Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Larangan Ekspor dan Kewajiban Bangun 'Smelter' Perlu Ditinjau Ulang

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Masih banyak pihak yang tidak setuju dengan peraturan pemerintah kewajiban pembangunan smelter bagi perusahaan tambang untuk mengurangi ekspor raw mineral (mineral mentah) dan meningkatkan industri hilir pada sejumlah pertambangan.

Hal ini terungkap dalam talkshow interaktif prospek dan tantangan prospek dan tantangan pembangunan smelter di Indonesia yang diselenggarakan jitunews.com di Jakarta, Senin (31/8/2015).

Salah satu narasumber, Simon F Sembiring, mantan Dirjen Minerba mengatakan wajar masih banyak pihak yang tidak setuju. Apalagi, perusahaan-perusahaan tambang berskala kecil, mereka tidak mungkin membuat smelter yang tentu membutuhkan biaya yang sangat besar.

"It is oke, cuma implementasinya tidak benar sebab kalau yang kecil-kecil diharuskan memiliki smelter sampai bertanduk juga tidak mungkin," ungkap Simon.

Menurut Simon, sementara berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba tidak melarang ekspor bijih mineral maupun batubara. Selagi UU tersebut dicabut kegiatan ekpos tidak bisa dilarang. Ia menambahkan bahwa selama PP belum dicabut pemerintah tidak bisa melarang ekspor. Apalagi, nyatanya masih ada perusahaan yang diberikan izin ekspor, seperti Freeport yang melakukan ekspor konsentrat.

"Apa bedanya konsentrat dengan raw," tegas Simon.

Simon menjelaskan bahwa seharusnya Pasal 102 dan 103 seharusnya tidak dikaitkan dengan larangan ekspor, tetapi dijabarkan ke dalam PP mengenai kurun waktu yang diberikan bagi IUP, IUPK untuk melakukan pengolahan, dan pemurnian secara rational. Kemudian secara bertahap dan disinkronkan dengan sektor manufaktur sehingga terjalin link and match antara industri pertambangan dan industri manufaktur.

Kemudian implementasi UU Nomor 4/2009 ke dalam PP dan Permen sangat tidak konsisten dengan UU-nya dan bahkan ada yang saling bertentangan dalam hal bisa tidaknya ekspor produksi IUP dan IUPK dalam bentuk mineral. Demikian juga detail tentang pengolahan dan pemurnian.

Salah satu solusi yang dapat diambil oleh pemerintah untuk membatasi ekspor, menurut Simon, pemerintah sebaiknya melaksanakan UU Nomor 4/2009 secara konsisten maka harus dilaksanakan Pasal 5 dalam hal mengendalikan produksi dan ekspor (implementasi pada PP Nomor 23/2010 Pasal 84 dan Pasal 85). Serta menerapkan sanksi administrasi (Pasal 151) bagi IUP, IUPK, IUPR yang tidak melaksanakan kewajibannya, termasuk kewajiban tidak melaksanakan pasal 102 dan pasal 103.

Kemudian khusus bagi kontrak karya (KK) dikenakan sanksi administratif, tidak ada iktikad baik dari KK, tapi buktinya sudah lima tahun. Studi kelayakan dan amdal lengkap untuk pembangunan smelter belum diserahkan kepada pemerintah.

"Pemerintah dan perusahaan kurang harmonis hubungannya dalam melaksanakan undang-undang ini. Tidak ada tujuan untuk membunuh investor dan mengecilkan pemerintah, tapi untuk kesejahteraan masyarakat," tegas Simon.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Agus Aryanto
Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: