Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Aturan Hukum Pilkada Dinilai Tidak Berfungsi Maksimal

Warta Ekonomi -

WE Online, Pangkalpinang - Pengamat politik Anugrah Bangsawan menyebutkan aturan hukum tentang pemilihan kepala daerah diprediksi tidak akan berfungsi secara maksimal.

"Aturan hukum itu tidak berfungsi maksimal karena Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota tidak dibekali spesifikasi hukum seperti ancaman pidana yang tegas," ujarnya di Pangkalpinang, Minggu (5/7/2015).

Ia mengatakan, konstruksi hukum dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 masih terlampau lemah dalam hal penindakan apabila dalam pilkada terjadi transaksi politik antara calon dan parpol.

"UU tersebut masih lemah karena tidak memuat sanksi pidana bagi pelanggar. UU itu merupakan salah satu instrumen pencegahan yang dibuat untuk mengawasi penyelenggaraan pilkada baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota," jelasnya.

Dikatakannya, dalam Pasal 47 ayat (1) UU itu disebutkan partai politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota.

"Sementara terkait sanksi, pada pasal 47 ayat (2) berbunyi, dalam hal partai politik atau gabungan partai politik terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), partai politik atau gabungan partai politik yang bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama," ujarnya.

Menurut dia, subtansi UU terkait hukum tersebut seharusnya perlu dijabarkan secara rinci sanksi pidana baik berupa kurungan dan ancaman tegas lainnya.

Ia menambahkan, tradisi politik selama ini memberikan ruang bagi elite politik untuk melakukan politik transaksional, apalagi jika calon bukan kader parpol yang bersangkutan.

Selain itu, kata dia, jargon-jargon parpol yang mengharamkan politik uang atau mahar politik bagi calon yang akan maju tidak sejalan dengan realitas politik yang terjadi.

"Justru jargon itu hanya 'lips service' belaka. Saat ini praktik mahar politik dikemas dengan istilah sumbangan sukarela tapi dibatasi minimalnya, seperti untuk biaya operasional survei dan biaya konsolidasi parpol sesuai tingkatan," ujarnya. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Sucipto

Advertisement

Bagikan Artikel: