Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Menyimak Pandangan IMF terhadap Perekonomian Indonesia

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Selama bertahun-tahun terakhir lamanya, Asia telah berperan sebagai bagian dari pusat pertumbuhan ekonomi dunia. Sejumlah negara di Asia bahkan telah diperhitungkan sebagai kelompok negara-negara maju dunia, sementara sebagian lagi sedang bergerak naik dari emerging market ke tingkat yang lebih tinggi.

Namun, saat ini kawasan Asia harus menghadapi dampak langsung dari koreksi pertumbuhan ekonomi Tiongkok, perlambatan pertumbuhan yang berlanjut di Jepang, dan jatuhnya harga-harga komoditas di pasar global. Tekanan juga datang dari kemungkinan naiknya suku bunga di Amerika Serikat pasca-pemulihan ekonominya. Itulah pandangan Managing Director International Monetary Fund (IMF) Christine Lagarde, dalam acara Joint IMF-Bank Indonesia Conference, yang mengambil tema Futures of Asia’s Finance: Financing for Development 2015, di Jakarta, Rabu (2/9/2015).

Lagarde juga mengutarakan keunggulan kawasan Asia ini dalam melewati dan menghadapi tekanan ekonomi. Ketika krisis moneter melanda beberapa negara di kawasan Asia pada 1998 silam, negara-negara ini dipandang berhasil mengatasi tekanan dengan memperkuat kebijakan makroekonomi dan sistem keuangannya.

Jika krisis moneter 1998 dipicu oleh gejolak nilai tukar yang sebelumnya melanda Thailand, kemudian ke Filipina dan Indonesia, maka tekanan ekonomi saat ini berasal dari faktor eksternal. Selain faktor kenaikan suku bunga AS, maka faktor lainnya adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok.

Para menteri keuangan dan pemimpin puncak bank sentral negara-negara anggota kelompok G20 mengatakan pertumbuhan ekonomi global melambat dibanding perkiraan semula, tetapi mereka yakin pemulihan ekonomi dunia akan mencapai momentum. Dalam komunike final konferensi tingkat tinggi (KTT) dua hari di ibu kota Turki, Ankara itu, beberapa pejabat keuangan penting negara-negara G20 berjanji akan mengambil “tindakan tegas” untuk menjaga optimisme pemulihan ekonomi. Mereka juga berjanji untuk menahan diri dari kebijakan devaluasi mata uang yang kompetitif, merujuk pada devaluasi mata uang Tiongkok baru-baru ini, dan mengingatkan negara-negara berkembang untuk tidak melakukan langkah serupa guna melindungi mata uang mereka.

Maklum, gejolak pasar saham dan devaluasi nilai mata uang yuan di Tiongkok bulan lalu mengguncang bursa-bursa global dan pasar komoditas dalam beberapa minggu ini. Bursa-bursa saham domestik Tiongkok telah anjlok hampir 40% sejak pertengahan Juni, dan diperparah oleh sejumlah data perekonomian yang suram. Terkait hal ini, Menteri Keuangan Jepang menyampaikan bahwa penting untuk memahami isu-isu struktural di balik apa yang sedang terjadi dalam perekonomian Tiongkok saat ini.

Perlambatan ekonomi Tiongkok direspons secara agresif oleh bank sentralnya, People Bank of China (PBOC) dengan mendevaluasi mata uang yuan. Tak hanya itu saja, suku bunga acuan juga diturunkan lebih rendah menjadi 4,6%. Itu semua dimaksudkan untuk mengembalikan kejayaan ekonomi Tiongkok, terutama melalui sisi ekspor yang selama semester pertama tahun ini melambat hingga minus 8,3%.

Amerika Serikat (AS) pun mulai gelisah melihat nilai tukar yuan yang terus menurun hingga saat ini. Pasalnya, AS mulai mendesak Tiongkok untuk membiarkan nilai tukarnya kembali ditentukan oleh kekuatan pasar dan menahan diri untuk tidak melakukan devaluasi lagi. AS mengingatkan Tiongkok bahwa mereka harus kembali pada komitmen awalnya bahwa nilai tukar yuan pasca-devaluasi harus dikembalikan ke pasar sehingga dapat mencerminkan kondisi fundamental negaranya. 

Peringatan itu dinilai penting karena menyangkut transparansi kebijakan nilai tukar mata uang negaranya. Para pemimpin Tiongkok sebelumnya sudah mengisyaratkan bahwa mereka sedang berusaha mengalihkan model pertumbuhannya ke yang lebih baru. Pasalnya,  Tiongkok telah berkomitmen untuk terus melakukan reformasi struktural dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi negaranya serta untuk memulihkan kepercayaan para pelaku pasar terhadap negaranya.

Langkah Tiongkok mendevaluasi yuan juga sontak merembet ke mata uang Asia lainnya, termasuk rupiah. Selain ringgit Malaysia yang terdepresiasi paling besar terhadap dolar AS, hampir 25% dari awal tahun, maka rupiah termasuk yang terdepresiasi cukup besar pula, yakni 13%. Berbagai tekanan itulah yang juga ikut menekan perkembangan indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI)  menyusul menyusutnya kinerja semua emiten.

Faktor Empat "I"

Dalam pidatonya berjudul The Future of Asian Finance: Ensuring Stability and Continued Prosperity, Lagarde menyiratkan prospek Asia untuk kembali stabil dan melanjutkan kesejahteraannya di tataran ekonomi global. Di sini Lagarde memberikan catatan khusus kepada empat tantangan pada sektor finansial yang disebutnya dengan "empat I", yaitu Inovasi, Integrasi, Infrastruktur, dan Inklusivitas.

Menurut Lagarde, inovasi merupakan kunci pendukung momentum pertumbuhan Asia kepada generasi berikutnya. Seperti industri di Asia yang telah memberi nilai tambah (value added) kepada proses manufakturnya dan beroperasi secara lebih efektif dan efisien, maka industri keuangan seyogianya harus demikian juga. Diingatkan akan perlunya menggeser sumber pembiayaan tradisional kepada non-tradisional melalui pendalaman pasar keuangan atau financial deepening.

Kedalaman pasar keuangan ditandai oleh maraknya produk-produk instrumen keuangan investasi yang akan mampu menyedot dan menahan dana asing yang masuk ke pasar keuangan Indonesia. Sekitar 39% dari Surat Utang Negara (SUN) saat ini dimiliki oleh investor asing. Jika konsentrasi kepemilikan hanya pada SUN, maka cukup rawan apabila terjadi gejolak ekonomi, sosial, dan politik di negeri ini. Pasalnya, hal ini akan memicu terjadinya pelarian modal (capital flights) yang membawa risiko bagi pasar keuangan domestik.

Di sinilah pentingnya pendalaman pasar keuangan domestik melalui penerbitan beragam instrumen keuangan sehingga sebaran kepemilikan instrumen tersebut oleh investor asing akan terbentuk dengan sendirinya. Dengan demikian, pertahanan domestik terhadap kemungkinan terjadinya capital flights dapat dilakukan. Alhasil, tekanan terhadap rupiah makin kendur dan stabilitas rupiah pun dapat dijaga.

Lalu, hubungan keuangan antar-negara dalam kawasan Asia disebutkan Lagarde sebagai integrasi”. Bagi Indonesia sendiri, era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah di depan mata karena akan berlaku mulai 1 Januari 2016. Maka, integrasi pasar keuangan adalah tantangan nyata. Sebagai negara dengan kekuatan ekonomi yang besar dan dengan populasi terbesar di ASEAN, Indonesia harus mampu menunjukkan keunggulannya. Maka, MEA adalah peluang dalam konteks MEA, bukan hanya sebagai pasar, melainkan juga sebagai produsen berkualitas atas pasar dengan populasi 640 juta di ASEAN.

Lagarde juga menekankan "I" berikutnya, yakni infrastruktur. Bagi dia, ini bukan hanya kegiatan membangun saat ini, melainkan juga membangun masa depan. Tantangan terbesar infrastruktur adalah dari segi pembiayaan. Faktor "I" yang satu ini memang sangat relevan bagi Indonesia, terutama dengan gencarnya pemerintah membangun secara aktif sejumlah proyek infrastruktur, yang sebagian dibiayai dari APBN-P 2015 sebesar Rp290 triliun hasil realokasi subsidi bahan bakar minyak (BBM).

Adapun "I" terakhir yaitu inclusion, atau inklusivitas. Hal ini erat kaitannya dengan pendalaman pasar keuangan, mengingat rasio kredit dan dana perbankan terhadap produk domestik bruto (PDB) yang relatif rendah, masing-masing berkisar 45%. Penyediaan akses ke lembaga keuangan oleh kelompok masyarakat lapis bawah menjadi penting agar mereka bisa ikut menikmati proses pembangunan dan hasil-hasilnya secara lebih adil dan merata.

Menurut Lagarde, dirinya cukup optimistis terhadap kemampuan negara-negara Asia untuk melewati gejolak krisis akhir-akhir ini. Dia melihat krisis keuangan global kali ini juga menekan negara-negara maju di Asia, seperti Tiongkok, Jepang, dan belakangan Malaysia.

Sebaliknya, India menjadi contoh kasus yang berbeda. India sekarang tampil sebagai negara paling tangguh di Asia ketika perekonomiannya mampu tumbuh 7,4% atau sudah menyamai capaian Tiongkok tahun ini. Namun, perlambatan ekonomi Tiongkok, negara terbesar kedua di dunia, telah menekan perekonomian Indonesia, lantaran ketergantungan yang tinggi pada ekspor komoditas mentah ke negara tersebut.

Prospek Kawasan Eropa Menjanjikan

Di saat perekonomian Tiongkok mengalami perlambatan, ada baiknya pemerintah Indonesia mulai memperhitungkan kembali prospek negara-negara Uni Eropa. Hingga saat ini, laju pertumbuhan ekonomi zona euro periode kuartal II-2015 ini terpantau tumbuh lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya.

Tampaknya akselerasi pertumbuhan ekonomi di kawasan euro pada kuartal II lalu tertolong oleh menguatnya aktivitas ekspor akibat pelemahan euro sambil mengimbangi penurunan laju investasi. Eurostat mencatat laju PDB zona euro periode kuartal II membukukan kenaikan pertumbuhan menjadi sebesar 0,4% (qoq), setelah tumbuh 0,5% (qoq) pada kuartal pertama. 

Secara tahunan, laju PDB pada kuartal II lalu tercatat 1,5% (yoy), lebih cepat dibandingkan kuartal II-2014. Sebagai informasi, laju pertumbuhan kuartal pertama tahun lalu merupakan yang tercepat sejak kuartal I-2011, yang kala itu berhasil mencatat pertumbuhan sebesar 0,9% (qoq).

Namun, meski estimasi menunjukkan laju pertumbuhan zona euro relatif membaik dibandingkan tahun sebelumnya, Bank Sentral Eropa (ECB) tetap pesimistis terhadap proyeksi ekonomi negaranya di sisa 2015 ini. Hal itu tecermin dari keputusan ECB yang tetap menurunkan prospek pertumbuhan ekonomi zona euro.

Adapun perkiraan pertumbuhan zona euro untuk 2015 ini diturunkan menjadi 1,4% dari proyeksi semula 1,5% dan proyeksi untuk 2016 juga dipangkas menjadi 1,7% dari yang semula 1,9%. Dengan pertimbangan inflasi yang cenderung turun dan pertumbuhan tetap lamban, banyak ekonom berharap ECB akan terus memperluas dukungan kebijakan baik dari segi moneter maupun quantitative easing (QE) hingga September 2016 mendatang.

Sebagai catatan, di antara empat besar negara di zona euro, hanya Spanyol yang berhasil membukukan  pertumbuhan kuat sebesar 1% pada kuartal II lalu. Bahkan Jerman, yang merupakan negara terkuat di zona euro, hanya mampu tumbuh moderat 0,4% dan Italia tumbuh 0,3%, sementara Perancis mengalami stagnasi dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.

Prospek Perekonomian Indonesia

Kegairahan kembali perekonomian kawasan Uni Eropa membersitkan harapan baru bagi perekonomian Indonesia. Kegiatan ekspor bisa dikembangkan lagi ke kawasan itu dengan tetap mencari pasar non-tradisional lainnya. Tentu bukan komoditas primer yang diekspor ke kawasan Uni Eropa, melainkan produk non-migas atau manufaktur bernilai tambah tinggi. Di mata IMF, Indonesia memiliki modal yang besar untuk dapat bertahan dari tekanan eksternal.

Diutarakan Lagarde, Indonesia mempunyai potensi aset sumber daya manusia (SDM) yang sangat besar terkait jumlah penduduk usia produktif yang terus meningkat, sementara di kawasan ASEAN lainnya justru mengalami penurunan. Diperkirakan, pada 2030 mendatang, 70% dari total penduduk Indonesia atau sekitar 180 juta jiwa akan berada pada usia produktif.

Untuk merealisasikan potensi besar itu, Lagarde menyebutkan tiga hal penting yang dapat dilakukan. Pertama, pembangunan infrastruktur yang modern dan efisien, terutama listrik dan transportasi. Kedua, memperbaiki iklim investasi yang kondusif bagi penyerapan teknologi baru, dan kapasitas untuk bersaing dalam memproduksi barang dan jasa. Ketiga, penguatan kebijakan perdagangan internasional yang mampu mendukung proses integrasi ekonomi dengan dunia.

Berkurangnya peranan Tiongkok dan Jepang, yang kebetulan keduanya adalah negara mitra dagang utama Indonesia, memberikan potensi pasar global yang terbuka untuk dipenetrasikan. Produk manufaktur Indonesia harus digenjot kualitas dan kuantitasnya, lalu diekspor dengan perluasan diversifikasi pasar ke pasar non-tradisional di luar Tiongkok dan Jepang.

Paralel dengan itu, pembangunan infrastruktur harus berlanjut sesuai rencana mengingat Indonesia tetap menjadi tujuan investasi utama di Asia. Laporan survei The Economist Corporate Network belum lama ini yang bertajuk “Investing Into Asia’s Reform Landscape: Asia Business Outlook Survey 2015” menyebutkan Indonesia berada di peringkat kedua negara tujuan investasi utama di benua Asia.

Indonesia disebutkan hanya kalah dari Tiongkok. Hasil survei itu sejalan dengan data Financial Times yang menunjukkan Indonesia masuk dalam jajaran lima besar negara tujuan investor dari Tiongkok dan Singapura, serta masuk daftar 10 besar tujuan investasi dari Jepang dan Korea.

Menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Indonesia masih potensial sebagai negara tujuan investasi utama di ASEAN. Data BKPM terakhir menunjukkan arus investasi asing yang masuk ke Indonesia sepanjang semester I-2015 merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN.

Pada semester I-2015 ini arus investasi ke Indonesia sebesar US$13,66 miliar atau 31% dari total investasi yang masuk ke ASEAN. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan Vietnam yang sebesar US$7,53 miliar atau setara dengan 17%, dan Malaysia yang sebesar US$7,01 miliar atau setara dengan 16%.

Para investor global sangat percaya pada potensi sumber daya ekonomi yang ada di Indonesia. Mereka optimistis bahwa pemerintahan sekarang ini berada di jalur yang tepat dalam menggerakkan infrastruktur dan melakukan reformasi regulasi pengembangan investasi dan industri. Lebih-lebih dengan dikeluarkannya paket kebijakan ekonomi jilid I beberapa waktu lalu, makin mendongkrak keyakinan pemodal bahwa Indonesia punya prospek yang baik untuk bertahan dan bertumbuh di tengah perlambatan ekonomi dunia.

Lagarde, dalam kuliah umumnya di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, menyerukan kalimat penutup yang menarik, di mana dia menyebut mata uang Indonesia dengan "Garuda". Dia pun berujar, Let the Garuda spread its wings! Yang pasti, paket kebijakan stimulus ekonomi tidak serta-merta mengentaskan Indonesia dari krisis ekonomi. Meski banyak kalangan menyadari efektivitas kebijakan yang dikenal sebagai Paket September 1 itu bersifat jangka panjang, pemerintah tetap harus bergerak cepat untuk merealisasikannya.

Dalam paket stimulus tahap pertama itu, pemerintah menderegulasi 134 peraturan yang dipandang mengganjal percepatan pemulihan ekonomi Tanah Air. Aturan yang diperbaiki, di antaranya, terkait dengan fasilitas investasi, penyederhanaan izin impor bahan baku, dan pengurangan pemeriksaan fisik bahan baku impor dan produk ekspor.

Ada pula kebijakan untuk memperlancar distribusi melalui pembangunan pusat logistik berikat, menarik investasi melalui pengembangan kawasan industri, dan meningkatkan ekspor melalui fasilitas trade financing. Namun, yang pasti, melalui paket kebijakan ekonomi tersebut, pemerintah ingin meyakinkan investor bahwa pemerintah tidak berdiam diri saja. Pemerintah ingin memperlihatkan mereka siap hadir di pasar untuk memberikan stabilisasi dalam situasi yang tidak menentu.

Sumber: Majalah Warta Ekonomi Edisi 18

Penulis: Ryan Kiryanto, Chief Economist BNI

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: