Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

UMKM Bakal Terkena Ekses Liberalisasi MEA?

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Liberalisasi ekonomi sesuai dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) menimbulkan ekses karena terkait dengan persoalan klasik di Indonesia yang tak kunjung selesai yakni isu kesenjangan sosial ekonomi antara kelompok pribumi dan non pribumi, kata seorang akademisi pada Ahad (30/8/2015).

Dr. TB Massa Djafar mengatakan dalam perbincangan di Jakarta bahwa dari satu diskusi ke diskusi, pembicaraan hanya terfokus pada soal sikap optimisme dan pesimisme tentang kesiapan Indonesia menghadapi MEA mulai akhir tahun 2015 dengan masing-masing argumentasinya tetapi jarang menyoroti sisi lain yaitu ekses liberalisasi ekonomi MEA.

"Mekanisme pasar tidak sepenuhnya steril atau netral mengikuti hukum pasar. Bagaimanapun jejaring sosial ekonomi, melalui asosiasi kelompok kepentingan, sentimen etnisitas, suku bangsa turut mewarnai dinamika pelaku pasar," kata TB Massa, dosen pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta, dan salah seorang ketua Pergerakan Kaum Bumiputera.

Dalam diskusi bulanan yang diselenggarakan organisasi masa itu Sabtu (29/8). TB Massa menyampaikan paparan bertema "Daya Saing Indonesia Memasuki Masyarakat ASEAN pada Tahun 2015: Masalah Institusional dan Pemberdayaan UKM Lokal/Daerah".

Lebih jauh dia mengatakan sekitar 60 persen posisi pribumi menjadi pelaku ekonomi menengah-kecil dan mikro (UMKM). Sudah menjadi rahasia umum bahwa kualitas sumber daya manusia UMKM sangat lemah, juga segi permodalan, ketrampilan maupun penguasaan jalur pemasaran dan distribusi.

Ketimpangan struktural Menurut dia, ketimpangan struktural ini tidak mudah diselesaikan dalam waktu singkat karena warisan masa lalu yang belum berubah secara signifikan.

"Persoalan menjadi krusial, dimana struktur ekonomi politik domestik sudah terintegrasi dengan struktur global. Kecuali pemerintah memiliki keberanian untuk melakukan proteksi agar terjadi keseimbangan dan mencegah kesenjangan terutama, menyangkut kualitas SDM, permodalan, ketrampilan, akses pasar, perlindungan tenaga kerja, dituangkan dalam berbagai kebijakan," kata dia.

Lebih jauh TB Massa mengatakan pengaruh modal dari Tiongkok dan sekutunya di Indonesia pada era Pemerintahan Presiden Joko Widodo memberi jalan memperkuat struktur sosial ekonomi pada masa kolonial. Struktur sosial ini sesungguhnya tidak pernah terputus, apalagi terhenti.

Bangsa Eropa dalam hal ini Belanda ketika itu menempati lapisan sosial atas sebagai pemegang kekuasaan, sekaligus penguasaan sumber ekonomi sedangkan lapisan menengah golongan timur asing, etnis Tionghoa (nonpri) menempati kelas menengah. Dalam konteks global, sudah dapat dipastikan posisi nonpri yang berasal dari etnis Tionghoa semakin menguatkan struktur sosial kolonial.

"Bahkan kini mereka naik kelas, menjadi elit, penguasa ekonomi dan posisi mereka pada kelas menengah juga semakin kokoh sementara posisi kaum pribumi mayoritas penduduk Indonesia semakin tersingkir dalam persaingan bebas dan tetap menjadi masyarakat kelas bawah," katanya.

Apapun masalahnya, menurut TB Massa, jika pemerintah tidak mampu memproteksi kepentingan pelaku ekonomi menengah kecil, maka isu pribumi dan non pribumi akan menguat dan masif. Dengan maraknya penamaan organisasi sosial dan politik berembel-embel istilah pribumi, jangan dianggap enteng.

Isu konflik kepentingan pribumi dan nonpribumi bisa menjadi alat yang dianggap efektif, menyuarakan ketidakadilan di tengah mandulnya mekanisme demokrasi dalam mewujudkan keadilan sosial, kata akademisi itu.

"Selain itu, isu pribumi dan nonpri, bukan sekadar soal kecemburuan sosial tapi kita harus jujur mengatakan ini adalah sebuah potret ketidakadilan. Realitas sosial ini faktual, bukan jargon, apalagi omong kosong. Pembuktiannya rasanya tidak sukar. Kesenjangan pribumi dan nonpri secara visual bisa digambarkan dalam bentuk piramida terbalik, potret ini sukar diterima akal sehat," katanya.

Dalam perspektif perubahan sosial, menurut dia, fenomena ini harus dibaca sebagai sinyal awal, sebagai arus balik globalisasi ekonomi politik, yang tidak berpihak bahkan menyingkirkan kaum pribumi.

"Gejala ini tentu kita tidak inginkan, karena sangat berbahaya dan merugikan serta bisa menjadi ancaman bagi kedaulatan dan integrasi bangsa," kata TB Massa. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: