Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

ASPEK: Kebijakan JHT Bukti Mental Pejabat Bukan Orientasi Melayani

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia menilai kebijakan baru mengenai pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) merupakan cermin orientasi dari pejabat di BPJS Tenaga Kerja dan Kemenaker.

"Penyusun PP 46/2015 menentukan besaran 10 persen tanpa melibatkan serikat pekerja, seperti dana tersebut miliknya sendiri. Ini akibat dari mental pejabat yang orientasinya dilayani bukan orientasi melayani, padahal yang dikelola adalah dana amanat milik pekerja," kata Presiden ASPEK Indonesia Mirah Sumirat melalui keterangan tertulisnya, di Jakarta, Selasa (7/7/2015).

Menurut ASPEK, terbitnya PP 46 Tahun 2015 tentang pencairan dana JHT yang hanya dapat dilakukan setelah masa kepesertaan 10 tahun dan hanya bisa diambil 10 persen saja serta sisanya baru bisa diambil setelah usia 56 tahun, membuktikan bahwa penyusun PP 46/2015 tidak memahami kondisi pekerja yang menjadi 'pemilik dana amanat' yang sesungguhnya.

Penyusun PP 46 Tahun 2015 juga mengabaikan hak pekerja yang menjadi peserta karena jika merujuk pada UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, khususnya Pasal 3 ayat 3 tidak ada ketentuan tentang pembatasan 10% pencairan dana JHT.

Atas dasar tersebut, ASPEK kembali menyuarakan pencopotan Menteri Ketenagakerjaan dan Direksi BPJS Ketenagakerjaan pasca kisruh penerbitan PP Nomor 46 Tahun 2015 terkait program Jaminan Hari Tua yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan.

Pejabat di kedua instansi tersebut juga dinilai telah mempermalukan Joko Widodo sebagai Presiden yang menandatangani PP 46/2015, karena Presiden harus merevisi PP 46/2015 satu hari setelah pemberlakuannya.

"Pembahasan rancangan PP 46/2015 pastinya melibatkan Kementerian Ketenagakerjaan dan Direksi BPJS Ketenagakerjaan, tidak sekonyong-konyong ada di meja kerja Presiden," kata Mirah.

Lebih lanjut, Mirah juga mengingatkan seluruh pekerja untuk bersama-sama mengawasi kinerja Direksi BPJS Ketenagakerjaan, karena dana yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan adalah milik pekerja dan nilainya sangat besar. Berdasarkan informasi yang didapatkan pihaknya, pada Triwulan I 2015, total dana investasi yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan mencapai Rp195,35 triliun, sedangkan hasil perolehan investasi tahun 2013 mencapai Rp15 triliun.

"Seharusnya pekerja diberitahu hasil pencapaian ini dan seluruh hasil perolehan investasi dikembalikan kepada peserta dalam bentuk dana pengembangan. Hal ini harusnya dilakukan secara transparan," ujarnya.

Informasi yang harus disampaikan tersebut, kata Mirah, seperti berapa perolehan investasi yang diserahkan sebagai benefit kepada peserta, berapa yang digunakan untuk biaya operasional BPJS Ketenagakerjaan.

"Jangan sampai perolehan investasi yang seharusnya menjadi hak pekerja justru banyak terpakai untuk biaya operasional dan fasilitas pejabat di BPJS Ketenagakerjaan," ujarnya.

Pekerja juga, lanjut dia, harus diberi tahu tentang alokasi dana investasinya, apakah di surat utang, deposito, saham, reksadana atau investasi langsung. Lalu bagaimana kinerja pengembangan di setiap alokasi dana investasi. Mirah kembali mengingatkan pentingnya pengawasan dilakukan oleh semua pihak khususnya oleh serikat pekerja karena pekerja adalah pemilik dana amanat yang ada di BPJS Ketenagakerjaan.

"Jangan sampai terulang lagi skandal Jamsostek pada tahun 2005, yang kasusnya berawal dari tindakan investasi pembelian surat utang jangka menengah (MTN) total senilai Rp311 miliar, yang dilakukan oleh Direksi PT Jamsostek secara melawan hukum, yang memperkaya diri sendiri atau orang lain serta mengakibatkan kerugian keuangan Negara," ujarnya. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Achmad Fauzi

Advertisement

Bagikan Artikel: