Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kemerosotan Rupiah Jangan Sampai Terus Berlanjut

Warta Ekonomi -

WE Online, Yogyakarta - Kemerosotan rupiah jangan sampai terus berlanjut hingga memberikan dampak perekonomian yang parah. "Itu yang harus dicermati, dan sekaligus diatasi" kata ekonom dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Edy Suandi Hamid.

Ekonom Edy Suandi Hamid mengingatkan bahwa nilai tukar rupiah yang merosot memang memberikan peluang, dan keuntungan, tetapi kemerosotan itu bisa mengancam perekonomian secara keseluruhan.

"Oleh karena itu, pencermatan atas keberlanjutan kemerosotan itu harus dilakukan secara serius," katanya pada diskusi perekonomian Indonesia di Gedung Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakata (UMY), Jumat (3/7).

Menurut dia, pencermatan itu bukan hanya oleh Bank Indonesia (BI), tetapi juga pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan para pelaku ekonomi yang langkah-langkahnya bisa memengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah.

"Pengalaman kemerosotan ekonomi yang parah yang terjadi pada 1998 juga diawali oleh kemerosotan nilai tukar rupiah, yang menjelang pertengahan 1998 sempat menyentuh Rp17 ribu per dolar AS," kata Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) itu.

Ia mengatakan nilai tukar rupiah sejak dua bulan terakhir jauh di atas asumsi dasar Rp12.500, bahkan sudah terdepresiasi di atas Rp13.300 per dolar AS. Hal itu menggambarkan adanya instabilitas makro ekonomi Indonesia.

Selain itu, menurut dia, harga minyak mentah Indonesia ternyata juga di bawah asumsi dasar. Harga minyak mentah Indonesia rata-rata hanya 53 dolar AS per barel dari asumsi dasar sebesar 60 dolar AS per barel.

"Melemahnya nilai tukar rupiah dan melesetnya harga dan produksi minyak akan banyak pengaruhnya pada makro ekonomi secara keseluruhan. Hal ini bisa berpengaruh pada target atau sasaran kesempatan kerja, pengangguran, kemiskinan, distribusi pendapatan, dan variabel makro ekonomi lain," katanya.

Oleh karena itu, kata dia, langkah-langkah untuk menata kebijakan ekonomi termasuk isu perombakan kabinet ekonomi bisa dipahami sepanjang dilakukan untuk mengoreksi kebijakan yang dalam semester pertama pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla terkesan masih jalan sendiri-sendiri, dengan arah yang belum sepenuhnya jelas.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perbankan dan Finansial Rosan P. Roeslani menilai pembangunan infrastruktur dan industri di Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Indonesia secara umum perlu segera direalisasikan agar negara tidak terus-menerus "terlena" dengan produk komoditas.

"Ekonomi Indonesia yang tumbuh positif selama 10 tahun akhirnya goyah karena kita terlalu lama terlena pada keuntungan dari sektor komoditas, hingga lupa membangun infrastruktur dan industri, padahal keduanya merupakan sektor penentu gerak positif ekonomi nasional maupun daerah," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Antara di Jakarta.

Rosan yang bicara pada Rapat Koordinasi Kadin Provinsi NTT di Kupang, 27 Juni lalu, menjelaskan ketergantungan pada harga komoditas tidak mendukung stabilitas ekonomi karena harga komoditas sangat bergantung pada pasar, harga, dan permintaan internasional.

Artinya, tidak terbentuk kemandirian dalam menentukan masa depan dan stabilitas ekonomi bangsa sendiri.

"Masalah yang dihadapi saat ini menjadi penting bagi kita untuk melihat kembali kelemahan pembangunan ekonomi kita. Pembangunan industri dan infrastruktur kita segerakan. Tidak ada kata terlambat," kata dia.

Realistis Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro berpendapat proyeksi pertumbuhan ekonomi di angka 5,2 persen pada akhir 2015 paling realistis dengan dinamika perekonomian global saat ini.

"Proyeksi pertumbuhan ekonomi ini berdasarkan kondisi terakhir, dan kami cari yang paling realistis," katanya kepada wartawan di Jakarta, 2 Juli lalu.

Menkeu mengatakan salah satu alasan pertumbuhan ekonomi kembali mengalami penurunan revisi adalah sektor investasi yang belum memenuhi ekspektasi karena faktor global yang masih belum menentu.

"Investasi diperkirakan masih 'oke', tapi kalau melihat dunia yang penuh ketidakpastian, mungkin laju investasi tidak sebaik yang kita harapkan," ujarnya.

Selain itu, alasan lainnya adalah kontribusi belanja pemerintah yang tidak sesuai harapan, karena penyerapan belanja modal pada akhir tahun diperkirakan hanya mencapai 90 persen seperti tahun-tahun sebelumnya.

"Belanja modal paling tinggi 87 persen hingga 90 persen, jadi tidak mungkin 100 persen dan mendorong pertumbuhan lebih tinggi. Padahal belanja pemerintah yang bisa diandalkan untuk menjaga pertumbuhan adalah belanja modal," kata dia.

Menurut Menkeu, pemerintah juga tidak bisa mengandalkan kinerja sektor ekspor yang masih lesu, akibat berkurangnya permintaan dan melemahnya harga komoditas di tingkat global.

"Ekspor 'basically hopeless', tapi kita upayakan agar jangan sampai negatif. Saat ini, harga komoditas sudah demikian rendah dan susah naik, akibat harga minyak dunia yang rendah seperti sekarang," tandasnya.

Pemerintah memproyeksikan pada semester I-2015 pertumbuhan ekonomi berada pada kisaran 4,9 persen, dan semester II-2015 bisa mencapai 5,5 persen, sehingga "outlook" pada akhir tahun mencapai 5,2 persen.

Sebelumnya, pemerintah telah merevisi turun pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen, dari asumsi yang tercantum pada APBN-P 2015 sebesar 5,7 persen, setelah pada triwulan I perekonomian nasional hanya tercatat tumbuh 4,7 persen.

Namun terkait dengan kondisi tersebut, seorang praktisi optimistis ekonomi melambat bukan halangan untuk menciptakan peluang bisnis, terutama sektor manufaktur berbasis ekspor.

Tetapi, kata Presiden Direktur PT Makmur Meta Graha Dinamika Hardi Sasmita ini, untuk mencapai hal itu butuh dukungan pendanaan.

"Pengalaman krisis ekonomi 1998 justru beberapa pengusaha menikmati keuntungan. Dimana ada krisis, di situ ada kesempatan," katanya di Jakarta, 29 Juni lalu.

Hardi dalam diskusi yang diselenggarakan Standard Chartered Bank Indonesia (SCBI) ini mengatakan sebagai perusahaan yang bergerak dalam industri metalurgi, sebenarnya diuntungkan, sepanjang nilai tukar rupiah stabil.

"Melemahnya nilai tukar justru menjadi peluang bagi sektor manufaktur sepanjang jangan terlalu berlebihan. Hal ini karena sebagian bahan baku berasal dari produk impor kalau melemahnya rupiah terus berkelanjutan tentunya akan menyusahkan," kata dia.

Didorong UKM Sedangkan Komisaris PT Duta Putra Utama Makmur Witjaksono mengatakan pengalaman krisis 1998 justru dapat pulih karena didorong sektor usaha kecil dan menengah (UKM).

Witjaksono yang memiliki usaha di bidang perikanan mengatakan di tengah ekonomi melemah seperti sekarang ini pemerintah seharusnya justru memperkuat sektor usaha kecil menengah untuk menciptakan peluang pekerjaan.

"Pandangan saya kalau melihat kondisi ekonomi 2015 tidak sama dengan 1998, kondisi saat ini lebih disebabkan melambatnya ekonomi," ujarnya.

Menurut dia, sektor usaha yang memiliki peluang saat ini apabila bergerak di bidang manufaktur, sedangkan untuk sektor di bidang komoditas kelihatannya akan sulit berkembang.

Sementara itu, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono mengatakan Indonesia kini masih jauh dari krisis ekonomi seperti yang pernah terjadi pada 1998 akibat melemahnya mata uang rupiah.

"Kalau melihat angka, sepertinya sudah dekat, dulu Rp15.000 sekarang kita sudah Rp13.400. Meskipun angkanya mirip, tetapi situasinya sangat berbeda," kata dia di Jakarta, Kamis (3/7).

Pada 1998, kata Tony, inflasi mencapai 78 persen karena rupiah melemah, sehingga orang-orang berlomba menarik dana dari perbankan dalam bentuk tunai, dan BI mencetak uang dalam jumlah besar.

Sedangkan sekarang, menurut dia, inflasi "year on year" sebesar 7,15 persen, jauh dibanding pada 1998.

Selanjutnya, kata Tony, suku bunga deposito pada 1998 mencapai 60 hingga 70 persen, sehingga bunga deposito lebih tinggi dari bunga kredit yang hanya 24 persen.

"Akibatnya terjadi 'negatif spread', maka bank-bank kolaps, termasuk bank-bank besar milik pemerintah. Sedangkan sekarang tidak ada bank yang kolaps. Jadi kondisi 1998 jauh lebih dahsyat jeleknya dibandingkan 2015," tandasnya.

Tony mengatakan perbandingan tersebut dilihat dari faktor-faktor objektif, yakni suku bunga, inflasi, dan kesehatan bank. (Ant)

Baca Juga: Pujian untuk Ambisi Berkelanjutan, Warta Ekonomi Gelar Indonesia Most Visionary Companies Awards 2024

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Sucipto

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: