Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Nilai Tukar Rupiah Sensitif Sentimen Eksternal

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki karakteristik soft currency. Mata uangnya sangat sensitif terhadap kondisi ekonomi global seperti krisis finansial, spekulasi di pasar finansial, dan ketidakstabilan ekonomi yang bisa mengakibatkan jatuhnya nilai soft currency.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah. Bahkan nilainya makin mengkhawatirkan ketika posisinya melampaui level Rp14.400 per dolar pada pertengahan September 2015 lalu. Jika menganalisis penyebab melemahnya rupiah ini, sulit menampik  adanya pengaruh eksternal, terutama pemulihan ekonomi AS setelah terpuruk pada krisis tahun 2008.

Pertumbuhan ekonomi AS terakhir mencapai 2,5%, sementara inflasi mencapai 1,6%. Bahkan mengalami deflasi pada Januari 2015 sebesar 0,1%. Inflasi di AS dikatakan baik jika tidak lebih dari 2%. Walaupun sebelumnya AS melakukan kebijakan quantitative easing (mencetak uang untuk dibelikan surat berharga pemerintah AS sendiri), tetapi inflasi AS tidak meningkat karena dolar AS beredar ke seluruh dunia. Akibatnya, efek inflasi tidak begitu besar, bahkan hampir tidak ada. Tingkat pengangguran di AS juga menurun tajam hingga sekarang berada di level 5,7%, meski belum menyentuh angka normal di 4%.

Namun, kondisi sekarang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan saat krisis subprime mortgage yang memuncak pada 2009 hingga 2010. Data penjualan mobil menjadi salah satu indikator untuk mendeteksi tingkat kesehatan perekonomian AS. Penjualan mobil di AS pada Februari 2015 lebih tinggi hingga 9% jika dibandingkan dengan Februari 2014. Sepanjang 2014, penjualan mobil mencapai 16,5 juta unit. Hal tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap nilai mata uang rupiah saja, tetapi juga terhadap mata uang negara lain sehingga kurs beberapa mata uang negara lain pun ikut terdepresiasi dalam beberapa bulan terakhir.

Membaiknya kondisi ekonomi AS membuat bank sentral AS, The Fed,  merencanakan tapering off atau pengurangan quantitative easing. Rencana yang dikemukakan Gubernur The Fed saat itu, Ben Bernanke, sejak Mei 2013 itu menjadi awal penguatan dolar terhadap mata uang dunia. Kebijakan tersebut membuat suplai dolar menjadi berkurang.

Setelah sempat mengalami penundaan, barulah rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada Desember 2013 memutuskan untuk mengurangi pembelian stimulus berupa pembelian obligasi dari US$85 miliar menjadi US$75 miliar per bulan. Artinya, The Fed mengurangi pembelian US$10 miliar untuk obligasi. Kemudian, pada akhir 2013, nilai tukar rupiah telah mencapai Rp12.100 per dolar AS atau telah mengalami pelemahan sebesar 25,5% selama 2013.

Pelemahan mata uang di dunia terhadap AS membuat permintaan barang komoditas turun. Akibatnya, harga komoditas yang menjadi andalan ekspor Indonesia anjlok, dan berdampak pada neraca perdagangan yang pada akhirnya memperburuk pelemahan rupiah.

Ekspor Indonesia tercatat sebesar US$12,56 miliar pada Mei 2015, turun 15,24% dibandingkan dengan perolehan Mei 2014 atau minus 4,11% dari bulan sebelumnya. Penurunan ekspor terjadi pada hampir semua komoditas unggulan dan ke hampir seluruh negara mitra dagang Indonesia. Beberapa komoditas unggulan ekspor Indonesia yang mengalami penurunan harga, di antaranya, adalah batu bara. Pada kuartal I-2015, ekspor batu bara anjlok 17,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya 11,8%. Ekspor minyak nabati turun 12,6% pada kuartal I-2015, dibanding periode yang sama 2014  yang masih mencatat surplus 8%. Tekstil dan produk tekstil turun 2,6% pada kuartal I-2015 dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang masih surplus 1%. Bahkan, ekspor karet tercatat anjlok hingga 30,3% pada kuartal I-2015 dibanding periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 16%.

Ketika rupiah melemah, seharusnya nilai ekspor mengalami kenaikan. Namun, sayangnya, karena produk Indonesia didominasi komoditas yang harga dan permintaannya sedang anjlok, maka kontribusi terhadap neraca perdagangan tidak signifikan, sehingga mendorong pelemahan rupiah. Selain turunnya nilai ekspor, sejak empat tahun terakhir, impor barang modal dan konsumsi melonjak sehingga menekan neraca perdagangan Indonesia. Hal ini ikut mendorong pelemahan rupiah terhadap dolar AS yang terjadi sejak 2013. Lonjakan impor berupa barang konsumsi mengalami peningkatan cukup besar pada kuartal pertama tahun ini, yang mencapai 48,2%. Barang konsumsi yang diimpor berupa produk buah-buahan yang tidak ditanam di Indonesia. Namun, kenaikannya masih lebih rendah dibandingkan pada 2010 lalu yang mencapai 63,3%.

Impor barang konsumsi berupa barang yang tidak diproduksi di Indonesia, yang mencapai 60%, seperti barang-barang otomotif, elektronik, dan makanan. Meski pada satu tahun terakhir terjadi penurunan impor, hal itu tidak cukup signifikan untuk menahan laju pelemahan rupiah.

Tak hanya sampai di situ. Secara mendadak, People's Bank of China (PBOC) memangkas nilai mata uangnya pada 11 Agustus lalu. Tidak tanggung-tanggung, bank sentral Negeri Panda itu melakukan devaluasi atas nilai tukar harian yuan sebesar 1,9%. Jumlah tersebut merupakan yang terbesar dalam sejarah Tiongkok. Langkah PBOC itu telah membuat pasar dirundung ketidakpastian dan mempertanyakan arti dari devaluasi yuan itu. Apakah ini pertanda perlambatan ekonomi Tiongkok sudah terlalu parah? Atau, ini cara Tiongkok ikut bermain dalam currency war? Namun, penjelasan yang paling umum adalah devaluasi yuan bertujuan mendongkrak kinerja ekspor Tiongkok yang terpuruk. Pasalnya, yuan yang lebih lemah akan memperkuat daya saing barang produksi Tiongkok di pasar global.

Ketidakpastian pasar pasca-pengumuman PBOC menyebabkan pasar saham global anjlok dan harga komoditas dunia tergerus. Kondisi serupa juga terjadi di emerging market, yang ditandai dengan pelemahan mata uang mulai dari peso Meksiko hingga dolar Australia. Dolar AS perkasa terhadap hampir semua mata uang dunia. Investor lebih memilih instrumen  yang dirasa lebih aman seperti obligasi dan surat utang pemerintah AS.

The Fed Pertahankan Suku Bunga

Pelaku pasar menanti hasil rapat The Fed yang dilaksanakan pada 16-17 September 2015 waktu setempat. Tak cuma para investor yang ada di Indonesia yang menantikan hasil rapat itu, tetapi juga investor di banyak negara lainnya. Apabila bunga naik, dolar AS akan makin perkasa terhadap hampir semua mata uang. Hal ini sekali lagi membuktikan bahwa pelemahan rupiah sangat dipengaruhi kondisi eksternal. Pertengahan September ini nilai tukar rupiah terhadap dolar AS telah menyentuh level paling rendah sejak 1998 yaitu 14.450 per dolar. Hingga saat yang ditunggu tiba, Kamis (17/9) waktu AS, The Fed akhirnya memutuskan belum akan menaikkan suku bunga acuannya, tetap dipertahankan pada  0%. Meski begitu, The Fed berencana menaikkan suku bunga acuannya pada akhir tahun ini.

The Fed mempertimbangkan kondisi perlambatan ekonomi dan keuangan global, khususnya perekonomian negara-negara berkembang dan perekonomian AS sendiri. Dalam pernyataan resminya, The Fed menyebutkan kondisi ekonomi dan keuangan dunia saat ini mungkin menahan aktivitas ekonomi. Ini yang membuat tekanan terhadap inflasi. Namun, Gubernur The Fed Janet Yellen mengingatkan kondisi ekonomi di AS saat ini berada dalam posisi moderat dengan pengeluaran rumah tangga dan investasi yang meningkat, bersama dengan peningkatan pembangunan rumah.

Salah satu kunci dari kebijakan yang diambil The Fed adalah kekuatan pasar tenaga kerja. Perkembangan pasar tenaga kerja dikatakan sudah meningkat sejak pertemuan FOMC pada Juli lalu. Meski begitu, tingkat inflasi menjadi rujukan paling utama The Fed. Pertumbuhan ekonomi AS diprediksi akan meningkat 2,1% tahun ini, tetapi pada 2016 diproyeksikan akan kembali melambat 2,3% dari 2,5% yang diperkirakan. The Fed juga menurunkan proyeksi inflasinya selama dua tahun mendatang, diperkirakan 1,7% pada tahun depan dan 1,9% pada 2017. Proyeksi ini di bawah perkiraan sebelumnya sebesar 2,0%.

Hari pertama pasca-pengumuman kebijakan suku bunga AS, Jumat (18/9), nilai tukar rupiah bergerak para kisaran sempit. Rupiah tak jatuh terlalu dalam karena BI juga memutuskan untuk menahan suku bunga acuan pada 7,5%. Mengutip data Bloomberg, Jumat (18/9), nilai tukar rupiah terlihat bergerak terbatas pada kisaran level 14.489 hingga 14.348 per dolar AS. Sementara itu, kurs tengah Bank Indonesia (BI) mencatat nilai tukar rupiah melemah tipis 0,07% menjadi 14.463 per dolar AS dari perdagangan sebelumnya yang berada di level 14.452 per dolar AS.

Menanggapi keputusan The Fed yang menunda menaikkan suku bunga acuannya, Menko Perekonomian Darmin Nasution menilai hal tersebut sama saja dengan menunda masalah. Pasalnya, The Fed diduga akan menaikkan suku bunganya pada Desember nanti. Artinya, pasar akan kembali dirundung ketidakpastian menjelang rapat FOMC akhir tahun ini. “Dia tidak naikkan, tidak ada gejolak, tetapi spekulasi akan datang lagi nanti, menjelang ada lagi rapat dari FOMC,” jelas Darmin di kantor Presiden, Jakarta, Jumat (18/9).

Meski begitu, Darmin menyadari keputusan suku bunga acuan dilematis bagi ekonomi AS. Naik atau tidaknya suku bunga acuan tetap memberikan dampak negatif dan positif. Ia  menjelaskan, apabila ada kenaikan suku bunga, maka akan timbul gejolak di pasar keuangan. Namun, kondisi tersebut diperkirakan hanya sebentar, dan masing-masing negara bisa kembali menata fundamental ekonominya.

Saat ini AS masih rentan dari sisi inflasi. Kemudian juga, dolar AS yang menguat terlalu tajam terhadap banyak mata uang, dapat memengaruhi ekspor dan berlanjut terhadap pertumbuhan ekonomi.

Sumber: Majalah Warta Ekonomi Edisi 18

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Pandu Sugiarto Herlambang
Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: