (DDA). PBWP diharapkan bisa disahkan pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-10 WTO akhir tahun ini di Nairobi, Kenya.

Guna merumuskan posisi Indonesia tersebut, Kementerian Perdagangan menyelenggarakan International Workshop On Post-Bali Work Programme di Jakarta, 29-30 Mei 2015. Workshop diharapkan juga dapat membahas tindak lanjut "Paket Bali", atau kesepakatan-kesepakatan pada KTM ke-9 WTO di Bali, Desember 2015, yang mengharuskan anggota WTO melakukan berbagai penyesuaian kebijakan perdagangan nasional.

"Kemendag memandang perlu adanya keterlibatan para stakeholders dalam proses implementasi Paket Bali dan perundingan Post Bali Work Programme," jelas Menteri Perdagangan Rachmat Gobel saat memberikan sambutan pembukaan workshop.

Workshop antara lain memberi perhatian khusus pada isu pertanian, mengingat perannya sebagai sektor strategis dalam rangka ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan dan pembangunan.

"Pemerintah Indonesia tetap tegas menempatkan pertanian sebagai sektor strategis dalam perundingan Putaran Doha, karena sektor ini masih menjadi sumber mata pencaharian bagi mayoritas tenaga kerja di Indonesia, sebagai penjamin ketahanan pangan, serta penyedia bahan baku industri. Penguatan sektor pertanian juga akan berdampak positif bagi upaya pengentasan kemiskinan dan mitigasi dampak perubahan iklim," terang Mendag Rachmat.

Seperti diketahui, PBWP sebagai salah satu keputusan dalam KTM ke-9 di Bali, diharapkan selesai perumusannya pada Desember 2014. Namun karena sulitnya negara anggota WTO mencapai kesepakatan mengenai isu-isu apa yang akan diprioritaskan masuk ke dalam PBWP, Pertemuan Special General Council WTO pada 27 November 2014 menyepakati pengunduran tenggat waktu menjadi Juli 2015.

Sampai saat ini para perunding di markas besar WTO di Jenewa berusaha keras agar perumusan paket PBWP dapat disepakati sesuai tenggat waktu, agar dapat disahkan dalam KTM ke-10 di Nairobi dan selanjutnya menjadi landasan/modalitas penyelesaian DDA sesegera mungkin.

International Workshop On Post-Bali Work Programme melibatkan berbagai Kementerian teknis di Indonesia, khususnya yang tergabung dalam Tim Nasional Perunding Perdagangan Internasional (Timnas PPI) serta Satuan Tugas perundingan isu-isu pertanian (Satgas G-33). Acara tersebut memanfaatkan narasumber dari lembaga think tank internasional dan tenaga ahli yang banyak mengikuti perkembangan perundingan di WTO.

Negara Maju vs Negara Berkembang

Selama ini, lebarnya perbedaan posisi antara negara maju dan negara berkembang dinilai menjadi penghambat penyelesaian perundingan DDA yang dimandatkan oleh KTM ke-4 WTO di Doha November 2001. Dengan telah disepakatinya Paket Bali, yang merupakan paket pertama yang berhasil disepakati WTO sejak dimulainya perundingan DDA, Indonesia beserta seluruh anggota WTO lain memiliki tugas implementasi.

Paket tersebut mencakup Perjanjian Fasilitasi Perdagangan, pertanian (Ministerial Decision on Public Stockholding for Food Security Purposes dan ketentuan mengenai jenis-jenis subsidi yang termasuk ke dalam pelayanan umum), pembangunan (pembentukan lembaga yang memonitor pelaksanaan ketentuan WTO di bidang pembangunan), serta isu-isu Least Developed Countries (LDCs).

Paket Bali mengenai Ministerial Decision on Public Stockholding for Food Security Purposes memberi keleluasaan bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk memberikan subsidi bagi ketersediaan pangan yang murah bagi rakyat miskin tanpa khawatir digugat di Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body) WTO.

Indonesia berhasil memperjuangkan kesepakatan WTO mengenai cadangan pangan pemerintah pada KTM Bali tersebut melalui kerja sama erat dengan 46 negara berkembang lain yang tergabung ke dalam kelompok G-33. Saat itu proposal G-33 menyangkut pembentukan stok pangan dalam rangka ketahanan pangan merupakan isu runding yang sangat sensitif, namun akhirnya berhasil dicapai kesepakatan sementara dan solusi permanen harus selesai dirundingkan dalam empat tahun ke depan.

Dengan kesepakatan di Bali, peluang kini terbuka bagi Indonesia untuk meningkatkan tingkat subsidi sambil merundingkan solusi permanen yang akan menuntut penyempurnaan Perjanjian Pertanian WTO secara signifikan. melalui Paket Bali, Pemerintah Indonesia juga dapat memberikan subsidi jenis-jenis general services guna mendukung program ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan di pedesaan Indonesia.

"Pada perundingan di sektor pertanian, Indonesia memimpin kelompok G-33 yang beranggotakan 47 negara anggota WTO termasuk India, RRT, Korea Selatan, Turki, Filipina, Pakistan, serta negara-negara di Afrika dan Karibia. Usulan-usulan yang digulirkan G-33 mencakup hal-hal yang berkaitan dengan program ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan di pedesaan," jelas Mendag.

Dalam kerangka perundingan PBWP, Indonesia bersama G-33 mengusulkan proposal Special Products dan Special Safeguard Mechanism yang akan menjadi katup pengaman proses liberalisasi di sektor pertanian. G-33 dan negara berkembang lainnya menginginkan agar perundingan pertanian didasarkan pada modalitas Rev-4 yang dihasilkan WTO pada Desember 2008. Beberapa Negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Kanada, dan Uni Eropa mulai mencari-cari cara untuk meninggalkan Rev-4 karena beranggapan sudah tidak mencerminkan kondisi saat ini.

Negara maju berpandangan bahwa Rev-4 tidak lagi mencerminkan peningkatan peran dan beban yang harus ditanggung emerging economies yang perekonomiannya makin membaik. Modalitas Rev-4 mewajibkan negara maju melakukan pemotongan subsidi dan tarif lebih besar, sedangkan emerging economies tetap diperlakukan sebagai negara berkembang yang hanya diminta memotong tarif dengan skala yang lebih kecil.

Oposisi negara maju juga makin nyaring menentang draft modalitas pada perundingan akses pasar non-pertanian (produk-produk industri), yaitu Rev-3. Sejumlah negara maju seperti AS dan Jepang menyatakan bahwa perundingan tidak dapat lagi menggunakan Rev-3 karena tidak sesuai dengan perkembangan dan modalitasnya terlalu rumit.

"Saat ini terdapat konstelasi bahwa negara maju berkeberatan dengan fasilitas negara berkembang yang dinikmati oleh emerging economies. Dengan kondisi tersebut, perundingan PBWP terancam macet," ujar Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional, Bachrul Chairi, yang mendampingi Mendag saat membuka acara tersebut.

Menyikapi situasi saat ini, kata Bachrul, perlu dilakukan upaya keras dan kreatif untuk segera menyepakati PBWP pada KTM ke-10 di Kenya. Hal ini penting agar WTO tetap menjadi forum utama yang mendukung sistem perdagangan multilateral.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Achmad Fauzi

Advertisement

Bagikan Artikel: