Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kenapa BI Pertahankan Suku Bunga Acuan?

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Perbedaan pandangan antara Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dengan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo soal bunga acuan (BI rate) memunculkan banyak pro dan kontra di masyarakat. Yang menarik, pihak yang berani membela BI juga ternyata lumayan banyak. Lalu, bagaimana sebenarnya argumentasi BI dalam mempertahankan BI rate di level 7,5%?

Berikut ini argumen-argumen BI yang Warta Ekonomi sarikan dari berbagai sumber, yaitu

Risiko Global

Dari paper yang dikeluarkan BI, terlihat bahwa BI memang sangat hati-hati melindungi rupiah terhadap gejolak, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Terlihat bahwa BI sangat memberikan perhatian terhadap risiko finansial global yang diperkirakan akan muncul terkait kenaikan suku bunga The Fed (FFR-Federal fund rate) pada Desember 2015 mendatang.

Hal itu karena ekonomi Amerika Serikat (AS) sukses tumbuh moderat didukung pertumbuhan domestik serta membaiknya tingkat kesempatan kerja.

BI juga melihat kinerja perekonomian Tiongkok yang diperkirakan masih akan melambat. Kemudian negeri Tirai Bambu ini juga diprediksi masih akan melakukan rebalancing dari investment-driven menjadi consumption-driven. Patut diwaspadai, Tiongkok akan melakukan kebijakan monetery easing.

Sementara itu, Uni Eropa tumbuh gradual secara domestik. Tingkat harga-harga mengalami deflasi dan tingkat pengangguran juga terus mengalami penurunan. Menjadi pertanyaan apakah UE akan melakukan perpanjangan quantitative easing (QE)?

Di sisi lain perekonomian Jepang juga masih lemah. Patut dipertanyakan apakah negeri matahari terbit itu juga akan melakukan QE? Sedangkan, India diperkirakan akan tetap kuat pada tahun 2016 karena didukung pertumbuhan domestik, walaupun untuk eksternal masih lemah.

Kondisi Lokal

Memang ada kenaikan nilai tukar belakangan ini yang disebabkan oleh kenaikan capital inflow. Sayangnya, kenaikan nilai tukar ini masih jauh dari stabil. Faktor The Fed masih membayangi. Alhamdulillah-nya, inflasi membaik di bawah target (2,87% dari target 4,1%). Hal ini tampaknya berhubungan dengan harga minyak dan komoditas yang masih melemah.

Nah, akibat global growth yang masih terbatas tadi maka pertumbuhan ekonomi kita masih didorong pengeluaran pemerintah (government spending), sedangkan peran swasta masih lemah. Realisasi belanja modal sampai Oktober meningkat 38,8% (yoy). Akan tetapi, pertumbuhan pajak masih negatif sehingga mengakibatkan defisit APBN 2015 meningkat menjadi 2,5% terhadap PDB.

Dengan demikian, hal ini akan membahayakan current account deficit (CAD) kita. Jadi, pertumbuhan ekonomi tampaknya masih belum akan menggembirakan.

Strategi BI

Karena itu, dalam pidatonya di acara Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2015 di Balai Sidang Jakarta, Selasa (24/11/2015), Agus mengatakan, "dari sisi moneter, kami tetap konsisten mengedepankan stance kebijakan moneter yang dapat menjaga inflasi tetap sesuai sasaran dan mengelola neraca transaksi berjalan agar semakin sehat dan kondusif."

Namun, lanjut Agus, pada sisi lain pihaknya tetap memberikan ruang bagi pemulihan ekonomi nasional. Ia menambahkan bahwa melengkapi stance kebijakan moneter di atas berbagai langkah pengendalian stabilitas nilai tukar rupiah juga dilakukan secara berhati-hati.

Langkah-langkah pengendalian, kata Agus, ditempuh melalui tiga pilar kebijakan, yakni mengelola stabilitas nilai tukar rupiah, memperkuat pengelolaan likuiditas rupiah di pasar uang, dan memperkuat pengelolaan supply dan demand di pasar valas.

Dalam konteks menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, bank sentral secara terukur berupaya untuk meminimalkan volatilitas nilai tukar agar tidak berlanjut kepada meningkatnya ekspektasi depresiasi rupiah dan inflasi.

"Strategi ini tentu memiliki 'harga', yakni turunnya cadangan devisa sebagai first line of defence," jelasnya.

Selama sepuluh bulan terakhir, upaya meminimalkan volatilitas nilai tukar berdampak pada berkurangnya cadangan devisa dari USD111,8 miliar pada akhir 2014 menjadi USD100,7 miliar pada akhir Oktober 2015.

"Kendati menurun, level cadangan devisa kami pandang masih memadai dalam menjaga ketahanan eksternal karena masih berada di atas standar internasional serta dapat membiayai 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah," tegasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Muhamad Ihsan
Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: