Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Serapan Anggaran Rendah, Apa Sebabnya?

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Anggota Komite IV DPD Adrianus Garu menilai rendahnya penyerapan anggaran tahun 2015 disebabkan oleh pola penyerapan yang tidak efektif. Dia menyebut buruknya pola penyerapan anggaran berakibat pada realisasi belanja APBD kabupaten/kota yang rata-rata hanya mencapai sebesar 24,6%.

"Pola yang dipakai selama ini kurang tepat. Jeda waktu antara penyerahan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) dengan penyerahan pelaksanaan (juklak) maupun petunjuk teknis (juknis) atau opesional sangat lama," kata Adrianus Garu dalam dialog kenegaraan bertajuk Lambatnya Serapan Anggaran 2015 di Kompleks Parlemen, Rabu (2/9/2015).

Menurut Adrianus, pola penyerapan yang berjalan selama ini ialah setiap tanggal 2 Januari pemerintah pusat menyerahkan DIPA ke pemerintah daerah. Kemudian di bulan Juni baru dikirim juklak, Juli dikirim juknisnya. Setelah itu, sepanjang Agustus dilakukan asistensi dan perencanaan di bulan September. Baru Oktober mulai proyek atau pembangunan. Bahkan, ada yang masuk November baru mulai pembangunan.

"Padahal, tutup buku anggaran adalah Desember," tandasnya.

Kalau seperti ini polanya, lanjut Adrianus, proyek-proyek di daerah pasti selalu gagal karena waktu pengerjaannya singkat.

Jadi, memang anggaran itu baru mulai terserap Oktober ke atas. Tidak salah kalau terjadi seperti sekarang ini, yaitu lambatnya penyerapan anggaran pada semester I," tandasnya.

Sementara itu, anggota DPR Agun Gunandjar mengakui jika lambatnya penyerapan anggaran terjadi sejak reformasi. Hanya saja kini lebih parah akibat kementeriannya, nomenklatur birokrasinya, serta disusul masalah administratif lainnya. Juga akibat ketidakpahaman birokrasi pusat dan daerah dalam menjalankan kewenangannya.  Padahal, sudah ada UU No 30/2013 tentang diskresi, kewenangan keuangan negara.

"Kalau administratif, bukan pidana," tuturnya.

Selain itu, kata Agun, terlalu banyak prosedur dan proses dalam pencairan. Karena itu, Presiden Jokowi perlu memangkas proses adminsitratif yang menghambat pencairan anggaran pembangunan daerah tersebut.

"Dana desa pun nomenklaturnya berubah, birokrat di bawah tidak siap, sumber daya manusia (SDM) juga tidak siap. Jadi, kuncinya ubah politik anggaran dengan menyerahkan ke 34 daerah provinsi. Putus praktik-praktik kartel, mafia, monopoli, dan sebagainya. Tapi, saya optimis pasca-2015 akan lebih baik dan terjadi lompatan-lompatan perekonomian," tambahnya.

Senada dengan hal tersebut, Direktur Indef Enny Hartati menilai jika dalam program penganggaran pembangunan ini terjadi inkonsistensi sehingga penyerapan anggarannya bermasalah dan terlambat. Hal itu bisa dilihat dari dilaksanakannya Murembangnas lebih dulu dari Musrembangda.

"Seharusnya Musrembangda dulu baru Musrembangnas karena Musrembangda akan menjadi basis untuk Musrembangnas. Jangan semua diputuskan di meja Jakarta, sementara pelaksanaan APBD di daerah," katanya.

Menurut Enny, daerah dipaksa memenuhi administratif dan bukannya target. Konsekuensinya, makin meningkat dana transfer ke daerah justru pertumbuhan ekonomi turun dan pengangguran meningkat. Karena itu, meski dana transfer daerah 2016 ini lebih besar, tapi tidak berdampak dan tidak berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ferry Hidayat
Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: