Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Peran Sentral KPU Dalam Pilkada Serentak

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Pilkada 2015 berbeda dengan sebelumnya karena selain dilakukan serentak, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 8 tahun 2015 juga membatasi pemasukan dan penggunaan dana kampanye.

Alat peraga kampanye juga dibatasi, dibiayai oleh Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), disediakan dan diselenggarakan oleh KPU .

Hal tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan persamaan dan pemerataan dalam mewujudkan persaingan yang sehat dalam Pilkada.

Namun dalam prakteknya aturan itu masih belum efektif.

KPU mengusulkan agar pengadaan alat peraga kampanye dalam Pilkada tidak lagi di bebankan kepada KPU.

Selain mengganggu tahapan yang substansial, tak jarang KPU juga menanggung konsekuensi perawatan alat peraga itu. Padahal, tak ada aturan yang mengharuskan KPU ikut menjaganya.

Peserta pemilihan protes karena alat peraga mereka rusak dan lain-lain sedangkan KPU tidak bisa mengganti karena dana yang tersedia dari APBD terbatas.

Komisioner KPU Hadar Gumay mengusulkan agar alat peraga kampanye tidak lagi dibiayai negara dan bukan kami lagi yang memasang dan merawatnya.

Menurut Hadar, alangkah lebih baik jika tugas KPU hanya memberi persetujuan atas desain alat peraga kampanye yang pasangan calon usulkan.

Selain itu, agar lebih kondusif, KPU juga berhak menetapkan jumlah yang bisa dibuat dan lokasi tempat pemasangan.

Dia mengakui ketentuan alat peraga kampanye yang disiapkan oleh KPU membuat kesemarakan pesta demokrasi berkurang.

Namun suasana tertib terjadi karena para pasangan calon tak bisa membuat dan memasang alat peraga kampanyenya sembarangan.

Sementara itu Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Republik Indonesia merasa perlu adanya regulasi yang lebih matang pada kampanye calon kepala daerah 2017 nanti.

Soalnya, lembaga pengawas pesta demokrasi itu menilai aturan 14 hari kampanye yang difasilitasi oleh Komisi Pemilihan Umum pada Pilkada serentak 2015 tidak memberikan banyak waktu bagi para kandidat untuk memperkenalkan diri serta visi misinya ke publik.

Menurut anggota Bawaslu RI Nasrulloh, kondisi ini akhirnya cenderung menguntungkan kandidat pertama dibanding kandidat pendatang baru.

Nasrullah mengatakan pendatang baru tidak punya waktu untuk sosialisasi. Selain prosedurnya yang sangat ketat, waktunya hanya 14 hari, jelas beda dengan petahana yang sosialisasinya bisa dikatakan sudah sejak lima tahun sebelumnya.

Bawaslu beranggapan kampanye akan lebih optimal jika setiap kandidat diperbolehkan melakukan kampanye dan sosialisasi sejak tiga hari setelah ditetapkan sebagai peserta Pemilu. Dengan begitu, para kandidat memiliki waktu sekitar dua bulan untuk memperkenalkan diri dan visi misinya ke masyarakat.

Seharusnya sosialisasi kandidat bisa terus dilalukan sejak awal dan baru 14 hari sebelum masa tenang baru kampanye yang difasilitasi oleh KPU, kata dia.

Sebaiknya pengadaan alat peraga kampanye dikembalikan kepada pasangan calon agar masa kampanye lebih semarak.

Adapun di wilayah hulu, pendanaan Pilkada akan lebih baik jika menggunakan dana APBN ketimbang dari APBD. Ini dilakukan untuk mengantisipasi adanya kekuasaan yang begitu kuat dari daerah yang menghambat proses pencairan dana Pilkada.

Menurut Ketua Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, kampanye yang dibiayai negara saat ini cenderung belum efektif terutama pada pencetakan dan distribusi alat peraga.

KPU sibuk menjadi lembaga pengadaan barang dan jasa, sehingga mereka keteteran mengelola tahapannya, kata Titi.

Agar tidak membebani kerja KPU, Perludem mengusulkan sebaiknya alat peraga dan bahan kampanye menjadi urusan partai.

Kemudian, KPU harusnya lebih menyebarluaskan visi, misi, serta program pasangan calon, agar masyarakat dapat lebih mengenal calon yang akan dipilihnya.

Debat publik semestinya dilakukan sampai dengan level terendah yang tidak melulu harus melibatkan kandidat, tetapi bisa mengutus tim sukses, agar semua masyarakat dapat mengenaldan memaahami visi, misi serta program calon, kata dia.

Kemudian, untuk kampanye yang dibiayai oleh negara bentuknya alatnya juga terbatas.

Ia mengatakan kampanye yang dibiayai oleh negara hanya debat publik dan iklan di media massa.

Menurut Peludem, alat peraga dan bahan kampanye diserahkan kembali ke masing-masing pasangan calon dan partai politik, akan tetapi lokasi pemasangan ukuran, dan batas maksimal (volume jumlah) ditentukan oleh KPU.

Alat peraga dan bahan kampanye seharusnya diserahkan kembali kepada calon, dengan syarat alat-alat itu menggunakan verifikasi persetujuan calon.

Dia mengatakan pada Pilkada 2015 belum efektif, meski bisa terlaksana tapi membenani penyelenggara dan juga menyedot alokasi anggaran yang akhirnya mengurangi alokasi untuk pendidikan pemilih dan sosialisasi.

Dia mengatakan mestinya mulai dipikirkan berbeda saja. Misalnya, untuk konteks Pilkada dalam waktu dekat, untuk hal administrasi, pengawas pemilu bisa langsung mengeksekusi.

Hal tersebut juga mengajarkan agar Panwas (Panitia Pengawas) bekerja efektif dan akuntabel dan tidak lagi mengeluhkan kewenangannya. Namun tetap harus disediakan mekanisme kontrol atas pelaksanaan kewenangan tersebut.

Dalam hal menunjukkan transparansi dana Pilkada, Revisi UU 8/2015 tentang Pilkada akan dicantumkan besaran sumbangan pribadi dari pasangan calon untuk membiayai kampanye, hal itu disampaikan oleh Ketua Komisi II DPR RI Rambe Kamaruzzaman.

Pasangan calon diberikan peran, jadi di dalam Revisi Undang-Undang nanti akan dinyatakan aliran dana kampanye, pertama dari pasangan calon, kedua partai politik dan ketiga sumbangan yang tidak mengikat, kata Rambe.

Dia menyarankan pada masa kampanye partai politik juga ikut berpartisipasi mengkampanyekan calon pasangan yang diusung.

Waktu kampanye tidak perlu terlalu lama dan kalo bisa sejak ditetapkan sebagai calon hingga lima hari jelang pungutan suara.

Selain itu dalam revisi nanti, juga akan diatur para petahana yang menjadi calon kepala daerah untuk mengundurkan diri dari jabatannya.

Setelah calon ditetapkan jadi calon dia harus mengundurkan diri, hal ini agar terjadi persamaan dengan Polisi, TNI, PNS atau anggota DPR yang mau menjadi calon dan mengundurkan diri, kata dia.

Rambe mengatakan ambang batas pencalonan yang tinggi untuk calon kepala daerah perseorangaan dapat melahirkan calon ideal.

Ambang batas yang tinggi ini bukan untuk mempersulit, tetapi agar calon-calon yang muncul ideal dan berkualitas. Kalau ambang batasnya rendah semua orang bisa masuk jadi calon walaupun tidak memiliki kapasitas, kata Rambe saat diskusi di Jakarta.

Saat ini UU 8/2015 mengatur untuk calon perseorangan yang dapat maju ke panggung Pilkada jika memiliki dukungan 6,5-10 persen dari total daftar pemilih tetap di daerahnya.

Rambe mengatakan idealnya angka itu dinaikan menjadi 10-15 persen dari total daftar pemilih tetap agar setara dengan partai politik.

Partai politik bisa mengusung calon dengan syarat dukungan 20 persen dari jumlah kursi di parlemen.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: